Thursday, July 05, 2007

Tantangan

SAYA tak hendak bercerita tentang acara Fear Factor. Meskipun akan menyebabkan derasnya pancaran adrenalin ke seluruh tubuh, tantangan yang saya maksud menyangkut cita-cita jangka panjang yang harus ditentukan sejak hari ini. Mungkin sejak kita memilih jurusan atau sekolah baru di level berikutnya. Tantangan dalam hal ini merupakan upaya meninggalkan zona nyaman sebelumnya menuju paradigma baru yang awalnya perlu penyesuaian cukup berat. Dalam proses itulah lahir banyak kriteria yang harus kita miliki.

Ketekunan, kekuatan mental, kecepatan mengambil keputusan, kejelian melihat pelbagai kemungkinan, keberanian menempuh risiko, kecerdasan menganalisis keadaan, kemampuan mengatasi rintangan, dan menyerap semua informasi, secararevolusionermengubah diri kita untuk segera beradaptasi dan menemukan track yang benar. Harus tetap fokus pada goals, mau cepat atau lambat meraihnya.

Ah, saya hanya ingin menerapkan ajaran dari sebuah pelatihan. Seseorang yang selalu melakukan pekerjaan X dengan cara X akan menghasilkan X. Bagaimana jika ingin mendapat hasil yang lebih baik, misalnya Y? Tidak ada cara lain kecuali melakukan pekerjaan Y dengan cara Y. Di sana mungkin dibutuhkan energi lebih besar, daya pikir lebih tinggi, metoda lebih canggih, risiko lebih berbahaya, dan persaingan lebih tajam.

Dalam agama Islam ada anjuran bangun tengah malam untuk melakukan salat tahajud jika ingin lebih dekat kepada Sang Khalik. Kata “lebih dekat“ menunjukkan semacam pengertian lebih baik dibanding yang tidak melakukan salat tahajud. Tantangan untuk mengerjakan salat malam biasanya meliputi rasa kantuk, dingin menyentuh air, malas berdiri dan duduk melafalkan doa, takut pada suasana sepi dan mencekam. Sementara orang lain terlelap dalam mimpi yang membuai. Tapi, dengan segala perjuangan yang dilandasi keikhlasan, dijamin menjadi lebih “mesra“ dengan Sang Khalik. Segala permintaan hamba tersayang tentu lebih diperhatikan.

Seorang yang sudah bertahun-tahun bekerja montir akan selamanya menjadi mekanik jika tak berminat belajar meningkatkan diri. Pesan seorang motivator: “Jangan lakukan kekeliruan dengan tekun bertahun-tahun.“ Benarkah yang dilakukan seorang pegawai keliru padahal sejak awal mengikuti teori dan petunjuk? Satu hal yang perlu kita tahu, dunia selalu berubah. Dulu dianggap benar, sekarang sudah ketinggalan. Dulu kita terampil mengetik dengan sepuluh jari, kini gunakan kemampuan itu dengan komputer. Dulu menyimpan arsip berupa timbunan kertas, kini cukup dalam sebuah hard-disk atau sekeping CD. Jadi, akan keliru bila masih menggunakan cara dan piranti “kuno“.

Tuntutan konsumen terhadap jasa atau kualitas produk selalu beranjak naik. Bukankah kita juga sering menjadi konsumen yang ingin pelayanan lebih baik? Dulu menunggu perbaikan mobil di bengkel sangat membosankan. Kini terasa nyaman karena ruang tunggu sejuk ber-AC, bisa menonton sinetron di televisi, minum coke gratis. Bahkan boleh menggunakan internet untuk mengirim e-mail kepada relasi, bila perlu.

Tantangan untuk menggapai posisi yang lebih tinggi memang tidak mudah. Gagasan untuk menemukan hal-hal baru juga tidak “murah“. Nah, keterpojokan biasanya lebih lekas menghasilkan ide-ide baru dan lompatan yang tak terpikir sebelumnya. Bagaimana kita menyiasati jalan hidup kita agar selalu bertemu dengan kondisi yang memojokkan? Itulah yang saya maksud dengan tantangan.

Mengapa saya tiap hari menulis sedikitnya dua jam? Pasti karena dorongan kebutuhan yang dipicu oleh deadline. Seorang sahabat, Yusi Avianto Pareanom mengakui betapa pentingnya deadline untuk mengeksplorasi seluruh kemampuan fisik dan pikiran demi menuntaskan tulisan yang tiba pada batas tenggat.

Deadline itu sengaja saya ciptakan! Saya akan menyanggupi setiap pekerjaan favorit (menulis), tanpa peduli jumlah waktu yang tersedia (atau tersisa?). Saya akanmengirisjumlah waktu untuk menyisipkan satu pekerjaan tambahan. Semakin banyak jumlah pesanan menulis dengan deadline yang saling berdekatan, amboi, adrenalin berselancar! Saya akan menggunakan waktu rehat untuk menyicil tulisan atau membaca referensi. Saya akan mengurangi jumlah jam tidur.

Apakah saya telah beralih dari zona X ke zona Y? Parameternya bermacam-macam. Setiap perubahan tidak selalu berarti peningkatan signifikan terhadap pendapatan. Jika menyangkut hobi, melajunya produktivitas menghasilkan kepuasan batin. Banyak menulis berarti banyak tampil di media massa, dikenal secara luas. Ini menjadi awal terkembangnya networking. Setidaknya saya punya jaringan redaktur, komunitas pengarang, penerbit, ilustrator, pengelola toko buku, dosen sastra, penerjemah, lembaga kebudayaan, yang sewaktu-waktu menjadi mitra kerja dalam sebuah proyek. Bukankah hampir setiap bidang pekerjaan memerlukan network, karena umumnya bersifat kolaborasi?

Setelah zona Y dikuasai, suatu ketika akan menjadi sebuah rutinitas kembali. Barangkali perlu menguji lagi pancaran adrenalin kita menuju titik tegang, cemas, ngeri, sebagaimana ketika melontarkan diri dari tepi jembatan dalam olahraga bungee jumping. Maksud saya, bagaimana kalau kita coba-coba merambah ke zona Z?

(Kurnia Effendi, untuk Proteksi)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home