Monday, September 24, 2007

Segelas Air

Selalu saja, di ujung pengajian lepas ashar, Fulan merenung-renung sendiri. Hamparan karpet dengan rajutan warna khas Mesir ditatapnya berlama-lama. Ia bersila dengan paras penuh himpunan pertanyaan, sementara para penderas Quran yang lain telah meninggalkan balairung. Angin mengalir perlahan dari tiap kisi-kisi jendela. Banyak hal yang merubung benaknya dan tak terusir oleh embusan bayu sore hari.

Kali ini, saudagar yang sekaligus menjadi guru ruhaninya itu menghampiri. Ia duduk bersila dan saling bersihadap. ”Apa lagi yang mengusik perasaanmu, Fulan?”

Tampak wajah Fulan dililit bimbang. Sejumlah rasa ingin tahu berenang dalam matanya. Mungkinkah guru yang dihormatinya itu akan tersinggung bila diajukan pertanyaan menyangkut kekayaannya? Debar jantungnya mengganggu gerakan bibirnya. Namun tak hendak ia menunda lagi.

”Maafkan sebelumnya saya yang dhaif ini. Rasanya tak pantas bila saya bertanya tentang sesuatu yang sangat pribadi.” Akhirnya Fulan menyampaikan juga perasaannya.

            Senyum gurunya sedikit menenangkan jiwanya. Diam-diam sang guru terkesan oleh murid yang satu ini, yang selalu ingin membongkar misteri ilmu, muasal yang gelap, dan persoalan yang masih tersembunyi.

            ”Bukankah saya selalu mempersilakan siapapun bertanya tentang apapun? Saya akan berusaha menjawab yang saya tahu. Jikalau saya tak mampu menjelaskan, saya berjanji akan mencarinya sampai ketemu.”

            Rona lega mewarnai muka Fulan, membuatnya bertambah bersih. Aura bening menyeputar di wajah yang senantiasa dijaga air wudlu itu. Perilaku yang membuat sang guru kian sayang kepadanya.  

            ”Sekali lagi maafkan saya yang lancang. Saya tak benar-benar tahu berapa luas sawah yang Kyai miliki, berapa ekor kuda yang Kyai pelihara, dan berapa orang pembatik yang bekerja pada Kyai, berapa pula toko kelontong yang Kyai punyai. Sungguh saya tidak tahu persis, tetapi yang saya tahu jumlahnya banyak.”

            ”Itu benar, Fulan. Apakah perlu kamu ketahui jumlahnya yang tepat?”

            ”Maaf Kyai, tentu saja tidak. Itu bukan hak saya.” Fulan segera membungkukkan badan. Sorot matahari sore membentuk bilah-bilah cahaya di atas permadani dan memotong punggung Fulan yang merunduk takzim.

            ”Jadi, apa yang mengganggu perasaanmu?”

            ”Sebenarnya saya bingung,bagaimana Kyai mengelola semua itu dalam kesibukan sehari-hari. Ilmu saya memang belum sampai. Kekayaan itu juga tidak pernah ada dalam bayangan saya. Padahal Allah sangat rinci menghitung semua milik manusia dan yang menjadi hak orang lain di dalamnya. Apakah selama ini Kyai selalu menunaikan kewajiban atas harta itu?” Fulan mendengar suaranya sendiri yang gemetar, pertanda rasa takut menyelimuti hatinya.

            Gurunya tampak mengangguk-angguk. Dielusnya janggut yang sebagian telah memutih dengan jemarinya yang mulai berhias keriput.

            ”Lantas apa yang kamu ketahui selama ini?” tanya sang guru.

            Fulan mengangkat wajahnya, memandang mata jernih di depannya. Lalu ia perlahan menggeleng. ”Saya tidak tahu semuanya. Hanya sedikit yang saya tahu. Misalnya setelah panen padi, ada sejumlah karung padi yang diangkut dari rumah penggilingan tidak menuju kemari. Entah ke mana delman itu bertolak.”

            ”Baiklah,” sang guru melihat jam lonceng yang tegak di sudut ruangan. ”Kita punya waktu untuk melihat-lihat suasana kota sebelum beduk maghrib. Tidak punya janji dengan orang lain, kan?”

            ”Oh ya, mari Kyai. Insya Allah saya tidak sedang punya janji dengan siapa pun.”

            Keduanya beranjak meninggalkan aula. Fulan mengikuti gurunya yang melangkah ke dapur. Diambilnya segelas air bening nyaris penuh, sebelum menuju halaman samping, tempat sebuah delman bertengger. Seekor kuda gagah menanti perintah. Gurunya naik lebih dulu. ”Biarlah saya yang menjadi kusirnya,”

            Fulan heran melihat dua hal yang tak biasa: membawa segelas air dan berperan menjadi sais. Tapi, bukankah ia sedang berguru? Jadi ditunggunya pelajaran berikutnya.

            ”Nah, sekarang kamu pegang gelas ini. Saya minta jagalah jangan sampai airnya tumpah sampai kita kembali ke rumah,” ujar sang guru. Fulan menurut titah itu.

Udara Pekalongan menjelang lingsir senja, bersih dari gumpalan awan. Hari itu,  mengakhiri pekan kedua Ramadan, cukup cerah untuk keliling kota. Sungguhpun sebelumnya tak terniatkan bagi dua hamba Allah itu, dua orang laki-laki yang mendadak bermaksud menguji sebuah soal. Langit biru lembayung lepas ashar berhias pohon-pohon randu. Kelopak kapuk yang meretas di akhir musim panas, terbang melayang-layang.

            ”Kita hendak jalan ke mana, Kyai?” tanya Fulan begitu tali kekang kuda disentak. Roda kayu delman bergerak berputar.

            ”Seperti kata saya tadi, melihat-lihat keadaan kota Pekalongan,” jawab Kyai dengan tenang.

            Sebagian jalan masih berdebu, sebagian lain telah melepaskan butiran kerikil dari ikatan aspal. Lubang-lubang jalan yang dilewati membuat Fulan semakin berhati-hati dengan gelas air di tangannya. Ia harus taat dengan permintaan gurunya, menjaga agar air tak tumpah setetes pun.

            ”Boleh saya sambil bercerita?” tanya Kyai menoleh ke arah Fulan. Ketika muridnya mengangguk, ia melanjutkan. ”Dulu seluruh wilayah ini adalah ladang tebu, tapi kini telah banyak rumah berdiri karena warga kampung ini lekas beranak-pinak...”

            Mula-mula Fulan mendengar dengan saksama. Namun setiap kali delman bergoyang, dia harus sigap mempertahankan ketenangan air dalam gelas. Kaki-kaki kuda itu berlari kecil dengan bunyi ritmis. Gelombang ayunan sepanjang perjalanan membuat Fulan tak lagi menyimak cerita sang guru. Ia begitu sibuk menjaga air dalam gelas itu.

            Akhirnya, sampailah mereka kembali ke halaman rumah besar tempat mereka berangkat tadi. Kyai tersenyum melihat butiran peluh membasahi dahi dan punggung baju muridnya yang wajahnya tampak tegang.

            ”Apa yang telah kamu lihat sepanjang perjalanan tadi?” tanyanya.

            ”Maaf, Kyai. Saya tidak sempat melihat apa pun. Saya juga tidak mendengar cerita apa pun. Saya begitu takut air dalam gelas ini tumpah,” sahut Fulan gemetar.

            Kyai itu terdiam beberapa saat, membiarkan angin semilir menyapu dengan aroma kembang kenanga yang tumbuh di pengujung halaman.

            ”Fulan, begitulah seharusnya saya menjaga seluruh harta terhadap hak-hak orang lain. Sesungguhnya saya hampir tak nyenyak tidur, cemas seandainya zakat belum saya tunaikan. Saya tak ingin menemukan tetangga yang kelaparan atau pegawai saya terlambat menerima upah. Oleh kesibukan itu, saya nyaris tidak sempat melihat keindahan kota Pekalongan.”

            Fulan mencoba menafsir ucapan gurunya, bermalam-malam kemudian. ***

(Kurnia Effendi, untuk Parle)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home