Monday, July 02, 2007

Martabat

BEGITU pentingnya martabat bagi seseorang, untuk mempertaruhkannya kadang-kadang memerlukan pengorbanan. Dalam sebuah novel (juga film) berjudul Remains of The Day, tokoh utamanya, Mr Stevens ingin menjunjung tinggi martabat sebagai kepala pelayan sesuai dengan anjuran orang tuanya. Komitmen itu pula yang seolah menjadi bumerang bagi sang ayah. Ketika ia dalam sekarat, Mr Stevens anaknya yang telah menjadi kepala pelayan sebuah keluarga bangsawan, bersiteguh tetap menjalankan tugas dalam acara jamuan makan. Ajal menjemput sang ayah, anaknya merasa pada posisi yang benar. Perilaku itu pula menjadi bumerang yang lain bagi dirinya, karena seorang wanita yang diam-diam mencintainya pun luput. Kazua Ishiguro, penulis novel yang berasal dari Jepang, begitu rinci menggambarkan karakter orang Inggris.

Martabat juga tumbuh dari akidah Islam. Diceritakan suatu peristiwa ketika Siti Fatimah, putri Rasulullah, menerima tamu perempuan. Sebelum dibuka pintu, sesudah membalas salam, Fatimah menanyakan: ”Dengan siapa kamu datang?” Saat dijawab sang tamu membawa seorang anak, masih diajukan pertanyaan berikutnya: ”Laki-laki atau perempuan?” Dalam riwayat itu, menunjukkan betapa hati-hatinya Fatimah sebagai perempuan menjaga martabat ketika harus menerima tamu. Di luar pengetahuan suaminya, Sayidina Ali, dia harus menjaga kehormatan dengan tidak menerima tamu lelaki.

Akan tetapi, siapakah yang masih memiliki martabat dewasa ini? Seorang pemimpin partai, misalnya, tersangkut skandal seks dengan istri pendukungnya. Seorang anggota DPR yang menjaga gawang komisi kerohanian justru direkam hubungan intimnya dengan seorang penyanyi yang bukan istrinya. Kedua contoh itu mempertunjukkan jatuhnya moral. Runtuhnya martabat. Pemimpin yang seharusnya menjadi teladan terbukti merusak bukan saja nama pribadi, namun sekaligus juga nama korps atau organisasi.

Para koruptor Indonesia tentu telah menukar martabat dirinya, martabat keluarganya, martabat jabatannya, untuk sebuah kenikmatan duniawi. Tetapi, seperti juga kita ketahui bersama, tak ada yang bekerja sendiri dalam merugikan keuangan negara. Bahkan seorang mantan mentri yang begitu dermawan bagi para nelayan dengan pelbagai bantuan di saat kaum pelaut itu dilanda kesulitan, juga dikabarkan menerima rumah dan mobil untuk pribadi. Di luar itu semua, entah berapa banyak orang, pejabat, lembaga, dan organisasi, yang menerima kucuran dana nonbujeter.

Sedih rasanya membayangkan semua itu terjadi di negara yang sejak kita SD digambarkan sebagai negara yang toto tentrem kertoraharjo. Masyarakatnya ramah dan memiliki budaya gotong-royong. Rupanya kini ditafsirkan lain: pengadilan ramah terhadap terdakwa yang saling bergotong-royong dalam melakukan korupsi.

Ada martabat yang diagungkan oleh sebuah keluarga besar mantan presiden kita. Di masa lalu, ketika menjabat sebagi orang nomor satu di Indonesia, tentu ingin kehormatannya tak tercela. Saya ingat sebuah kenangan Rosihan Anwar, yang mendapat kecaman sekaligus ancaman pedas, karena telah ”mengusik” masalah pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Di sana, saat itu, seolah wartawan yang penanya lebih tajam dari pedang itu sedang ”melukai” martabat Soeharto. Keduanya kini masih hidup, mudah-mudahan dengan pikiran yang tidak pikun. Mereka pasti dapat saling mengingat kejadian sekian puluh tahun silam. Kira-kira, martabat seperti apa yang hendak dipertahankan atau diusik?

Kita merindukan kembali pelajaran budi-pekerti. Sesungguhnya, saya yakin, ada sisi nurani manusia yang tetap menghendaki terjaganya martabat. Tetapi setiap kali kita tergoda oleh situasi di sekeliling kita. Di saat seperti ini, ketika penyanyi rock digandrungi lebih dari seorang nabi—ah, jadi teringat pernyatan John Lennon yang menganggap dirinya lebih terkenal dari Yesus Kristus—agama tampak ”nyinyir”. Mengapa demikian? Karena hanya menyuarakan khotbah yang menggambar dua kutub ekstrem antara surga dan neraka. Sementara dua hal itu begitu abstrak digambarkan.

Mungkin perlu orang-orang yang rendah hati dan jernih pikirannya untuk memberikan keteladanan tanpa harus menakut-nakuti. Martabat harus diajarkan sejak dari rumah. Di ruang makan atau saat-saat menonton TV. Martabat dimulai dari hal-hal yang kecil, agar anak-anak kita menghormati guru sebagai orang tua di sekolah. Martabat yang kita miliki dibangun melalui penghargaan terhadap martabat orang lain.

Jadi, ketika satu kelompok preman sedang bersitegang dengan kelompok preman lain, dalam jiwa mereka tentu bergolak patriotisme mempertahankan martabat. Kelompok yang mengambil sikap untuk tidak melanjutkan pertikaian dan mencoba memandang diri sendiri sebagai introspeksi, barangkali akan lebih bermartabat. Sama halnya ketika rombongan bonek (orang-orang dengan bondo nekad) merusak mobil, melempari stasiun yang dilewati, selepas dari stadion, akibat tim sepak bola idolanya kalah, pasti bermaksud menjunjung martabat kedaerhannya. Tanpa sadar, fanatisme berlebihan itu justru merusak martabat.

Martabat bangsa kita sedang diuji melalui kasus penganiayaan Ceriyati di negeri jiran. Ia seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita) di antara ratusan lainnya yang bernasib buruk. Ia bekerja pada majikan yang kejam, selain mendapat hukuman fisik setiap kali melakukan kesalahan (termasuk yang sepele), bahkan gajinya tak dibayar selama 4 bulan. Tindakan nekadnya, meluncur turun dari balkon apartemen yang tinggi dengan tali selendang, telah membuat heboh seantero negeri. Kejadian sejenis ini bukan yang pertama kali. Namun setiap kali kita tertampar oleh peristiwa mengenaskan sekaligus memalukan, seolah tak ada daya upaya untuk mendapatkan keadilan bagi warganegara kita yang menjadi korban. Di sinilah martabat bangsa sedang dipertaruhkan.

Mertabat memang beda dengan martabak. Yang terakhir ini sangat lezat bila disantap selagi hangat.

(Kurnia Effendi, untuk PARLE)

 

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home