Tuesday, October 09, 2007

Silaturahmi Penulis dan Penerbit

Empat Tahun Lingkar Pena Publishing House:

            Rasanya jarang dilakukan oleh penerbit; mengundang para penulisnya untuk buka puasa bersama dan berbincang dari hati ke hati untuk saling memantapkan kerjasama. Sebagian penerbit besar tentu akan repot bila mengumpulkan ratusan pengarangnya dalam satu event dan membutuhkan banyak biaya. Namun untuk sejumlah penerbit yang baru tumbuh dan sedang berkembang, gagasan ini patut ditiru.

            Dirancang secara mendadak, menurut Asama Nadia, CEO Lingkar Pena Publishing House (LPPH), acara ini dianggap penting. Kenyataannya, sebagian pengarang tak pernah bertemu muka dengan “awak” penerbit yang terdiri dari editor, penata letak, ilustrator, dan bagian keuangan yang mengurusi royalti. Maka Minggu petang, 30 September lalu, sekitar 15 orang berkumpul di Asma Nadia Centre, Depok, untuk bermuka-muka. Sebetulnya jumlah penulis yang bukunya pernah diterbitkan oleh LPPH sangat banyak, namun tidak seluruhnya tinggal di Jakarta.

            Pertemuan yang bersifat silaturahmi itu berjalan santai dan akrab. Sebelum perbincangan sekitar proses penerbitan, seorang ustadz memberikan pencerahan dengan kultum tentang manfaat membaca Al-Quran. Setelah itu, Helvy Tiana Rosa selaku Direktur LPPH menceritakan muasal Forum Lingkar Pena (FLP) mendirikan penerbitan.

            Memang semua berawal dari komunitas penulis FLP, para penulis yang memiliki satu visi untuk memegang semacam prinsip bahwa menulis adalah “media dakwah”. Maka ketika ada seorang penulis yang merasa kurang percaya diri untuk mempromosikan karyanya, Helvy memberikan pandangan: “Kita menulis sesuatu yang baik dan mengajak orang untuk kebaikan, kenapa harus minder?”

            FLP didirikan tahun 1997, sedangkan LPPH dimulai 2003. Menurut Asma Nadia, sejak awal FLP memang ingin membentuk semacam siklus atau matarantai produktif yang terus membesar. Para anggota yang hobi membaca diminta untuk belajar menulis. Setelah bisa menulis selanjutnya diusahakan untuk bisa terbit. Dengan terbitnya buku mereka akan menggalang para pembaca baru yang sebagian tertarik untuk belajar menulis. Kini, setelah anggotanya semakin banyak karena tumbuhnya cabang-cabang FLP di pelbagai penjuru Indonesia dan mancanegara (di antaranya Mesir, Hongkong, bahkan Jepang), mereka memiliki “pasar sendiri”. Artinya, buku-buku yang dilemparkan ke pasaran mendapat jaminan akan dibeli oleh anggota komunitas yang melewati angka 2000 orang. Jadi pantas saja, bila ada dua peluang bagi buku-buku FLP untuk menduduki posisi best seller. Pertama karena memang mengundang ‘keras’ minat baca yang membuat buku-buku bukan sekadar fast-moving; kedua karena jumlah pembeli internal memadai untuk laris manis.

            Ada semacam infosesi dari pihak penerbit yang disampaikan kepada para pengarang FLP, terutama penjelasan proses sejak naskah diterima oleh LPPH sampai menjadi buku dan beredar di pasaran. Proses itu cukup fair dan melibatkan secara intens pengarangnya untuk berdiskusi demi lakunya sang buku nanti. Revisi berulang kali bukanlah tabu, justru menurut Asma, pengarang senior lebih rendah hati dalam proses itu.

            Acara bincang-bincang sejenak jeda untuk buka puasa dan salat bersama. Semua berlangsung di ruang meeting lesehan lantai dua. Mereka yang sudah saling kenal sebelumnya dan sebagian bahkan (ternyata) suami-istri, menciptakan suasana seperti sebuah keluarga besar. Rata-rata pengarang yang bekerjasama dengan LPPH mengaku puas, terutama dalam hal laporan penjualan dan royalti. Dalam kesempatan itu, Nita, yang menjadi orang penting dalam organisasi LPPH, patut dipuji. Ia bekerja sendiri, mengurus seluruh administrasi keuangan LPPH, namun tak pernah terlambat melaporkan dan mentransfer royalti kepada setiap pengarang. Padahal, laporan itu disampaikan setiap tanggal 10, empat bulan sekali. Menurut Asma, mereka mulanya meniru Mizan, namun kini ternyata lebih disiplin dari ”guru”nya.

            Memang benar, LPPH terkait dengan Mizan, karena kelahirannya melalui rahim Mizan Group. Atas nama penerbit, Helvy Tiana Rosa bertanggungjawab dengan pinjaman modal yang 20% diserahkan sebagai bagian andil LPPH. ”Tapi sampai kini kami belum benar-benar profit,” ujar Helvy. ”Meski demikian tidak memengaruhi hak pengarang. Kami selalu tepat waktu membayar royalti.”

            Tak banyak gaya militansi pelaku penerbitan yang betul-betul dijalani dengan konsisten, namun LPPH adalah contoh yang baik. Selain tetap menjaga kualitas dan materi buku-bukunya agar tidak menyimpang dari garis kebijakan mereka sejak awal, duo Helvy-Asma tetap survive dan tidak menyerah pada keterbatasan. ”Kami rela untuk bertugas rangkap.” Dan Asma Nadia berharap, para pengarang harus juga ikut berjuang dengan mencipta karya-karya terbaik agar makin banyak posisi best seller diraih. Bukankah keuntungannya buat pengarang juga?

            Doorprize dan foto bersama menutup acara yang sederhana namun bermakna malam itu.

(Kurnia Effendi)

 

 

             

 

           

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home