Masa kecil saya, tepatnya ketika menempuh Sekolah Dasar (SD), berlangsung di Yogyakarta. Tentu belum seramai sekarang. Saat itu, Maguwo adalah sebuah wilayah yang masih sunyi, terasa lepas dari kota yang batasnya: Ambarukmo Palace Hotel. Di Malioboro ada toko, seolah satu-satunya toko yang melengkapi dirinya sebagai department store, namanya Toko Ramai. Tak jauh dari itu ada kedai Bakso Gembira. Setidaknya dua pekan sekali saya diajak bapak dan ibu untuk menikmati bakso yang rasa kuahnya tak terlupa hingga kini. Kadang-kadang, bersama para taruna muda Angkatan Udara, kami sekeluarga diajak nonton film di Indra Theatre, yang letaknya mendekati keraton.
Namun anehnya, saya tidak pernah diajak berkunjung ke sebuah tempat unik di tepi sungai Gajah Wong. Saya tahu itu tempat Affandi, sang pelukis besar Indonesia, bermukin dan melukis sehari-hari. Banyak wisatawan dari mancanegara, mahasiswa seni rupa, dan mungkin para penggemar lukisan, mendatangi rumahnya yang khas itu untuk pelbagai tujuan. Boleh jadi, bapak atau ibu saya pernah juga ke sana tetapi tidak mengajak serta saya karena dianggap tidak penting buat saya. Jika benar demikian, pasti ini sebuah kekeliruan, tedak mengenalkan saya sejak awal pada karya atau sosok maestro itu. Merupakan kesalahan karena saya ternyata kelak di kemudian tahun justru memasuki pendidikan seni rupa, meskipun pada bagian terapan: desain interior.
Oleh karena itu, saya sengaja membuat janji pertemuan dengan sahabat (atau pacar?) lama saya ketika kuliah di Bandung, Tia Lesmana, di Museum Affandi. Sebuah museum di tepi sungai Gajah Wong yang koleksi lukisannya menjadi aset luar biasa mahal setelah sang pelukisnya wafat. Kini, jika beliau masih hidup, tentu sudah berusia 100 tahun. Namun, meski sosoknya tidak lagi ditemui di mayapada, spirit dan cahaya karyanya masih menjadi aura Indonesia yang agung.
Di galeri yang pertama saya mendapatkan sebuah sepeda, kendaraan Affandi semasa masih muda. Terpajang juga sebuah mobil lawas yang konon biasa digunakan untuk keliling kota. Balairung yang menjulang tinggi itu memiliki mezanin. Kita bisa menyaksikan koleksi lukisan karya Affandi yang merupakan retrospeksi perjalanan kariernya sejak mulai melukis hingga akhir hayatnya. Sejumlah yang dipamerkan memiliki nilai kesejarahan dan oleh karenanya tidak dijual. Saya memang sedang mencari-cari, walau berupa reproduksi, lukisan bersejarah itu tidak saya jumpai. Lukisan perjuangan dengan model pelukis Dullah yang menggambarkan belenggu rantai telah putus yang kemudian diberi teks oleh Chairil Anwar, penyair besar Indonesia, dengan kalimat persuasif-provokatif: Bung, Ajo, Bung! Ah, andai kita tahu persis makna di balik kata-kata ringkas itu....
Affandi tentu memiliki tempat tersendiri dengan julukan Pelukis Ekspresionis Baru Indonesia (anugerah gelar dari koran International Herald Tribune), di samping Raden Saleh sang legendaris, Basuki Abdullah, dan S. Sudjojono. ”Persahabatan” karya mereka diabadikan dalam galeri II, tempat dipajang lukisan Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra Gunawan, Rusli, Fajar Sidik, dll. Sementara galeri III dihuni oleh karya para pelukis keluarga Affandi, termasuk yang cukup tersohor: Kartika Affandi. Dialah putri pertama Affandi dari perkawinannya dengan Maryati.
Saya mengekalkan beberapa sudut ruang dan lukisan yang menghiasi galeri dengan kamera. Pasti ini akan menjadi oleh-oleh menarik dari kunjungan saya yang kadaluwarsa. Di galeri II, komposisi ruangan dibuat seperti gedung teater, dengan panggung dan undakan untuk duduk. Rupanya memang banyak yang menggunakan galeri itu itu tempat pameran, peluncuran karya seni, dan pertunjukan teater.
Lewat tengah hari, Tia Lesmana muncul di halaman museum. Aku tak pernah pangling padanya, rasanya waktu terhenti buat kami. Setelah memeluk dan mencium kedua pipinya dengan hangat, kami memilih kursi bambu yang membuat suasana jadi tampak jauh dari modernitas sebuah kota. Aku selalu gemas padanya, sejak mengenalnya pertama kali, sembilan belas tahun yang lalu, di kantin Masjid Salman. Ia yang tak berubah dengan kecerewetannya telah berhasil memutar waktu dan membuat kami membicarakan puisi-puisi masa lalu. Lantas ia menceritakan sebab keterlambatannya. Rupanya ia singgah dulu ke kedai suvenir Dagadu, lalu memberikan sebuah goody bag yang berisi antara lain T-shirt, memo, dan suvenir lain. Mengapa ia selalu membuat saya berutang budi? Untunglah sebuah kumpulan cerpen cocok untuk menukar bingkisannya.
Lalu sekali lagi kami berkeliling memasuki galeri demi galeri. Affandi yang dilahirkan tahun 1907 (tak seorang pun ingat tanggalnya) di Cirebon adalah putra seorang mantri ukur di pabrik gula Ciledug bernama R. Koesoema. Mungkin karena termasuk berdarah biru, Affandi diperkenankan memperoleh pendidikan sampai AMS. Bakat melukisnya sudah tampak sejak belia. Namun demikian, sebelum serius melukis, cukup lengkap pekerjaan yang dijalaninya. Ia menjadi guru, juga penyobek karcis bioskop. Dunia perbioskopan inilah yang mengasah kegemarannya melukis, karena ia mendapat tugas menggambar poster film di salah satu gedung bioskop di Bandung.
Organisasi yang dibentuk dan diikutinya sepanjang karier melukis adalah Kelompok Lima Bandung (bersama pelukis Barli, Hendra Gunawan, Sudarso, dan Wahdi), yang memberikan andil besar dalam perkembangan seni lukis di Indonesia. Kemudian pada tahun 1938 tergabung dalam Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia). Pada 1943, Gedung Poetera Djakarta menyelenggarakan pameran karya Affandi. Poetera merupakan singkatan dari Poesat Tenaga Rakjat yang dipimpin oleh Empat Serangkai (Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansjur).
Sepanjang saya berada di museum itu, tidak mendengar suara aliran sungai Gajah Wong. Tentu kalah ribut dengan deru kendaraan yang terus mengisi jalan raya di atas jembatan. Bagaimana pun ada kontras yang sedang dan terus berlangsung: antara keheningan suasana galeri dengan karya lukis yang merepresentasikan kehidupan melalui kepekaan sang seniman dengan kehidupan gemuruh yang terjadi di sekitarnya. Lebih dari 2000 lukisan yang pernah dikerjakan oleh Affandi semasa hidupnya, telah menghiasi rumah para kolektor, hall gedung , dan museum di seantero dunia. Tak akan pernah dilupakan caranya melukis, sebagaimana aliran yang dianutnya, ekspresif. Pelukis dengan gelar Doctor Honoris Causa yang diterima dari Universitas of Singapore pada tahun 1974 itu adalah orang yang cara berpikirnya sederhana. Ia melukis karena, menurutnya, tidak bisa mengarang dan tidak pandai pidato. ”Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan.”
Ekspresi yang paling sering ia gunakan adalah potret diri, seperti hendak selalu introspeksi dan berkata jujur. Meskipun pakaian sehari-hari yang disukainya adalah kaus oblong dan sarung (begitu pula saat melukis, yang hanya berlangsung satu dua jam), Pemerintah Italia di Florence memberinya gelar Grand Maestro. Di Indonesia sendiri, Affandi mendapat penghargaan ”Bintang Jasa Utama” (1978) dan diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun Institut Seni Indonesia (sejak 1986).
Meninggal tahun 1990, jenazahnya dimakamkan di sisi sang istri di belakang rumahnya yang telah resmi menjadi Museum Affandi sejak 1973. Saya sempat berdiri di depan sepasang nisan yang seolah ”menjaga” museum itu tetap hangat dan memiliki spirit. Dan menjelang ashar, kehangatan pertemuan saya dengan si cantik mungil Tia Lesmana harus berakhir pula. Bayang-bayang puncak bangunan galeri meluruh ke arah sungai, membenam ke lembah. ***
(Kurnia Effendi)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home