Wednesday, July 11, 2007

Paradigma

 Penemuan terbesar abad ini bukanlah sebuah tanah baru, tapi melihat tanah lama dari pandangan yang baru.”

            Kalimat di atas tidak terlampau ajaib. Juga tidak asing bagi telinga kita. Mungkin sudah pernah disampaikan orang lain jauh sebelum hari ini. Tapi SR Kristian, salah satu pebisnis yang tergabung dalam multilevel marketing dengan sistem jaringan yang telah teruji berpuluh tahun, mengucapkannya kembali dengan semangat yang positif. Saya tak hendak membahas mengenai SR Kristian yang sukses itu, namun dalam kesempatan pendek ini saya bermaksud membicarakan tentang paradigma. Sebuah pemahaman, atau cara pandang, yang berubah.

            Dalam sebuah diskusi novel karya Gabriel Garcia Marquez, Seratus Tahun Kesunyian; AS Laksana sebagai pembahas menyayangkan penerjemahan kata discover menjadi melihat, dalam konteks seorang tokoh yang (baru pertama kali) memandang es. Mengapa tidak dibiarkan dalam arti harfiahnya, bahwa orang itu “menemukan” es dalam hidupnya? Seperti Columbus menemukan Amerika, tentu bukan karena benua itu baru tumbuh atau selama ini menghilang.

            Cara pandang baru! Hal ini mengingatkan cerita “klasik” seorang instruktur pelatihan yang membuka awal training bagi para wiraniaga dengan: tugas memasarkan sepatu ke pedalaman Afrika. Dua salesman yang mendapatkan pekerjaan itu berpikir dengan sudut pandang yang berbeda. Seorang dari mereka mendadak keruh wajahnya, sementara yang seorang lagi seperti bola lampu yang baru dinyalakan oleh tangan ajaib.

            “Bagaimana mungkin saya menjual sepatu pada masyarakat yang sepanjang waktu tidak mengenakan sepatu? Sebuah pekerjaan sia-sia!” itulah keluhan wiraniaga yang pesimis dan putus asa sebelum mulai bekerja. Sementara sang optimis berpkir lain: “Wah, ini sebuah kesempatan luar biasa. Andai seluruh penduduk itu mengenal sepatu dan tahu betul gunanya, berapa pasang yang harus saya bawa ke sana untuk memenuhi kebutuhan itu?”

            Saya kira, wiraniaga kedua ini melihat hubungan antara sepatu dengan orang yang tak mengenal sepatu bukan dari sisi gelap, tapi justru dari sisi terang. Ia ingin menciptakan sebuah pengalaman, sensasi, pengetahuan baru, cara pandang baru, bagi orang-orang yang “terbelakang” itu. Bayangkanlah ibu kita yang kebetulan ndeso ketika diperkenalkan dengan handphone, pasti ada sesuatu yang terasa ajaib dalam pikirannya. Alat sekecil itu pandai menerima dan mengirim suara kita dalam detik yang sama? Bisa membangunkan tidur kita jika diaktifkan alarmnya. Bisa merekam dan menyimpan gambar, lalu…. dan seterusnya. “Pantesan, di mana pun kamu berada bisa dihubungi atau menghubungi kami di dusun terpencil ini.”

            Kalau kita mendengar kata bakso, pasti yang muncul dalam gambar ingatan adalah benda bulat yang terbuat dari cincangan lembut daging yang sudah diramu bersama tepung dan bumbu. Kini dalam sebuah bakso tak hanya ada telur, atau keju, bahkan yang tersiar akhir-akhir ini di kawasan Banyumas: bakso dengan isi buah. Mulai dari nenas, apel, sampai strawberry. Dengan kata lain, kini tak ada yang tabu dalam sensasi rasa untuk lidah. Bukankah sejak dulu di Thailand sudah ada nasi goreng nenas?

            Cara pandang baru selalu terkait erat dengan kreativitas manusia. Tapi kreativitas tidak selalu seperti datangnya wahyu. Penemuan biasanya merupakan ramuan antara gagasan dalam prosentase kecil dengan sejumlah praktik berulang kali, melalui serangkaian percobaan dan kesalahan. Paling umum, penemuan lahir karena meniru alam. Pesawat terbang tak mungkin dipisahkan dengan kinerja seekor burung. Helikopter boleh jadi belajar dari cara capung berhenti di udara.

            Dulu, ketika terbit ide pertama kali menjual air mineral, barangkali ada pihak yang tertawa menyepelekan. Kini setiap orang membutuhkan air putih. Merk Aqua tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan berjuta orang di seluruh dunia. Bukan karena orang malas merebus air lalu meimasukkannya ke dalam kendi atau kulkas, tetapi air kemasan dengan komposisi yang dibuat sangat ilmiah itu memberikan sugesti kepada kita tentang air minum yang sehat.

            Dengan berpijak pada ungkapan di awal tulisan, kini yakinlah tentang nilai tambah sebuah paradigma baru. Dari biji kopi yang sama, harganya bisa berbeda-beda. Serbuk kopi yang diseduh dari kemasan Kapal Api (untuk menyebut salah satu merk dagang) di sebuah kedai, berbeda jauh harganya dengan yang disajikan di sebuah kafé. Pada kopi yang sama, dalam kafé telah ditambahi dengan pelayanan istimewa, cangkir yang bagus, ruangan yang sejuk, bahkan dengan sajian musik. Berbeda lagi ketika kita singgah di Starbucks. Aneka ramuan kopi ditawarkan dalam nama yang sulit dieja. Dalam hal ini kopi yang sama telah diberikan sejumlah aksesoris hasil kreativitas ahli kuliner. Walaupun harus mengambil sendiri, membawa nampan ke meja sendiri, atau terpaksa antre jika resto penuh, pelanggan Starbucks bersedia membayar mahal. Ada apa di balik rasa kopi yang awalnya dari biji kopi yang sama? Saya rasa sebuah sensasi telah disematkan di samping brand yang sudah berkibar di tengah gaya hidup orang kota.

            Begitu pintarnya seorang pemasar menciptakan cara pandang baru, baik bagi dirinya maupun bagi pelanggannya. Orang diminta untuk menghargai hasil kreativitas dan penemuannya, dan untuk itu sebuah nilai yang tidak standar, dicantumkan. Siapa yang ingin repot-repot menghitung modal setiap materi yang disajikan? Serbuk kopi, air panas, gula cair, krim, cokelat, gelas kertas, logo yang dicetak, mesin penyeduh, listrik….

            Mari kita buka mata selebar-lebarnya melihat setiap masalah sebagai tantangan yang memancing hasrat kita untuk mengubahnya menjadi kesempatan. Terutama yang menyangkut hajat orang banyak: makanan, kesehatan, komunikasi, dan transportasi. Melihat orang terlampau gemuk, sebagai contoh saja, para pakar segera menciptakan gimnasium, buku petunjuk diet, klinik yang khusus mengatasi obesitas, restoran vegetarian, susu dengan formula pelangsing, fashion khusus ukuran XXXL, dan seterusnya.

            Temukanlah terus hal-hal baru dari ruang hidup yang telah lama kita kenal ini.

(Kurnia Effendi untuk Parle)