Tuesday, September 25, 2007

Dari Balik Hujan

SEBENARNYA Raisa ragu untuk meneruskan niatnya. Dari jendela kelas ia melihat langit tidak secerah tadi pagi. Tetapi ia tak punya waktu luang lagi. Akhir pekan ini ia harus ikut rombongan keluarga ke Banten. Padahal semingu lagi masuk bulan Ramadan! Hanya dalam beberapa hari inilah Raisa memiliki kesempatan menjenguk Tino.

            “Seharusnya dari kemarin-kemarin,” keluhnya sambil masih menatap langit yang mengusung mendung.

            “Apa yang seharusnya dari kemarin?” tegur Cuaca, cewek keturunan Cina, teman sebangku Raisa.

            “Oh,” Raisa menggeleng sambil menatap temannya. Dipamerkannya senyum. “Ini pasti gara-gara kamu. Atau mestinya kamu punya cara untuk mengusir mendung itu.”

            “Hei, apa salahku? Apa yang salah dengan mendung itu?” Kening Cuaca mengernyit.

            Namamu Cuaca. Kamu pasti mampu mengatur cuaca hari ini…” canda Raisa terhenti oleh cubitan Cuaca.

            “Siapkan kertasmu! Bu Irma sudah melirik ke arah kita.” Cuaca mengingatkan.

            “Ulangan?” Raisa terbelalak.

            “Itulah! Kupikir kamu sedang menyesali lantaran nggak belajar.”

            “O-o, itu juga, sih.”

            Empat puluh lima menit kemudian, akhirnya selesai sudah kegiatan belajar hari itu. Pukul dua kurang seperempat, seluruh isi kelas menghambur keluar. Yang diperhatikan pertama kali oleh Raisa setiba di halaman sekolah adalah langit.

            “Eh, kamu serius soal mendung itu ya?” seru Cuaca.

            “Aku nggak mau kehujanan di jalan.”

            “Kujamin nggak akan hujan sampai kamu tiba di rumah.” Cuaca tersenyum. Sepasang mata sipitnya memejam dan menengadahkan kedua tangan seperti berdoa.

            “Aku percaya!” Raisa tertawa. Tapi, sebenarnya Raisa tak hendak langsung ke rumah. Ia akan menjenguk Tino. Cuaca tak perlu tahu rencana pribadinya itu.

            Mereka berpisah di gerbang sekolah. Seperti biasa, Raisa memanggil Bang Arpan, tukang ojek langganannya. Tapi kali ini arah yang hendak ditempuhnya berbeda.

            “Kita ke Rawamangun, Bang!” katanya sambil membonceng.

            “Rawamangun? Ke tempat siapa?”

            “Tino. Sudahlah, jalan dulu aja! Keburu hujan nih!”

            Bang Arpan, si abang ojek yang juga tetangga Raisa itu mengikuti perintah. Ia meluncurkan motornya ke Jalan Pemuda, menyibak-nyibak lalu lintas yang padat. Pada perempatan kedua belok ke kiri, masuk ke Jalan Sunan Giri sesuai isyarat Raisa.

            Ketika motornya tiba di depan kompleks kuburan Rawamangun, tangan Raisa menepuk bahu Arpan. “Stop, Bang!”

            “Di mana rumah Tino?”

            Raisa yang sudah turun segera meletakkan jari telunjuknya di bibir. Pesan Raisa: “Jangan ditinggal, ya. Tunggu saja di sini. Eh, tapi kalau ada penumpang jarak dekat boleh aja Abang ambil, asal tak lebih satu jam harus balik ke sini.”

            Bang Arpan mengangguk dengan seringai ramahnya. Ia menganggap Raisa seperti keponakan sendiri. Andaikata kelak Raisa kaya raya, ingin benar ia jadi sopirnya. Majikan seperti dia pasti asyik, batinnya.

            Tetapi ia tambah heran sewaktu Raisa benar-benar masuk ke dalam kompleks permakaman. Apakah Tino tinggal di belakang kuburan itu? Atau Tino sudah meninggal? Diam-diam Arpan bergidik, lalu menggeser sepeda motornya ke sekitar penjual bunga.

            Ia memperhatikan Raisa yang berjalan menunduk memasuki pintu permakaman. Masih dengan seragam sekolahnya, membaur dengan para peziarah yang lain. Menjelang Ramadan, hampir setiap komplek permakaman ramai dikunjungi orang.

            “Aku datang, Tino. Maafkan jika baru hari ini aku mengunjungimu.” Berulang kali Raisa menggumam. Ia berjingkat di antara deretan makam. Sampai akhirnya tiba di depan sebuah nisan yang mulai rimbun oleh rumput.

            Andantino. Nama itu tertulis di batu nisan persis di hadapannya. Meninggal dua bulan yang lalu dalam peristiwa yang tak mungkin terlupakan oleh Raisa. Perlahan-lahan gadis itu berjongkok di depan makam Tino. Tanpa disadari air matanya mengalir ke pipi.

            “Tino, sampai hari ini aku menyesali kejadian itu,” bisik Raisa. Seolah Tino benar-benar di hadapannya dan ingin percakapan mereka tak terdengar orang lain. “Aku percaya kamu sahabatku yang terbaik. Tetapi bukan dengan cara itu harus kamu buktikan. Tidak perlu dengan cara yang membuatmu seperti ini. Tak ada seorang pun yang menganggapmu pahlawan, kecuali aku. Karena itulah aku menyesal. Sayangnya, tak mungkin aku minta kamu kembali lagi. Ini sudah keputusan Tuhan.”

           Raisa terisak, dadanya terasa sesak. Bahunya terguncang. Tergambar kembali di mata Raisa peristiwa dua bulan lalu. Raisa dan teman-teman karibnya diganggu oleh cowok-cowok SMA lain saat usai pertandingan basket. Awalnya sepele, namun berkembang menjadi cukup serius. Tentu saja Raisa menjadi ketakutan. Saat itulah Tino dan kelompoknya melihat insiden mereka.

            Di senja itu hampir saja terjadi perkelahian. Untung banyak siswa SMA lain yang juga menonton pertandingan dan bersama-sama pulang. Mereka melerai. Tampaknya usai sudah persoalan. Namun empat hari berikutnya, kelompok SMA yang merasa tersinggung oleh Tino menunggu sekolah Raisa bubaran. Begitu muncul Tino dan teman-temanya keluar halaman, terdengar teriakan menantang dari kelompok pendatang itu.

            Terjadilah tawuran kecil di halaman luar sekolah. Tampaknya, dari sekian banyak teman Raisa, Tino yang paling terbakar amarah. Raisa mencoba menahan Tino yang hendak mengejar penyerang itu dengan sepeda motornya.

            “Tino, sabarlah,” Raisa memegang bahu cowok itu erat-erat. “Nggak perlu dilanjutkan. Aku nggak mau ada korban.”

            “Nggak bisa begitu, Ra! Ini bukan hanya menyinggung harga diriku, tapi juga sekolah kita. Kamu mungkin bisa terima, tapi aku nggak!”

            Raisa merasa sangat bersalah ketika akhirnya melepaskan Tino. Karena petang itu menjadi pertemuan terakhir dengan Tino. Hampir tengah malam ia mendengar berita duka, bahwa Tino dilarikan ke rumah sakit karena menjadi korban keroyokan. Luka parah akibat beberapa tusukan di tubuhnya membuatnya tak sanggup bertahan.

”Aku salut dengan rasa setia kawanmu, Tino. Kamu tak hanya membelaku, tetapi membela teman-teman lain dan sekolah kita. Kamu memang sedikit pemberang, tapi aku tak pernah melupakan kebaikanmu kepadaku dalam banyak hal. Kukira bukan hanya kepadaku kamu suka menolong, banyak teman-temanmu mengakui hal yang sama. Tapi, kematianmu itu gara-gara aku....” Air mata berderai-derai melintasi pipi ranum Raisa.

Untunglah terik matahari terhalang mendung yang menghampar. Langit Jakarta pukul tiga begitu teduh. Keringat menitik oleh pengap udara yang tak lagi bebas menguap karena awan tebal menyelimuti kota. Gelap dan sedikit membuat cemas Raisa.

”Maafkan aku, Tino. Aku berdoa, meminta kepada Tuhan, agar kamu ditempatkan di sisi-Nya. Sebentar lagi Ramadan. Jadi kita harus saling memaafkan. Agar puasaku dimulai dengan jiwa yang bersih. Aku selalu berharap malaikat menurunkan rahmat Tuhan kepadamu.”

Angin mulai bertiup kencang, mengisyaratkan akan datangnya hujan. Di pengujung pandangan, Raisa melihat serpih awan hitam itu meluruh ke Bumi. Tak lama lagi hujan akan sampai di sini.

Raisa tak sempat membeli bunga di pintu permakaman. Tangannya mencabut rumput-rumput yang tumbuh liar di sekitar makam Tino. Sampai teringat sesuatu dan ia pun membuka tas sekolahnya. Ditemukannya kertas warna marun yang pernah menjadi bungkus kado ulang tahun dari Tino. Ia sendiri heran, kenapa terus menyimpannya di saku tas sekolah sejak tiga bulan yang lalu? Ah, ia ingat kini, kertas itu telah dipotongnya sebesar kartu pos, pada bagian putih di baliknya ia menyalin puisi-puisi yang ia sukai. Puisi-puisi yang sedianya akan diberikan kepada Tino. Namun ajal merengggut cowok itu sebelum tiba hari ulang tahunnya.

Raisa berdiri, membaca puisi yang ditulisnya, masih dengan mata basah. Hampir saja kertas-kertas marun itu disobek kecil-kecil untuk dijadikan bunga tabur, ketika terdengar suara di belakangnya.

”Raisa, kamu membutuhkan mawar-mawar ini?”

Raisa terkejut dan menoleh serentak dengan gemetar. Seketika ia menemukan seorang cowok yang masih mengenakan seragam SMA, berdiri menatapnya. Dalam jarak dua meter, Raisa tak menyadari kedatangannya. Sudah lamakah berdiri di sana?

”Kamu...?” Bibir Raisa ternganga.

”Kamu lupa namaku? Dion. Aku teman dan tetangga Tino.” Cowok itu menjelaskan. Sementara Raisa menyusuri gelombang ingatan, lalu membaca nama SMA yang tertera pada badge.

”Tidak mungkin!” Raisa menggeleng. ”Dari mana kamu tahu namaku?”

”Tino banyak cerita tentang kamu, bahkan aku sudah mengenalmu meskipun tak pernah bertemu berdua seperti ini.”

Dalam serpih ingatan, Raisa mendapatkan beberapa kejadian. Ada bazaar dan Pentas Seni yang pernah mempertemukan mereka. Tetapi, pertemuan di rumah sakit itu....

”Kamu yang membunuh Tino, bukan?” Mendadak wajah Raisa mengeras. Geram.

”Kamu salah, Raisa.” Cowok itu buru-buru mengembangkan tangannya, menolak tuduhan Raisa. ”Aku justru yang membawa Tino ke rumah sakit. Aku memang satu sekolah dengan pengeroyok Tino. Itulah yang kusesali, aku terlambat datang ke tempat kejadian....”

”Apa pun yang kamu bilang, aku tak percaya.” Raisa menatap tajam. ”Aku memang melihatmu sibuk mengurus Tino. Itu tentu tanggung jawabmu sebagai penyebab kematian Tino.”

Gerimis mulai menitik di sana-sini. Angin bertiup semakin dingin. Raisa tak ingin berlama-lama di tempat yang akan membuatnya bayah kuyup. Apalagi berhadapan dengan orang yang seharusnya dihukum.

”Ini mungkin bukan tempat yang tepat, tapi aku perlu menjelaskan padamu.” Dion memohon. Tetapi Raisa memalingkan muka.

”Kupikir tak ada waktu. Dan tak akan ada gunanya,” ujar Raisa.

”Oke. Aku tak bisa memaksamu. Walaupun sebenarnya aku menunggu saat-saat seperti ini. Sedikit saja kuberi tahu padamu. Aku sahabat Tino sejak sekelas di SMP. Sayang kami berpisah SMA, tapi bukan berarti putus hubungan. Kamu bisa melihat atau menyimpan beberapa benda kesayangan Tino yang ada di rumahku. Itu saja, Raisa.” Dion mencari-cari mata Raisa. ”Sebentar lagi hujan, silakan kalau mau pulang. Aku akan berdoa buat Tino.”

Tanpa menunggu jawaban Raisa, Dion menabur kelopak-kelopak mawar dan melati dari plastik yang dibawanya di atas makam Tino. Lalu ia bersimpuh di depan nisan. Gerimis makin rinai. Menciptakan butir embun di rambut mereka.

Raisa berbalik dan melangkah cepat meninggalkan Dion. Tidak menoleh lagi. Lebih karena hujan yang tak lagi bisa menahan diri. Sementara Dion tetap khusyuk menunduk di depan makam sahabatnya. Raisa berlari menuju halte yang mulai sesak oleh orang. Matanya mencari-cari Bang Arpan. Tetes-tetes hujan membentuk tirai tanrasparan.

Dari balik hujan Raisa melihat Dion berlari-lari mencari pohon tempat berteduh. Ingin ia percaya penjelasan Dion, ingin sekali. Selama ini ia merasa berduka sendirian, tak seorang pun mengingat Tino lagi. Rupanya hanya Dion, teman sekelas Tino waktu SMP, yang masih menyayangi Dion sebagai sahabat. Hanya Dion yang tampaknya masih menyimpan rasa kehilangan. Seperti yang dirasakan Raisa. Dan Dion, agaknya tahu banyak tentang Raisa dari Tino. Kenyataan itu sedikit mengejutkan Raisa, sebenarnya.

”Mereka tentu benar-benar bersahabat,” simpul Raisa dalam hati. ”Seharusnya aku juga menjadi sahabat Dion, bila ingin Tino bahagia. Setidaknya....setidaknya aku mendapat teman pengganti.”

Tiba-tiba dua bunyi SMS masuk berturut-turut ke handphone Raisa.

”Kamu tidak kehujanan, kan? Aku sudah menahannya hingga kamu tiba di rumah,” begitu yang ditulis Cuaca. Raisa tersenyum.

Dan sebuah nomor yang tak dikenal menulis pesan: ”Raisa, izinkan aku menjadi sahabatmu. Tentu setelah kamu percaya penjelasanku. Bukankah kita sama-sama kehilangan Tino? Sori, nomormu kutahu dari Tino (Dion).”

Dari balik hujan, Raisa ingin membalas SMS: ”Aku belum bisa jawab sekarang, Dion. Tapi, maafkan aku lahir dan batin. Aku ingin Ramadanku bersih dari noda.”

***

(Kurnia Effendi untuk Gadis 26)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home