Friday, September 21, 2007

The Wahid Institute

Tiga Tahun Memperjuangkan Pluralisme

Tepat tanggal 8 September 2007, The Wahid Institute berusia 3 tahun. Apa saja yang telah dilakukan sebagai kiprah? Mungkin perlu kita ketahui visi dan misinya sebagai institusi yang bergerak dalam pluralisme Islam.

The Wahid Institute (TWI) didirikan antara lain oleh Gus Dur, Wimar Witoelar, Ahmad Suaedy, dan Yenny Zannuba Wahid yang kini menjadi Direktur eksekutifnya. Terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran Gus Dur, terutama yang terkait dengan pluralisme, demokrasi, dan HAM. Visi kebangsaan Gus Dur yang kokoh dan jernih mendorong lembaga ini meneruskan dalam bentuk kerja sosial. The Wahid Institute mengemban komitmen menyebarkan gagasan muslim progresif yang mengedepankan toleransi dan saling pengertian dalam masyarakat antara dunia Islam dan Barat. The Wahid Isntitute juga membangun dialog di antara pemimpin agama-agama dan tokoh politik dunia Islam dan Barat.

Kegiatan yang bersifat kampanye pemikiran Islam progresif dan plural, ditunjukkan melalui website, sisipan majalah dan surat kabar, buletin dan dialog televisi atau talkshow radio. Bahkan TWI, sejak 2005 telah melakukan program legislation and pluralism watch yang memantau isu-isu pluralisme di berbagai daerah, melihat praktik legislasi yang cenderung diskriminatif. Oleh sebab itu muncul dalam catatan TWI, indeks pelanggaran pluralisme di Indonesia.

Sebagai lembaga yang bergerak dalam khazanah intelektual, tak pernah absen menerbitkan buku setiap tahunnya. Dalam ulang tahunnya yang ketiga, TWI telah menyelenggarakan agenda terobosan dengan lomba menulis cerita pendek dan esai untuk kalangan pesantren. Disebut terobosan, karena para santri pondok-pondok tradisional masih dilarang nonton televisi dan membaca majalah atau buku yang beredar bebas. Dapat dibayangkan, tema “Berbeda itu Asyik” yang disodorkan dalam lomba cerpen tersebut menjadi beban berat bagi pesertanya.

Sebagai dewan juri, Farick Ziat, Kurnia Effendi, dan Nova Riyanti Yusuf, pada akhirnya merasa surprised, ketika dalam keterbatasan, para santri itu tetap bersemangat menulis, bahkan banyak di antara mereka menggunakan tulisan tangan. Tentu karena sarana komputer masih menjadi barang langka di beberapa pondok pesantren, yang merasa khawatir terhadap pengaruh internet.

Lima buku yang diluncurkan malam itu, sebelum orasi budaya Gus Dur, Dua Wajah Islam (Stephen Sulaiman Schwartz), Islam Kosmopolitan (Gus Dur), Politisasi Agama dan Konflik Komunal (Ahmad Suaedy), dan Gus Dur Asyik Gitu Loh (Maia Rosyida). Diterima antaran lain oleh Julius Pour dari Kompas, Jenderal Wiranto, dan Mahfud MD.