Wednesday, July 04, 2007

Wulan Guritno, Buku sebagai Bumbu Pengalaman

DALAM pengamatan saya, cara memasarkan buku saat ini, baik fiksi maupun nonfiksi tidak lagi melulu mengandalkan toko buku. Gagasan marketing-nya mulai berbeda, lantaran persaingan antar-penerbit juga cukup menggairahkan. Dulu, pameran buku (book fair) berlangsung hanya sekali dalam satu tahun melalui perhelatan IKAPI, digelar selama seminggu. Kini banyak lembaga dan komunitas melakukan hal serupa, sehingga bursa buku tak hanya berlangsung di satu tempat atau dalam waktu sebentar saja.

Dalam dua tahun berselang, kita beberapa kali dimanjakan penjualan buku besar-besaran. Sebut saja World Book Day di balairung Perpustakaan Diknas Senayan, Islamic Book Fair, Gramedia Book Fair, bursa buku di kampus (Trisakti, UI, dll.), termasuk event “cuci gudang” yang diumumkan secara terbatas oleh penerbitnya. Sementara komunitas dan toko buku “indie” banyak memasarkan buku-bukunya melalui mailing list (internet). Bahkan toko buku seperti MP Book Point di kawasan Jakarta Selatan, seminggu di akhir bulan selalu menggelar penjualan buku dengan harga diskon.

Apa yang biasanya terjadi saat berlangsung pameran buku? Kesempatan itu acap digunakan oleh sejumlah penerbit untuk meluncurkan buku-buku terbaru mereka. Di stand masing-masing, penerbit membuat acara diskusi atau book signing dengan menghadirkan pengarangnya. Cara serupa ini cukup efektif, apalagi bila nama pengarangnya kondang di kalangan pembaca. 

Agaknya inilah tren yang sedang mewabah di kalangan penerbit: buku yang “dilahirkanperlu dirayakan sebagai bentuk sosialisasi sekaligus upaya menjual dengan lebih lekas. Selain terselenggara dalam kegiatan pameran, peluncuran buku disertai diskusi dan pembacaan karya juga mulai marak di pelbagai tempat, seperti toko buku, kafe, perpustakaan, dan  galeri atau museum. Dalam artikel lain, saya akan menceritakan pengalaman kesaksian dari launching ke launching.

Kini, diskusi tidak hanya menampilkan para pembicara sastrawan. Mungkin karena para selebritas juga banyak yang menjadi penulis,  kehadiran mereka menjadi semacam fashion tersendiri dalam acara peluncuran atau diskusi buku. Mereka dipilih, selain cantik atau tampan, juga karena memiliki kepedulian terhadap buku.

Apa kira-kira tujuan dari para penerbit atau pengarang buku dengan mengundang para bintang untuk memeriahkan acara peluncuran? Tentu ada banyak alasan. Selain merupakan kolaborasi yang baik antarseniman (sastra dengan musik atau film), membawa serta selebritas akan lebih mudah mengundang wartawan datang. Mereka, para jurnalis yang haus berita itu, tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk dapat mewawancara sang bintang. Meskipun pertanyaan mereka lebih kerap menggali masalah pribadi ketimbang menyoal topik buku yang didiskusikan.

Demikianlah, faktanya sekarang, dalam event pameran buku ada peluncuran buku; acara launching dikemas dengan diskusi dan book signing oleh pengarangnya; dalam diskusi hadir tokoh publik yang menarik perhatian pengunjung. Salah satu selebritas yang sering terlibat dalam aktivitas perbukuan adalah Wulan Guritno.

Wulan Guritno dan buku, sedekat apa hubungannya? Untuk tahu lebih banyak, saya sengaja mengajaknya berbincang. Dalam tiga tahun terakhir, bintang sinetron ini memang karib dengan buku. Konon dimulai dari peluncuran novel terjemahan berjudul One Night Stand, beberapa tahun lalu. Ditemui di restoran Takigawa, Senayan City, saya ditawari mencicipi menu yang tersedia di sana. Sambil mengudap appetizer, obrolan berlangsung santai.

Sejak kapan tertarik dengan buku?

Sejujurnya, aku sangat suka buku waktu masih SD. Dulu bukan hanya suka baca tapi juga bikin komik. Temanku yang nggambar, aku yang nulis ceritanya. Lalu dijual ke teman-teman, eh, laku lho! Kira-kira sampai masuk SMP, masih suka baca buku. Jadi buku memang nggak asing buat aku. Tapi sekarang perlu waktu luang buat membaca.

Buku macam apa yang disukai?

Aku lebih suka buku-buku yang menceritakan tentang perjalanan seorang tokoh. Ya, biografi atau memoar. Selain itu juga buku-buku sufi. Buku yang terakhir kubaca judulnya Tabir Terakhir.

Siapa pengarangnya?

Siapa ya? Aku lupa. Aku jarang mengingat nama pengarang. Buat aku, isi bukunya yang lebih penting. Dulu aku biasa beli buku-buku sufi di daerah Kemang Utara. Mulanya aku tersesat jalan, eh malah nemu toko buku. Nggak besar, tapi bukunya bagus-bagus. Di belakangnya ada kafe yang khusus menyajikan menu makanan Timur Tengah.

Sekarang bagaimana menyiasati waktu untuk baca buku?

Nggak ada waktu khusus sih. Tapi di mobil selalu ada beberapa buku. Pas istirahat shooting atau kalau lagi nggak nyetir sendiri. Beberapa buku yang baru beli masih belum sempat dibaca. Tapi waktu mau jadi moderator diskusi buku, aku paksain baca. Biar paham apa yang mau dibahas.

Ada rencana menulis buku?

Nulis? Hahaha, belum ada panggilan untuk itu. Memang dulu merasa bisa nulis tapi nggak tahu bagus atau jelek. Kalaupun bakal bikin buku, semacam kisah pribadi, mungkin hanya bisa menceritakan saja dan yang nulis orang yang lebih ahli… Ayo, mas, cobain menu andalan Takigawa. Ini buat kita berdua, porsi besar, aku sendirian nggak habis. (Saya pun mulai mencicipi hidangan yang tak tahu apa namanya. Hmm, lezat!)

Ngomong-ngomong, ini restoran Wulan?

Milik rame-rame sih. Ada Hessy dan keluarganya, aku, keluarga pacarku, juga Krisdayanti. Selain di sini, ada juga di Citos. Cuma di sana tempatnya lebih kecil. Eh, tiap Sabtu, Takigawa di Citos buka 24 jam.

Boleh dong bikin acara peluncuran buku di Takigawa?

Oh, tentu boleh. Kita bisa bikin panggung di floating tatami ini. Tinggal dibuka tirai-tirainya. Waktu grand opening, Krisdayanti nyanyi di situ, orang bisa nonton dari segala arah. Novel mas Kurnia berikutnya? Kita bisa kerja sama. Saling mempromosikan.

Nah, jika diibaratkan makanan restoran, buku itu jenis makanan apa? Main sinetron makanan apa?

Emmm(Wulan tampak berpikir). Oke, begini, main sinetron itu seperti masakan yang sudah matang. Kalau buku ibarat bumbu yang membuat sedap setiap makanan. Aku membaca buku buat memperluas pengalaman. Kayak kemarin waktu baca God’s Callgirl, aku jadi tahu banyak tentang kehidupan mantan biarawati yang menjadi pelacur itu. Jadi, misalnya aku harus memerankan seorang pelacur, bisa belajar dari pengalaman orang lain melalui buku. Nggak perlu jadi pelacur dulu, kan?

Jika boleh tahu, apa yang menarik Wulan terlibat dalam peluncuran buku dan diskusi?

Karena aku suka, benar-benar dari hati. Sebenarnya aku lagi kepingin main teater lagi. Jadi aku suka kalau dapat tawaran untuk membaca petikan cerita. Itu kan ekspresi perasaan. Dengan membaca puisi atau cerpen, keinginan berteater sedikit terwakili. Selain itu, aku ingin tahu bidang-bidang seni yang lain. Sebagai pemain film dan sinetron aku ingin kenal sastra juga. Sekarang banyak penulis dan sastrawan Indonesia, tapi aku nggak kenal mereka. Dengan mengikuti acara seperti itu aku jadi tahu, o, ini yang nulis buku itu. Aku diundang acara-acara seperti itu kan nggak hanya sebagai tamu, tapi diminta untuk baca petikan karya. Aku sangat menikmati karena memang suka. 

Sekarang ini banyak berlangsung pameran buku sekaligus dimanfaatkan buat launching dan diskusi. Apa pendapat Wulan mengenai ini?

Menurutku bagus. Karena bagi orang yang baru suka baca tapi nggak gila baca, di sinilah mereka terpancing. Aku kadang-kadang kalau ke Gramedia suka bingung mau beli buku apa? Kecuali ada buku yang lagi jadi gosip, langsung nyari. Dengan pameran oang akan lebih mudah mendapatkan buku yang diinginkan.    

            Apakah kesukaan membaca turun kepada anak?

Oh ya, betul itu. Anakku lagi getol-getolnya membaca. Aku nggak perlu ngajarin. Dia itu lebih duluan membaca buku teks baru kemudian menyukai komik. Berat deh bacaannya. Ensiklopedia. Baru belakangan dia mulai suka baca komik.

Menurut Pak Taufiq Ismail, berdasarkan survey terbukti masyarakat Indonesia kurang suka membaca, bagaimana cara mengubahnya?

Wah, bingung juga. Tapi harus dari diri sendiri dulu. Contohnya aku, dulu suka banget membaca, lalu sempat berhenti karena kesibukan lain. Menurutku, kegemaran membaca yang sudah ada dari kecil itu harus tetap dipelihara. Walaupun tambah usia biasanya makin sibuk, tetap harus disempatkan. Aku kan sekarang mulai lagi beli-beli buku dan paling suka jika diminta menyumbang acara dengan membaca puisi atau cerpen gitu.

            Pertanyaan terakhir, berapa koleksi buku Wulan?

Emmm, belum banyak sih. Baru seratusan buku.

SERATUS buku asalkan semua dibaca masih lebih mulia ketimbang menimbun ribuan buku tapi tak sempat membacanya. Mungkin sudah saatnya prosa dan puisi dibuat dalam bentuk audio, ya? Biar tinggal mendengarkan sambil memasak, menjahit, atau mengendarai mobil. Akhirnya, setelah menandaskan seluruh hidangan khas Jepang di meja kayu agatis, kami berpisah. Saya tinggalkan Takigawa yang semakin ramai pengunjung, seraya terus membayangkan: betapa kian cantiknya acara peluncuran buku yang berhiaskan para bintang sinetron penggemar buku!

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home