Friday, June 08, 2007

Seteru

SAYA sedang membayangkan, apakah di surga masih ada perseteruan? Mestinya tidak ada lagi selain kedamaian dan segala kenikmatan yang dijanjikan bagi orang-orang salih. Lantas apa yang akan menjadi dinamika kehidupan di nirwana? Bayangkan jika setiap keinginan akan terpenuhi dalam sekejap, hilang sudah nilai-nilai perjuangan. Ah, bukankah perjuangannya sudah dilakukan sepanjang manusia hidup di dunia? Mungkin benar dan mungkin juga keliru. Ada yang tak terjangkau oleh pikiran saya, tentu saja, mengenai surga.

Andai seluruh sifat buruk manusia di Bumi dihapuskan, sudah pasti akan berbeda sudut pandang yang berlaku. Tidak ada iri, dengki, hasut, mau menang sendiri, korup, membuka aib orang lain, dan seterusnya. Setiap penghuni surga akan selalu berpikir positif, welas asih kepada sesama, menghormati hak orang lain, tidak perlu merampok karena semua yang dikehendaki tersedia, bahkan berlimpah-ruah. Kira-kira kegiatan apa yang akan menyibukkan manusia di surga? Barangkali waktu yang berlangsung juga tidak lagi dengan ukuran jam atau siang dan malam. Matahari dan rembulan hanya milik manusia selama di alam dunia. Hampir-hampir tak ada pekerjaan, rasanya. Bisa bercinta terus-menerus dengan para bidadari (bagi kaum lelaki), dan dengan para bidadara (bagi kaum perempuan, adakah itu?). Tetapi karena sifat pembosan manusia juga barangkali sudah dilenyapkan, tak ada rasa jenuh dengan hari-hari yang tidak memerlukan penderitaan dan konflik.

Oleh karena itu, boleh jadi, kita sekarang harus menggunakan semua sifat yang ditempelkan kepada manusia mumpung masih di dunia. Dengan alasan sayang kepada keluarga dan ingin memenuhi setiap keinginan anak-isteri, mari kita raup uang sebanyak-banyaknya, tak peduli itu milik siapa. Dengan alasan ingin menjadi pemimpin yang baik bagi sejumlah orang (yang disebut rakyat atau penduduk), mari kita janjikan keindahan dan kemudahan dalam segala hal, agar kita dipilih sebagai wakil rakyat atau presiden. Dengan alasan ingin membangun sebuah kota berfasilitas mewah bagi penghuni yang berani membayar mahal, mari kita bakar rumah-rumah liar yang tumbuh di sembarang tempat. Dengan alasan ingin memberi kepedulian biologis pada kaum wanita yang jumlahnya lebih banyak ketimbang laki-laki, mari kita kaum pria membagi kehangatan kepada banyak perempuan secara sembunyi atau terang-terangan. Dengan alasan ingin menunjukkan kejujuran, mari kita bongkar rahasia orang lain yang selama ini tersembunyi sebagai aib. Dan banyak lagi kita bisa membuat daftar.

Setiap alasan ternyata mengandung motif. Setiap motif merujuk pada hasrat diri untuk menguasai. Kekuasaan yang didasari keserakahan, bukan sebagai amanat, akan menunjukkan rasa ingin menang sendiri. Ego tumbuh melebihi takaran yang seharusnya, sehingga mengganggu hak dan kemerdekaan orang lain. Ujung-ujungnya menghalalkan segala cara. Jika setiap pribadi manusia membawa elemen buruk itu, tak pelak akan melahirkan permusuhan satu sama lain. Seseorang yang eksistensi dan harga dirinya terganggu, sudah pasti mempertahankan diri dan melawan. Seteru antara satu dengan yang lain, dengan atau tanpa sopan-santun, secara gerilya maupun blak-blakan, tak dapat dihindari. Dari situasi seperti itu, mungkin saja banyak pelanduk yang hanya menjadi korban seteru dua gajah, namun bukan tidak mungkin tersembunyi kaum oportunis yang menunggu kesempatan mengambil keuntungan.

Hal-hal di atas terjadi dalam kancah politik di setiap negara dan pemerintahan. Apa boleh buat, di Indonesia tak luput dari hiruk-pikuk semacam itu. Di negeri yang nyaris separuh penduduknya tergolong rendah pendidikan, miskin, dan pengangguran, akan semakin mudah diombang-ambing oleh suhu politik. Perseteruan kaum elit politik tidak mudah mereka serap dengan intelektual yang terbatas sehingga pro dan kontra hanya berdasarkan pada pengaruh-pengaruh kekuatan ekonomi sesaat. Rakyat yang lapar mudah terhibur dengan janji jangka pendek, siap menjadi pendukung tanpa peduli siapa sebenarnya yang didukung: srigala berbulu domba atau atau penari topeng yang selalu menyembunyikan wajahnya.

Dinamika politik yang senantiasa menyemburkan adrenalin ke seluruh tubuh, membuat media massa bergairah. Warung kopi, seperti yang terjadi di Medan atau Aceh, akan selalu hangat oleh pembicaraan mengenai situasi pemerintahan. Seorang pemimpin negara yang sedang disentil harga dirinya oleh sang oposan pasti akan sibuk dengan sejumlah argumentasi pertahanan diri. Tinggal rakyat di wilayah bencana, kembali menjadi sang pelanduk nelangsa, akan tersisih dari prioritas perhatian. Bagi mereka yang sedih dan terpuruk namun tak kuasa melakukan apa-apa kecuali pasrah, barangkali lebih baik membayangkan tanah surga. Di sana kelak tidak ada lagi seteru, karena seluruh sifat buruk manusia dicabut, tinggal tabiat baik dan kemudahan dalam setiap hal.

Persoalannya adalah, apakah surga dapat diraih melalui perseteruan? Sedangkan selemah-lemah iman adalah melawan kezaliman dalam hati. Untuk sampai pada perjuangan mencari kebenaran diperlukan fisik dan mental yang kuat, juga niat yang bersih dari pamrih. Tentu saja tak perlu tergoda dengan pujian yang akan menjatuhkan diri pada sifat ria dan punahlah pahala yang semula dibangun melalui keikhlasan.

Saya kira, istilah “percaturan” politik sangat pas untuk setiap permainan di tingkat pejabat partai dan petinggi negara. Tak ada lagi tokoh protagonis dan antagonis dalam fragmen politik, saban hari terjadi perubahan demi kepentingan. Kadang-kadang bermain sebagai si putih kadangkala sebagai si hitam. Tetapi, sesungguhnya ada yang selalu siap menjadi pemeran abu-abu, meskipun dalam permainan catur hanya tersedia dua warna. Yang satu menjadi seteru yang lain. Yang abu-abu biasanya hendak mengail di air keruh.

(Kurnia Effendi, untuk PARLE)

 

                  

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home