Monday, October 01, 2007

Tempat Sujud

Senja tiba sebelum saya mencapai kota Semarang. Perjalanan dari Kudus hanya membutuhkan kurang dari satu jam. Matahari hinggap di puncak atap Masjid Agung Demak. Bayang-bayangnya memperteduh halaman parkir. Awal waktu salat Asar sudah satu jam berlalu. Boleh kiranya menyerahkan penat pada lantai dingin rumah singgah para wali.

Mobil yang saya kendarai masuk ke halaman masjid yang luas. Seperti benar disambut oleh elusan tangan gaib yang lembut, rasa nyaman itu mengalir ke seluruh jaringan darah. Beranda rumah Tuhan memang tepat untuk istirah. Oase yang menjadi ujung pandangan dari keluasan gurun. Saya pun melepas sepatu, memandang sekitar masjid yang tak terlalu ramai, kecuali para musafir yang duduk tenang di beberapa tempat.

            Setiap memasuki wilayah baru, selalu ada keinginan untuk memotret atau berpotret dengan latar yang tak terjumpa setahun sekali. Namun ada peringatan untuk tidak mengambil gambar interior, terutama bagian utama masjid. Apa boleh buat, saya hanya akan menyimpan semua yang terlihat dalam memori. Entah akan bertahan berapa lama sebelum ditimbun pelbagai pemandangan baru.

            Ini masjid tertua di Nusantara. Benarkah? Masjid Agung Demak terletak di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Dari tempat inilah penyebaran agama Islam di Tanah Jawa dimulai oleh para wali. Sebenarnya saya sedikit bingung oleh hikayat yang mengandung dua cerita. Konon masjid ini didirikan oleh raja pertama Kesultanan Demak yang bernama Raden Patah (Raden Fatah). Tetapi sumber lain menyebutkan sebuah riwayat yang cukup dramatik mengenai terbangunnya masjid besar ini oleh empat orang wali.

            Boleh jadi, muasalnya tempat bersujud ini merupakan “masjid tumbuh” seperti kita kenali “rumah tumbuh” sekarang: membangun secara bertahap. Empat tiang utama yang menyangga atap disebut sebagai Saka Guru. Saka tenggara dibuat oleh Sunan Ampel, saka barat daya hasil kreasi Sunan Gunung Jati, saka barat laut didirikan oleh Sunan Bonang. Ada satu tiang yang tidak dibuat dengan kayu utuh melainkan sambungan beberapa balok jati, merupakan sumbangsih Sunan Kalijaga. Tiang ini disebut saka tatal, terletak di sudut timur laut. Barulah pada tahun 1520, di masa pemerintahan Adipati Yunus sebagai Raja Kedua Kesultanan Demak, dibangun serambi dengan delapan tiang yang disebut Saka Majapahit.

            Barangkali, pembangunan awal masjid itu bertepatan dengan pemerintahan Raden Patah. Seperti Borobudur, tentu tidak akan menyebut secara menonjol tentang Gunadharma sebagai sang arsitek dan pemahat utama. Seperti Tugu Monumen Nasional (Monas) atau Masjid Istiqlal, tentu lebih merujuk pada nama Soekarno, sebelum membahas tentang arsiteknya: F. Silaban.

            Sebelum tiba twilight zone, saya mengambil air wudu. Ingin segera melihat empat tiang yang menjadi jejak sejarah tumbuhnya Islam di Indonesia. Saya masuki bangunan utama yang luasnya 31 x 31 meter itu. Ada pembatas yang mungkin melarang sembarang orang masuk ke dalam di saat-saat tertentu. Sebuah beduk besar menempati serambi dalam. Sayang sekali saya tak sempat mendengarnya ketika lingkaran yang dilapis serentang kulit sapi atau kerbau itu dipukul begitu tiba waktu salat.

            Ini tempat sujud terbaik senja ini, pikir saya sebelum mengembangkan sepasang tangan melafalkan takbir. Andaikata terseret arus waktu menuju masa lalu dan berada di antara para wali, saya akan menjadi makmum yang begitu dekat dengan kaki Tuhan. Saya akan berlama-lama mencium Bumi, mengalirkan air mata, menyentuh alas tebaran rahmat.

            ”Payok Kakbah lawan sirah gada masjid Den-nyataken sawujud Ceples kenceng datan menggok”

            Ah, prasasti apakah yang tertulis dalam legenda itu? Kiranya suratan dari peristiwa yang mengukuhkan Masjid Agung Demak. Benarkah Sunan Kalijaga dengan kesaktiannya, melalui samadi, tafakur sedalam-dalamnya, mempersatukan Ka’bah di Mekkah dengan pucuk Masjid Demak hingga menyatu wujud? Cahaya merona menjadi aura kesucian. Itulah akhir dari ”perselisihan” sejumlah wali dalam menentukan arah kiblat.

            Petang itu saya tinggal mengenang semua lipatan peradaban yang lingsir dari babad demi babad. Ketika Demak, sebagai dusun terdekat dari Asem Arang tumbuh menjadi sebuah kota, debu kerap hinggap di ubin masjid ini. Tak ada lagi yang dengan kekuatannya, misalnya, meniup seluruh rerontok daun dari halamannya. Kini ada seorang yang entah siapa menawarkan buku-buku cetakan dalam kertas buram. Surah Yasin, ringkasan sejarah tentang Masjid Agung Demak, dan kumpulan doa, yang dihargai dengan murah. Sebagai pelancong, salah satu dari buku itu tentu penting untuk dibaca. Kecuali jika saya telah berulang kali mampir dan berulang kali pula ditawari.

            Sebelum tiba malam, saya pun pamit. Meninggalkan masjid para wali itu dalam temaram langit lembayung. Itu terjadi sekian tahun yang lalu. Karena esok harinya saya menjadwalkan kembali ke Jakarta, tentu harus tiba di Semarang sebelum larut malam. Dingin lantai Masjid Agung Demak masih lekat di kening sampai saya masuki kamar hotel dekat Simpanglima Semarang. Saya, dalam perjalanan itu, tentu seorang musafir. Saya memperoleh hak salat jama’, bahkan boleh qashar. Begitu sayang membasuh wajah yang masih menyimpan debu halus lantai masjid yang didirikan para wali itu, namun tak mungkin salat tanpa bersuci, ketika tak yakin belum batal wudu.

            Roda sejarah akan terus berputar menggilas setiap peristiwa. Kita tak akan menyaksikan kembali kejadian ajaib: sewaktu Syeh Siti Jenar dihukum pancung oleh Sunan Kudus, kepalanya mengitari tubuhnya sebanyak tiga kali dan menyatu kembali pada leher yang sempat meneteskan 84 titik darah membentuk tulisan Allah. Mungkin dalam surau-surau tertentu ada seorang imam yang sederhana masih bercerita tentang Wali Sanga. Kita mendengarnya secara lamat-lamat, dalam jeda antara tarawih dan tiga rakaat witir.

            Sambil menunggu sahur yang sebentar lagi tiba, saya mencoba menghitung jarak Lebaran dengan tempat saya menulis. Tanda jarak itu terlihat melalui saf masjid di beberapa tempat yang mulai susut. Rasanya tubuh yang sebulan lalu terlihat tambun mulai susut pula. Tapi adakah saya, sebagai salah satu khalifah di Bumi, telah memimpin diri saya sendiri untuk meneruskan ajaran para wali?

            Saya hanya sempat singgah, dan mungkin akan mengulang suatu ketika, di Masjid Agung Demak. Salah satu tempat sujud terindah itu.

(Kurnia Effendi untuk Parle)

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home