Monday, June 11, 2007

Tubuh

TUBUH yang terbujur kaku, perlahan membusuk, dikerumuni lalat, adalah tubuh yang ditinggalkan jiwa. Tubuh yang dingin, pucat, dan kehilangan cahaya, adalah tubuh yang berpisah dengan nyawa. Kematiannya mungkin ditangisi, barangkali dirayakan, atau bahkan tak seorang pun mengetahui. Tubuh, saat itu, menjadi lebih rendah nilainya ketimbang benda mati lainnya, semisal guci keramik, cincin berlian, atau sebuah Jaguar. Tubuh yang sudah kehilangan ruh, secantik apa pun asalnya, setampan apa pun mulanya, tak seorang pun hendak memeluknya dengan gairah yang sama ketika masih bernapas dan sanggup tersenyum.

Tubuh yang tergolek tanpa detak jantung di tempat wajar maupun tak lazim, adalah tubuh yang ruhnya telah lolos. Pemandangan itu menunjukkan betapa pentingnya sang athma yang menghuni tubuh sejak diembuskan pertama kali dalam kandungan berusia empat bulan atau jauh sebelum itu. Di sana takdir dituliskan. Di sana janji sang insan dicatat untuk dipertanyakan kembali suatu waktu di pengujung usianya. Namun alam fana selalu memesona manusia sehingga banyak yang lupa terhadap ikrarnya. Kita, yang mungkin juga alpa, akan dikagetkan peristiwa akhir itu: sebuah ending yang tak terduga, namun tak mungkin mengulang semua putaran masa lampau untuk mengubah skenario.   

Romantisme kematian barangkali hanya terasa bagi yang ditinggalkan, bagi yang hidup dan meneruskan perjalanannya. Bekas manusia yang telah menjadi jasad, tidak mungkin lagi tinggal bersama-sama yang hidup. Tubuh itu dikubur, dikremasi, dilarung, atau dibalut balsam agar awet, dan dilepaskan dari kewajiban duniawi. Kehadirannya dalam mimpi, ilusi, atau bayang-bayang yang lain, semata karena pernah menjadi kenangan dalam pikiran kita, menjadi remah terserak di alam bawah sadar kita. Keping-keping peristiwa semasa hidup mengumpulkan dirinya dan sesekali tampil utuh untuk diingat lalu diceritakan. Bagi tubuh yang pernah banyak berjasa dan bermanfaat bagi orang lain, tentu muncul dengan aroma menyenangkan. Tapi, boleh jadi, tubuh molek yang pernah memuaskan mata dan tubuh lawan jenisnya secara amoral, hadir pula dengan aroma menyenangkan, namun berbeda. Bagi saya, ada sisi menakutkan untuk mencoba mengenangnya, karena mengandung dosa.

Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, semestinya memang demikian. Namun yang terjadi pada abad ini, begitu banyak jiwa yang tak sehat dalam tubuh yang tampak sehat. Stres akibat tekanan pekerjaan, beban pikiran yang tak kunjung reda, tuntutan finansial dari pelbagai pihak; tidak diterima dengan sikap yang sama. Bagi jiwa yang rentan oleh trauma dan pengalaman buruk masa lalu, lebih mudah goyah diombang-ambing pemicu yang sepele. Tanpa kita sadari, dalam tubuh yang kelihatan sehat ada benih sakit jiwa sedang menunggu waktu untuk tumbuh. Bencana yang datang silih-berganti menambah rasa takut, ketidakpastian masa depan, dan keterpurukan ekonomi. Bagi yang memiliki ketahanan jiwa rendah, tubuhnya tak sanggup lagi melindungi mental yang runtuh.

Barangkali keprihatinan terhadap penyakit jiwa yang tak tampak dalam sekali pandang, membuat Nova Riyanti Yusuf berniat memperjuangkan hak perlindungan (dan perawatan) bagi penderitanya. Erosi mental dari hari ke hari, terutama di tengah situasi hedonisme yang menuntut setiap orang mengukur segala tindakan dengan materi, menerabas ambang batas kekuatan hati seseorang. Akibat kondisi yang semakin memburuk itu, tubuh mulai diperintah oleh jiwa yang tak sehat. Tubuh seolah-olah membutuhkan penawar, padahal jiwanya yang sesungguhnya perlu pengobatan atau terapi. Orang sibuk mengonsumsi pelbagai bentuk penenang ke dalam tubuh karena itu jalan yang tampak paling masuk akal. Tubuh sekaligus menjadi keranjang sampah, sementara “infus” yang benar-benar dibutuhkan tidak datang dalam bentuk tablet atau cairan, melainkan katarsis dari hati ke hati.

Siapa yang bertanggung jawab terhadap rapuhnya jiwa dan rapuhnya tubuh? Dengan senang hati saya menjawab: masing-masing pemilik jiwa dan tubuh. Namun demikian, penyebab dari kesakitan tubuh dan jiwa lebih banyak dari faktor eksternal. Perbedaan respons dan penerimaan setiap orang itulah yang mengembangkan sejumlah akibat menjadi berbeda satu sama lain. Kenyataan ini membuktikan bahwa tubuh manusia beserta isinya akan sangat berlainan dengan tubuh dan “pikiran“ robot.

SUATU siang saya mengunjungi sebuah pameran dengan tema Simply Bodies di Merchantile Athletic Club, anjungan atap World Trade Centre, di lantai 18. Sejumlah lukisan dalam pelbagai ukuran terpampang pada dinding-dinding balairung gymnasium. Sejumlah patung berukuran kecil tersebar di atas credenza lobi gimnasium. Tempat itu merupakan ruang fasilitas rehat bagi para peserta olah raga yang telah menjadi anggota. Di sana ada semacam foyer yang leluasa, kamar-kamar rapat, ruang makan, dan sebuah tempat minum yang memiliki kaca lebar untuk memandang kota Jakarta dilengkapi bar berlatar rak minuman yang sebagian besar beralkohol.

Di arena lain tentu tersedia aneka peralatan olah raga. Kataolah raga” memang erat kaitannya dengan tubuh. Dalam ruang gimnastik, kebugaran tubuh sengaja dipelihara. Tubuh yang menjadi tempat jiwa dirawat demi kesehatan keduanya: jasmani dan rohani, fisik dan psikis. Mungkin karena itulah, pameran bertema “kesederhanaan tubuh” atau “tubuh yang sederhana” ini digelar di tempat itu. Saling menandai antara lokasi dan objek.

Gestur tubuh utuh dengan aneka posisi digambarkan dalam keadaan telanjang. Rasanya ada maksud tertentu, misalnya bahwa ketelanjangan adalah kejujuran. Sebab dalam setiap gambar sama sekali tidak memberikan kesan sensual, jauh pula dari pertemuan dua jenis kelamin. Warna dan cara menggores yang lebih diutamakan, sehingga semburan citra yang lahir lebih sebagai ekspresi jiwa.

Mereka melukis tubuh namun menggambarkan situasi jiwa. Mereka tidak melakukan “mutilasi“ seperti halnya dalam aliran dadaisme, meskipun mendekati abstrak, simbol dari pengucapan perasaan. Bisa jadi, di atas kanvas, tubuh tidak lagi penting. Seperti sastra yang kerap mengedepankan kelincahan kegiatan pikiran ketimbang gerakan fisik, lukisan tubuh dalam Simply Bodies menunjukkan tanda-tanda itu.

            Tubuh yang mati dalam dua dimensi (lukisan) dan tiga dimensi (patung) itu menjadi “hidup“ dalam pikiran kita. Sebelum dijadikan model lukisan dan patung yang mati, dihidupkan kembali melalui pikiran orang yang memandangnya, sayangilah tubuh kita dengan cara menyayangi jiwa kita.

***

(Kurnia Effendi)

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home