Tuesday, May 15, 2007

Kesaksian Mata yang Pedih

Sebuah foto, saya kira, mampu mewakili tak hanya satu peristiwa, melainkan sejumlah peristiwa yang mengawali dan melanjutkan. Setiap objek yang terperangkap kamera seperti memiliki jiwa, baik figur manusia maupun benda-benda yang tak bergerak. Ekspresi itu, dalam tangkapan sepersekian detik, lebih bercerita ketimbang kata-kata. Buku Buyat: Hari Terus Berdenyut yang diterbitkan oleh Banana, mengumpulkan sejuta cerita melalui foto-foto Denny Taroreh dan Jamal Rahman.

Banyak prestasi para jurnalis dan wartawan foto menggapai puncak empati perasaan banyak orang karena menyuguhkan gambar yang berjiwa. Berbeda dengan foto studio yang umumnya dipersiapkan dengan tingkat perfeksionis yang tinggi; foto peristiwa adalah kepiawaian menangkap momen dari sekian kejadian yang tampak biasa-biasa saja. Apa pun maksud Denny dan Jamal dengan foto-foto (dan puisinya) itu, kita telah memperoleh banyak informasi yang tak kita temukan dalam pemberitaan resmi. Secara tidak langsung kita telah berada di belakang kesaksian mata yang pedih.

Dunia ini tumbuh dari cinta, ujar seorang romantis. Namun dunia juga tumbuh dari pertanyaan dan rasa ingin tahu, yang senantiasa melahirkan penemuan-penemuan baru. Sementara itu, dunia dan peradaban berkembang selalu meminta korban. Jika saat ini bukan kita yang tumbang, barangkali karena diberi kesempatan untuk menjadi pencatat kejadian. Untunglah orang-orang muda seperti Denny Taroreh dan Jamal Rahman terpanggil untuk peduli padaketidakseimbanganpemanfaatan alam dan pengelolaan industri. Mungkin kita masih ingat peristiwa Chernobyl bertahun lalu yang menghantui kehidupan umat manusia di sekilingnya hinga jauh ke masa berikutnya.

Di sana, di Buyat, kehidupan terus berlangsung dalam kondisi alam yang tak sehat. Eksodus besar-besaran tetap tidak menghabiskan penghuninya. Ketika isu lingkungan menjadi semakin hangat dibicarakan, terkait dengan pamanasan global, terbitnya buku ini cukup memadai sebagai “cinderamata” bagi pemerintah maupun pengusaha yang nyaris kehilangan kesadaran terhadap keselamatan tanah airnya. Bayangkan jika setiap perairan Indonesia mengalami hal yang sama dan seluruh populasi ikan kita terancam musnah atau memusnahkan pemakannya.

Pengantar AS Laksana semakin mempertegas pentingnya buku ini sebagai dokumentasi yang tak dipalsukan. Sebagaimana Leo Kristi yang “memotretsudut-sudut negeri ini dengan jujur tanpa bermaksud menggugat, dalam lirik-lirik lagunya, saya kira sama tulusnya dengan Denny dan Jamal yang mengungkap Buyat dengan foto-foto dan puisinya. Biarlah pembaca memandang, menilai, lantas bersikap sesuai dengan tingkat kepedulian masing-masing terhadap sesama saudara sebangsa. Foto-foto dengan kekayaan kisah hidup ini menjadi fragmen, sesuai dengan subjudul tematik, yang menghiasi sejarah negeri ini dari sisi yang nyeri.

(Kurnia Effendi)