Dari Launching ke Launching
BANYAK cara untuk melakukan launching buku baru. Dari yang sederhana sampai yang melibatkan pelbagai performance. Buku ibarat bayi pangeran yang ditunggu-tunggu kalangan istana dan kelahirannya perlu dirayakan agar seantero kerajaan mafhum. Siasat ini tidak lain untuk melariskan penjualannya, melambungkan nama pengarangnya, sekaligus menguntungkan penerbitnya. Meskipun belum tentu sesuai dengan harapan, upaya ini patut didukung.
Saya termasuk yang cukup giat menghadiri acara peluncuran buku. Mereka, para pengarang atau penerbit merupakan teman-teman dekat, sehingga undangan melalui SMS pun tetap saya luangkan waktu untuk mendatanginya. Di balik itu tentu ada kegembiraan lain, setidaknya saya mendapatkan buku gratis untuk dibaca atau diresensi.
Launching buku yang saya hadiri beraneka-ragam tempatnya. Mulai dari perpustakaan, toko buku, kafe, galeri, hotel, kampus, atau dalam rangka pameran buku. Acaranya pun sangat bervariasi, termasuk melibatkan para selebritas kondang. Mungkin yang paling heboh dalam pengalaman saya adalah peluncuran buku Tamara Geraldine di Ritz
Tak kalah seru, Djenar Maesa Ayu meluncurkan keempat bukunya di tempat yang berbeda-beda. Buku pertama, Mereka Bilang Saya Monyet, diluncurkan di Bentara Budaya, menampilkan permainan piano Dewi Lestari, pembacaan cerpen oleh Butet Kartarajasa dan Rieke Diah Pitaloka. Berikutnya, Jangan Main-main dengan Kelaminmu, digelar di Musro, Hotel Borobudur. Di
Nirwan Dewanto berpendapat, acara launching buku sebaiknya dibebaskan dari kegiatan diskusi. Biarlah itu menjadi pesta yang menghibur, jangan membebani pikiran para tamu yang datang. Masukan ini cukup positif, karena umumnya buku anyar belum beredar luas saat peluncuran, banyak di antara mereka belum membaca. Untuk itulah saya dan AS Laksana pernah meluncurkan buku bersama (Senapan Cinta dan Bidadari yang Mengembara) di Teater Utan Kayu dengan “hanya“ menampilkan tokoh-tokoh teater. Slamet Rahardjo Djarot, Alex Komang, dan Cornelia Agatha. Mereka membaca cerpen dengan iringan biola Eko Partitur.
Tapi berbeda dengan yang dilakukan oleh penerbit Hikmah, peluncuran buku terjemahan karya best seller selalu dibarengi dengan diskusi. God’s Callgirl, misalnya, menghadirkan Romo Haryatmoko dan Nirwan Ahmad Arsuka dengan moderator Wulan Guritno. Sedangkan Remains of The Day, Ayu Dyah Pasha memandu diskusi dengan pembicara Anton Kurnia dan penerjemahnya, Femmy Syahrani. Tak salah juga, sepanjang pembicara sanggup memberikan daya pikat untu memancing orang membeli bukunya. Dibuat segar dan mengundang tanya jawab.
Apakah artis memang penting untuk perhelatan sekitar buku? Bagaimana jika pengarangnya juga seorang artis, seperti Happy Salma?
Banyak tempat untuk meluncurkan buku, tinggal bagaimana mengemas dengan tepat, antara tema buku dan kalangan yang hendak disasar. Di Cafe Omah Sendok yang ramah, setidaknya pernah meluncur buku puisi Kusampaikan karya Lintang Sugianto dengan pembaca Deddy Mizwar dan Rendra; juga tempat syukuran Akmal Nasery Basral bagi kumpulan cerpennya Ada Sesuatu di Kepalaku yang bukan Aku. Di MP Book Point yang riuh dengan komunitas (sastra, komik, film, musik jazz, dll), sudah kerap menjadi saksi launching buku. Memoar Opick, buku puisi Johanes Sugianto, antologi puisi Jogja 5,9 Skala Richter, buku pengakuan praja IPDN Mereka Membunuhku Pelan-pelan, kumpulan cerpen cinta Burung Kolibri Merah Dadu, untuk menyebut beberapa peristiwa. Dan yang baru saja lewat: Dongeng untuk Poppy karya Fadjroel Rachman, menampilkan Sujiwo Tejo, Iman Soleh, Nova Riyanti Yusuf, dan Wanda Hamidah.
Perintis toko buku kafe seperti Aksara di Kemang juga nyaris setiap bulan dipergunakan untuk acara launching buku dan diskusi. Baru-baru ini penyair belia Aurelia Tiara mengundang
Tentu yang paling sering adalah Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Barangkali merupakan kebanggan tersendiri bisa meluncurkan buku di PDS HB Jassin, seorang penulis merasa langsung mendapat pengakuan sebagai sastrawan. Dengan suasana yang lebih mewah dan modern, Perpustakaan Diknas yang berjuluk Library@Senayan ingin memulai sejarah itu melalui buku Richard Oh, disusul kemudian oleh Laskar Pelangi, novel fenomenal karya Andrea Hirata.
Dengan suasana yang lebih merakyat dan beraroma seniman teater, Warung Apresiasi Bulungan menjadi tempat yang cukup asyik. Yanusa Nugroho, Ags Arya Dipayana,
Membincang buku dari launching ke launching tak akan ada habisnya. Namun yang penting, apa tindak lanjut sesudah itu? Promosi buku tidak sebatas perkenalan di awal.
(Kurnia Effendi)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home