Monday, July 23, 2007

NENEK

AURA nenek kadang-kadang masih begitu dominan di rumah kita. Seolah-olah kasih sayang nenek kepada kita, cucu-cucunya, lebih bebas-nilai ketimbang cinta ibu. Ini terjadi terutama pada keluarga yang sempat “singgah” di rumah mertua, sebelum memisahkan diri. Dari sudut pandang nenek (juga kakek), kehadiran cucu lebih membahagiakan. Bagai “orgasme” kedua setelah bertahun-tahun lalu melahirkan anak sendiri, yang kini telah memberinya cucu.

Barangkali dulu, ketika menjadi ibu, nenek tak hanya memiliki permata hati. Seiring dengan itu, ada tanggung jawab merawat dengan pengalaman yang minim dan terasa mendadak. Mungkin ada kesulitan ekonomi, mungkin ada perbedaan pendapat dengan suami, mungkin ada hubungan sosial yang kurang harmonis dengan lingkungan. Hal-hal serupa itu, juga ketakutan terhadap masa depan sang bocah yang masih samar-samar karena “hidup” baru mulai, membuat situasinya tidak sebebas ketika telah menjadi nenek.

Di sinilah kemudian lahir standar ganda, jika antara nenek dan ibu berbeda cara dalam memberikan kasih sayang atau perhatian. Ibu yang telah belajar segala sesuatu semasa sekolah, kuliah, dan bergaul, menjadi sedikit pintar. Di satu sisi ia membutuhkan pengalaman nenek dalam merawat bayi dengan sentuhan tradisi turun-temurun. Di sisi lain ada buku-buku pengetahuan yang membawa ibu-baru itu ke jenjang modern. Menurut nenek, bayi harus dibedong, misalnya. Sementara dokter masa kini justru menyarankan agar membebaskan seluruh anggota badan bayi bergerak sesukanya, jangan dipaksa untuk tertib lurus. Siapa yang benar?

Menjelang tiga tahun, cucu memasuki masa-masa lucu. Pipinya menjadi sasaran cubitan tangan. Makan dan minumnya sangat diperhatikan. Keterampilannya meraih barang sungguh mengkhawatirkan. Ada bahaya mengancam, namun di usia itu kreativitas sedang dipertunjukkan. Nah, mulailah nenek membiarkan setiap gerakan. Bahkan andaikata sang cucu ingin tidur larut malam atau menolak bobok siang. Sedangkan ibunya yang mungkin sibuk di kantor mencoba memonitor lewat pembantu untuk memastikan: apakah anaknya mengikuti semua aturan yang tadi pagi di”doktrin”kan? Dengan pelbagai varian, begitulah kira-kira awal munculnya perbedaan cara mendidik yang selanjutnya menimbulkan standar ganda bagi si mungil. Boleh jadi, ia akan lebih cinta pada nenek.

***

NENEK saya seorang pendongeng. Mungkin karena itu saya menjadi penulis. Saya tak pernah menemukan kaitan antara talenta saya dengan kemampuan ayah atau ibu dalam berkesenian. Ayah saya seorang olahragawan sekaligus pandai menari Serampang Dua Belas. Ibu saya tak bekerja, di rumah saja, namun pada usia separuh baya giat dalam kelompok karawitan dan kadang-kadang menembang mendampingi sinden, meskipun bukan untuk profesional. Jadi saya simpulkan saja, kemampuan merangkai cerita fiksi tumbuh dari kegemaran saya mendengar dongeng. Setidaknya ada peran imajinasi dalam proses itu.

            Nenek punya pengaruh besar bagi perkembangan masa kecil saya. Nenek yang lugu dan ilmunya terbatas (kecuali hasratnya yang tak terbatas dalam membaca buku-buku di perpustakaan Belanda sebelum kemerdekaan) itu tak pernah belajar ilmu psikologi. Itu terlihat dari caranya menyampaikan dongeng tanpa dipagari pandangan mengenai norma, sehingga saya pun menerima semua kisah tanpa sensor. Baru saya sadari setelah besar, bahkan ketika sudah kuliah, bahwa saya pernah menyerap cerita-cerita yang mengandung unsur seksual. Ketika saya kecil, nenek berkisah tanpa tedeng aling-aling. Tapi percayalah, saya tidak menganggapnya itu sebagai pornografi, meskipun menyangkut perbincangan tentang alat kelamin. Sejauh ini, saya belum berani menceritakan kepada anak-anak saya, padahal seharusnya saya tidak perlu menggunakan standar ganda. Jika saya menerima seperti dongeng-dongeng biasa, barangkali anak-anak saya pun akan memiliki persepsi yang sama.

            Kasih sayang nenek saya ternyata dirasakan juga oleh istri saya, sebagai cucu menantu. Dalam hal ini, ada perbedaan yang mungkin cukup beralasan. Nenek istri saya konon galak. Anaknya yang hidup tiga belas, maka terbayanglah sejumlah besar cucu yang berada di sekeliling kehidupannya. Sementara nenek saya hanya punya anak tunggal: ibu saya. Dari ibu saya lahir “hanya“ empat anak. Dengan demikian ada keluarga yang tampak kolosal di satu pihak, dan terasa minimalis di pihak lain. Tentu saja, secara logika, yang minimalis ini lebih terlimpahi perhatian ketimbang yang sulit dihapal nama-nama cucunya lantaran melewati angka belasan.

            Sebuah peristiwa yang membuat saya lebih terharu adalah ketika mendengar kabar nenek saya meninggal. Istri saya yang merasa paling kehilangan dan air matanya sulit dihentikan sepanjang jalan menuju kampung tempat jenazah itu disemayamkan. Menurut pengakuannya, ia baru merasa punya nenek sejak menikah dengan saya.

            Suatu saat, bila dianugerahi usia panjang, mungkin istri saya juga akan menjadi nenek. Ia sudah harus memilih, ingin menjadi nenek seperti apa? Cucu-cucunya yang akan menilai kelak.

(Kurnia Effendi untuk PARLE)