Tuesday, May 29, 2007

LAUT

ADA apa dengan laut? Sepekan lebih yang lalu, pantai sebelas provinsi di Indonesia (sepertiga wilayah dari seluruh provinsi)  mendapat kiriman ombak setinggi tiga sampai dengan tujuh meter. Mengempas perkampungan nelayan di tepi laut, termasuk lokasi wisata. Melihat kejadian yang tertangkap kamera para jurnalis televisi, pemandangan itu cukup mengerikan. Seolah ada “anak” tsunami sedang latihan menjilat daratan. Menurut penjelasan dari pihak Badan Geofisika dan Meteorologi, tingginya ombak ke tepian dipicu oleh kencangnya bayu di tengah lautan.

            Saya kira mirip efek domino atau yang kini lebih populer, efek sayap kupu-kupu. Sedikit saja yang berubah di ujung akan mengakibatkan sesuatu yang luar biasa di pangkal. Kiriman air atas hujan yang mengguyur pegunungan, turun melalui sungai dan celah bukit, menjadi banjir di daerah muara. Kini giliran laut yang pasang-naik, di luar jadwal “datang bulan”. Sebab yang kita tahu sejak dulu, di kala purnama benderang menghias langit, ada perubahan kecepatan angin akibat perbedaan suhu yang membuat permukaan air samudra meninggi. Lidah ombak pun menyeruak hingga beberapa meter ke daratan.

            Pernah saya menyaksikan dari kamar hotel di Sanur suatu pagi, tercetak jejak ombak yang menari-nari semalaman. Memang tidak akan mengubah peta secara signifikan, tetapi itulah “ritual” alam. Seperti yang dialami oleh para serigala dan jenis anjing lainnya: libido mereka meningkat merasuki kepala ketika bulan bundar sempurna. Mereka akan sibuk mencari pasangan. Melolong-lolong mengisyaratkan birahi kepada para betinanya. Mungkin berlaku bagi kita, manusia, juga. Tepatlah jika bercinta di bawah bulan menjadi semacam ritual, sepanjang tidak dilihat orang lain. Syaratnya barangkali satu: memiliki pantai atau pulau sendiri!

            Nusantara ini memang kumpulan nusa di antara lautan. Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau, demikian lirik lagu wajib yang kerap kita dendangkan dengan semangat saat sekolah di tingkat dasar dan menengah dulu. Menyanyi dengan bangga perlu disertai niat membela dengan bangga. Setiap ada pihak yang merebut wilayah Indonesia (dengan paksa maupun gerilya) harus kita lawan. Tapi bagaimana jika suatu saat (atau sudah?) satu persatu pulau kita yang jauh di mata itu direbut untuk dimiliki sendiri? Atau malah dijual dengan seolah-olah legal?

            Dua pertiga wilayah negara kita justru lautan. Oleh karena itu, ada semboyan pariwisata di dua dekade yang lampau berbunyi: “Go Archipelago!” Oleh karena itu, menjelang Pemilu dua periode yang silam, Partai Keadilan (Sejahtera) gigih menghitung hasil lautan yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan makan penduduk Nusantara setiap hari. Akan tetapi kenyataannya, setiap hari yang rajin mencuri ikan kita justru kapal-kapal asing.

            Katakanlah sekarang laut marah, apa salah kita sebenarnya? Apakah laut bermaksud mencuci limbah yang mencemari pantai-pantai? Apakah laut bermaksud menghapus jejak maksiat di pantai-pantai? Apakah laut ingin mengingatkan kita untuk tidak menambahi bebannya, dengan lumpur Lapindo misalnya?

            Sebagai bangsa yang bernenek moyang pelaut, jejak keberanian itu tampak pada para nelayan kita. Orang-orang Bugis dan Selayar, Kepulauan Riau, Madura, dan banyak lagi, mengingat tak satu provinsi pun bebas dari laut. Tetapi laut ibarat binatang buas yang perlu dijinakkan bila kita ingin menjadi sahabatnya. Kita mesti tahu perangainya sehingga yang kita lakukan adalah mengikuti irama kehidupan laut tanpa mengubah perilaku untuk melawannya. Seperti seorang peselancar yang pandai memanfaatkan ombak.

            Mari kita ingat ucapan para guru di sekolah dasar dan menengah mengenai posisi negara kita. Indonesia terdiri dari kepulauan, di apit dua benua dan tiga samudera.  Itu sebabnya, kata para pendahulu kita, negeri kita terletak strategis. Pertanyaan Sarwono Kusumaatmaja, mantan Menteri Kelautan di masa pemerintahan Presiden Gus Dur, ketika sekolah dulu: “Strategis buat siapa?” Karena ia ngotot menanyakan itu dan meminta jawaban, Pak atau Ibu Guru yang mengajar Ilmu Bumi (Geografi) malah mengeluarkannya dari kelas. Itu yang paling diingatnya sebagai permulaanperlawanan”nya terhadap dogma-dogma yang tak cukup menjelaskan.

            Kalau memang strategis, kenang Sarwono di tengah peserta diskusi tentang bagaimana membaca buku yang baik di Perpustakaan Diknas, mengapa kita tidak diuntungkan oleh letak kawasan negaranya? Justru memudahkan bangsa asing memasuki wilayah kita karena mereka sangat tahu dengan hasil ikan dari pertemuan tiga samudra. Apa yang sesungguhnya terjadi dengan laut kita, hanya segelintir yang tahu persis dan mereka tidak mengungkapkannya secara jujur kepada rakyat. Justru tampaknya para nelayan pribumi (arau prilaut?) yang dirugikan, ditangkap, dituduh sebagai pencuri. Mungkin kita ingat talkshow dalam acara Kick Andy di Metro TV beberapa bulan lalu yang mengangkat masalah nasib nelayan. Dua orang tamu malam itu mengaku kapalnya disita oleh petugas dengan tuduhan tanpa bukti dan hingga kini masih berhutang pada orang lain.

            Apakah laut marah terhadap kelaliman para petugas yang tidak jeli melihat juklak sehingga memilih pekerjaan yang gampang dibanding harus mengejar para pengeruk ikan berton-ton yang dengan tenang melenggang di tengah laut kita? Kapal mereka menghiasi cakrawala dengan angkuhnya. Ah, apakah penjaga laut kita tidak melihat? Barangkali perlu diganti dengan petugas yang memiliki mata lebih awas. Atau barangkali ada sebab lain yang lebih runyam bila diuraikan.

            Semoga saja laut kita kembali reda dari amarahnya. Semoga tsunami Aceh tidak memiliki “anak-cucu” yang mesti berulang kali menyambangi daratan. Ada sebuah lagu di masa kita masih kanak-kanak yang masih indah di dengar:

                        Lihatlah sebuah titik jauh di tengah laut.

                        Makin lama makin jelas bentuk rupanya.

                        Itulah kapal api yang sedang berlayar.

                        Asapnya yang putih membubung di udara….

            Hah? Kapal siapa itu? Coba pinjam teropongnya!

(Kurnia Effendi untuk PARLE 90)

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home