Laut Lepas Kita Pergi
Mangapa Laut Lepas Kita Pergi?
Pertanyaan Rezza ini baru bisa saya jawab sekarang, tetapi pertanyaan seperti itu tentu tak kenal kadaluwarsa. Serupa dengan para anggota Komunitas Leo Kristi (LKers) yang lain, tak da
Pertama yang saya rasakan dari lagu LLKP adalah suasana magis. Suara biola dalam aransemen musiknya terdengar menyayat. Kata "senja" dalam lirik bagai memiliki multi tafsir. Sebuah waktu menuju malam, batas antara terang dan gelap. Simbol dari akhir sebuah hari, yang merujuk pada usia. Lebih kuat kesan itu sewaktu Mas Leo menambahkan dengan: "Teguklah cangkir kopi terakhir". Akhiran "lah" merupakan perintah, permintaan, penawaran, ajakan. Ibarat imsak, ketika kita diminta menghabiskan minum, pertanda sesudahnya tak boleh minum lagi karena harus menahan nafsu sepanjang puasa. Kira-kira, dengan meminum secangkir kopi terakhir, kita akan di bawa ke mana? Sementara layar-layar telah menunggu di dermaga.
Sebuah perjalanan jauh! Itulah yang kemu
Astaga, mata saya panas membayangkan bait pertama saja. Perpaduan musik, intro yang menggambarkan angin sepoi, dan seruan yang memberi tahu bahwa kapal telah menunggu di dermaga: layar pasti tak dalam keadaan tergulung, tetapi siap melaju ke lautan. Dan kita diminta bergegas, menuntaskan kopi, untuk segera melangkah meninggalkan pesisir, naik ke palka...
Baiklah kita siap berangkat. Ke mana? Apa yang hendak terjadi? Seperti layaknya akhir dari perjalanan hidup, kita kembali diingatkan bahwa alam yang akan ditempuh sungguh berbeda. "Kemarin hanya mimpi ditenung tangan sakti, aku tak mengerti, gelapnya dunia ini, tinggal hari yang sepi....kuterjaga..."
Tangan sakti itu tentu Tuhan. Manusia dengan segala perangkat tubuhnya adalah "robot" yang memiliki "chip" ruh. Program diberikan sejak ditiupkan ruh di dalam kandungan. Lalu semua berjalan dengan kitab hidup masing-masing. Jadi, bila kita bertanya seperti apa swargaloka, tak mungkin da
"Kuterjaga... dari mimpi." Terjaga dari hidup menuju mati? Mati hanya bahasa kita di Bumi, sementara di alam lain justru kita dilahirkan kembali untuk "program" lanjutan. Mas Leo menghibur dengan kata-kata: "Apa lagi kautangisi?" Ya, sesal memang tak lagi berguna. Semua serba terlanjur. Jalan satu-satunya adalah pasrah kepada sang pemilik hidup, dan kita mengalir mengikuti arus kekuatan Tangan Sakti. Selamat tinggal, itu kata terbaik untuk semua yang berpisah dari kita: raga, jiwa, kecintaan, bahkan nama kita sendiri.
Lalu, tanggal 26 Desember 2004, Tangan Sakti itu menghapus ribuan nama dari daftar kehidupan di marcapada melalui hembusan tsunami di Bumi Aceh. Angin "sepoi" itu merenggut sekaligus dalam waktu yang demikian ringkas sekitar 180.000 jiwa. Ke mana mereka semua saudara-saudara kita berangkat? Ke Laut Lepas Duniawi Mereka Pergi... Dan kemarin, seluruh perjalanan "kehilangan malam" karena senantiasa berlaku jam-malam bagi masyarakat Aceh, ketakutan oleh DOM yang tak jelas siapa lawan siapa kawan, membuat: ...aku tak mengerti, gelapnya dunia ini, tinggal hari yang sepi....
Kematian boleh jadi adalah kesepian paling ha
Saya menghubungkan suasana magis dalam lagu Laut Lepas Kita Pergi dengan mahaduka Aceh atas ciuman maut tsunami dalam sebuah cerita pendek. Saya menghubungkannya saja. Menulis dengan hati yang terus gemetar, dengan sendu yang tak dibuat-buat, dengan melankolia yang mempertanyakan diri sendiri melalui tokoh bapak yang kehilangan daya. Kepada anaknya ia pamit karena tak tahu harus bagaimana lagi. Kepada anaknya ia (mungkin bilang): layar-layar telah menunggu di dermaga. Sementara sanak saudara mereka telah berangkat lebih dulu, berjamaah, setelah meneguk secangkir kopi kehidupan terakhir kali.
Teman-teman LKers, karena atas nama alasan apa pun kita harus selalu siap menghadapi hari esok, mari kita teguk cangkir kopi terakhir....
Salam, Angin sepoi.... (Kef)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home