Monday, June 18, 2007

Pesan

SEORANG sahabat yang cantik, psikolog, dinamis, ramah, dan baik hati, bernama Liza Marielly, berbagi kisah persis lima menit setelah saya duduk di depan komputer menjelang jam kerja pagi. Cerita tentang pesan seorang anak perempuan kepada ayahnya. Liza mengirim cerita itu melalui surat elektronik, tidak dengan gemuruh suara, tidak dengan runcing pedang. Namun sewaktu membacanya, saya seperti mendengar suara gemuruh dalam dada, seperti ada sebilah pedang runcing di depan mata.

Karena saya punya anak perempuan, saya menyimak seksama kisah yang mungkin hanya sebuah rekaan atau petikan kejadian nyata. Karena saya ayah sepasang remaja, perlu belajar dari kisah ini. Menurut pemilik cerita, fragmen ini terjadi di suatu pagi yang cerah. Namun seolah ada kilat yang menyambar tiba-tiba, begitu sang ayah mendapati sepucuk amplop di atas tempat tidur rapi putrinya. Kosong tak ada sesiapa, kecuali sebuah kesan tentang kamar yang telah ditinggalkan penghuninya. Pada amplop tertulis: “Untuk Ayah“. Dengan bertanya-tanya, dibukanya surat itu.

            Ayah   tercinta,

Aku menulis surat ini dengan perasaan sedih dan sangat menyesal. Saat ayah membaca surat ini, aku telah pergi meninggalkan rumah. Aku pergi bersama kekasihku, seorang cowok yang baik. Jika suatu saat bertemu dia, ayah juga pasti akan setuju meski dengan sejumlah tatto dan piercing yang melekat di tubuhnya, juga dengan motor butut serta rambut gondrongnya. Dia sudah cukup dewasa meskipun belum begitu tua (aku pikir zaman sekarang, 42 tahun tidaklah terlalu tua).

            Dia sangat baik terhadapku. Apalagi dia ayah dari anak dalam kandunganku saat ini. Dia memintaku untuk membiarkan anak ini lahir dan kami akan membesarkannya bersamaKami akan tinggal berpindah-pindah. Dia punya jaringan perdagangan extacy yang sangat luas, dia  juga telah meyakinkanku bahwa marijuana itu tidak begitu burukKami akan tinggal bersama sampai maut memisahkan kami. Para ahli pengobatan pasti akan menemukan obat untuk AIDS jadi dia bisa segera sembuh. Aku tahu dia juga punya cewek lain tapi aku percaya dia akan setia padaku dengan cara yang berbeda.

            Ayah, jangan khawatirkan keadaanku. Aku sudah 15 tahun sekarang, aku bisa menjaga diriku. Salam sayang untuk kalian semua. Oh iya, berikan bonekaku untuk adik, dia sangat menginginkannya.

Masih dengan perasaan terguncang dan tangan gemetaran, sang ayah membaca lembar kedua surat dari putri tercintanya itu....

            PS: Ayah, tidak ada satu pun dari yang aku tulis di atas itu benar. Aku hanya ingin menunjukkan, bahwa  ada ribuan hal yang lebih mengerikan daripada nilai raporku yg buruk. Kalau Ayah sudah menandatangani raporku di atas meja, panggil aku ya...

            Aku tidak ke mana-mana. Saat ini aku ada di rumah tetangga sebelah.

Sesudah membaca kisah di atas, seketika saya merasa lega. Akan tetapi, percayalah, seorang ayah yang paling cuek pun akan sempat merasa shock saat membaca halaman pertama surat itu. Dunia mendadak gelap oleh paduan antara rasa marah, menyesal, ingin menyalahkan orang lain atau diri sendiri. Jika selama ini sang ayah dikenal santun dan agamis, barangkali kesabaran dan kesalihannya terguncang.

Anak merupakan amanat, titipan Tuhan. Begitu besar beban orang tua di balik kebahagiaan mempunyai keturunan yang akan meneruskan cecabang generasi. Bersyukur apabila arus yang terbawa turun-temurun senantiasa membawa nama baik, martabat, harga diri, citra positif, dan kenangan yang menyenangkan. Andaikata sebaliknya yang terjadi, aib itu menyertai perjalanan hidup. Seharusnya kita berpaling pada diri sendiri: apa yang telah kita perbuat sehingga “air cucuran atap jatuh ke pelimbahanatauBuah jatuh tak jauh dari pohonnya”?

Saya jadi teringat pada Carla van Raay, penulis memoar berjudul God’s Callgirl. Ia menuliskan pengalaman hidupnya secara blak-blakan. Ia menyebut dirinya Sang Pelacur Tuhan ketika berpraktik sebagai pekerja seks komersial melalui pembenaran khayalannya tentang para biarawati yang bersetubuh dengan para pria untuk sebuah meditasi kepada Tuhan. Ia menjadi sang ahli sekaligus penyayang. Iklannya terpampang pada halaman surat kabar Sabtu, menarik minat banyak lelaki dari pelbagai profesi untuk merasakan pijatan jemarinya. Saya bukan hendak bercerita tentang teknik-teknik pelayanannya, melainkan ada keyakinan pada Carla perihal keburukan jalan hidupnya yang ditengarai sejak awal. Nenek dan ibunya hamil sebelum menikah! Pertanda yang seolah terbukti pada dirinya: melalui pelecehan seksual oleh ayah yang dihormatinya.

Kembali kepada kisah awal, hubungan khusus memang sering terjadi antara ayah dengan anak perempuan. Sebagaimana ibu dengan anak lelakinya, ada hubungan yang lazim untuk saling mengagumi atau menyayangi. Seorang ayah yang pemberang, mungkin berusaha perfeksionis, cukup menggentarkan anak-anaknya. Matanya tak hendak melihat sedikit cela, sehingga nilai buruk dalam rapor akan sanggup mengobarkan seluruh amarahnya. Dunia serasa hendak runtuh bila mengetahui anaknya begitu bodoh, seolah tak ada masa depan lagi bagi seorang pecundang.

Melalui fragmen yang menyentuh, kiriman Liza, saya kian menyadari bahwa selalu ada yang patut disyukuri pada musibah yang menimpa kita. Sering dicontohkan mengenai seorang yang merasa beruntunghanyatak punya sepatu, sementara ada orang lain yang tak punya kaki. Anak gadis kita yang terpaksa tidak naik kelas tentu jauh lebih baik dibanding jika ia dibawa pergi seorang preman yang selain buronan juga pengidap AIDS.

Memandang segala sesuatu dari sudut positif dengan perasaan jernih mungkin lebih menenteramkan, ketimbang terburu nafsu dan menentukan sikap secara terburu-buru. Saya masih belajar, masih terus belajar menuju kematangan itu.

***

(Kurnia Effendi, untuk Parle)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home