Wednesday, December 05, 2007

Berjanji di Linggarjati

Langit mendung ketika saya tiba di Museum Linggarjati. Pada tikungan terakhir dan jalan agak menanjak menuju tempat parkir, mata saya memandang gedung tua yang pernah menjadi tempat perundingan para petinggi negeri ini dengan bekas penjajahnya. Saya tak sabar turun dari mobil karena berlomba dengan hujan yang menggantung. Jam 14 saat itu, tapi seperti telah jatuh sore. Saya lupakan rasa lapar demi kesempatan yang sulit saya dapatkan di tengah kesibukan pekerjaan sehari-hari. Sudah lama saya ingin mengunjungi tempat bersejarah itu, Linggarjati, yang sebelumnya hanya dapat saya baca dari buku pelajaran sejarah di SMP.

Seperti tempat-tempat lain yang dipilih oleh pejabat Belanda masa itu, selalu memiliki pemandangan indah dan hawa yang sejuk. Apakah lantaran mereka dari daratan Eropa yang kerap menemui musim salju, sehingga tak akan bertahan dalam udara tropis secara terus-menerus?

Saya mencari pintu masuk yang terlindung kanopi. Gelap langit di luar menular ke foyer yang saya masuki. Bangunan tua itu memiliki luas 800 m2. Begitu masuk, saya disambut diorama tiga dimensi yang menggambarkan peristiwa perundingan pada tahun 1946. Ah, bukankah saat itu Indonesia telah merdeka? Benar, dan tujuan dri perundingan itu antara lain untuk mendapatkan pengakuan secara de facto atas wilayah yang dikuasai Indonesia merdeka. Dalam perundingan itu hadir delegasi Indonesia, antara lain Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Mr. Susanto Tirtoprodjo, Dr. AK Gani, dan Mr. Mohammad Roem. Pihak Belanda menghadirkan Dr. Van Mook, Mr. Van Pool, Dr. F. De Boer, dan Prof. Dr. Shermerhorn. Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan itu. Mereka seperti benar-benar sedang duduk dalam rapat di kursi-kursi dengan meja yang dibuat sesuai aslinya. Diorama itu dibuat tahun 1986.

Petugas museum menawarkan buku yang dicetak dengan mutu rendah namun saya rasa sangat penting informasi di dalamnya. Benar, di halaman kertas buram kekuningan itu tercantum nama-nama peserta perundingan, serta jumlah kamar yang digunakan untuk mereka menginap, masing-masing memiliki dua tempat tidur kayu. Hebatnya, ketika saya diajak meninjau satu persatu kamar itu, terdapat tiruan dipan kayu warna cokelat pelitur dengan keterangan nama orang yang pernah tidur di atas kasurnya.

Saya kira, penting siswa SD atau SMP diajak darmawisata ke tempat ini, agar dapat membayangkan situasi perundingan dalam memperjuangkan hak-hak anak bangsa Indonesia atas tanah airnya. Jangan-jangan banyak guru yang belum pernah melihat petilasannya.

Gedung yang memiliki halaman luas dan berjenjang ke bawah itu diresmikan sebagai museum tahun 1976. Sebelumnya, bangunan ini pernah difungsikan sebagai hotel bernama Rustoord (1935), lalu berganti nama Hotel Hokay Ryokan (1942), Hotel Merdeka (1945), dan pada tahun 1975 dijadikan SD Negeri Linggarjati.

Apakah suasana muram memang cocok untuk sebuah museum? Padahal akan lebih berseri dan tidak berkesan menyeramkan bila diberi penerangan benderang. Tetapi tentu akan memakan biaya besar untuk pembayaran langganan listriknnya. Dan siapa tahu, memang ada maksud untuk mempertahankan nuansa aslinya.

Ketika saya menyusuri teras belakang seraya memandang kolam besar ke arah bawah, gerimis pun turun rintik-rintik. Udara bertambah dingin. Tentu cocok andaikata beranda itu menjadi tempat pertemuan sepasang kekasih. Sebuah meja marmar bundar diletakkan di atas lantai batu, dan dua cangkir keramik berisi teh hangat mengepul di atasnya. Desau angin yang tiba dari tenggara membawa wangi vanili, menggugurkan daun-daun kering. Ah, tak ada sesiapa di sini, kecuali para penjaga museum yang seperti telah bosan bertahun-tahun menjadi penunggu ruang sunyi.

Siapa yang memilih tempat perundingan ketika kedua pihak di masa itu masih bersitegang karena tidak setuju di Yogyakarta maupun di Jakarta? Dialah Menteri Sosial pertama Indonesia yang berasal dari Kuningan, Ibu Maria Ulfah. Desa tempat peristirahatan yang terletak di kaki gunung Ciremai itu diusulkan kepada Sutan Sjahrir. Iklimnya nyaman, jaraknya tidak jauh dari Jakarta. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta disarankan tinggal di Kuningan, agar mudah ditemui saat diperlukan keputusannya.

Dengan mempertimbangkan kedudukan Soekarno-Hatta sebagai pemimpin negara, mereka berdua tidak dipilih menjadi bagian dari delegasi. Tujuan Indonesia menjalankan perundingan itu adalah: (1) Mengusahakan Republik Indonesia diakui oleh sebanyak mungkin negara di dunia, sehingga perjuangan bangsa Indonesia tidak lagi dianggap sebagai “gerakan Nasional” dalam suatu Negara Jajahan, tetapi sebagai negara yang berdaulat penuh; (2) Mempertahankan kekuatan fisik yang telah dibangun.

Tentu saja harapan itu tidak serta-merta dapat dicapai sekaligus. Tetapi Republik Indonesia, betapapun terbatas wilayahnya, tetap berjuang untuk mencapai tujuan terakhir, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah Hindia-Belanda.

Mari kita telusuri arti nama desa sejuk itu. Linggarjati disebut juga Linggajati, sebuah nama yang lahir karena perjalanan Sunan Gunung Jati beserta 8 wali lainnya. Sampai sekarang nama tersebut masih dalam penelitian para ahli sejarah dan arkeologi. Ada beberapa pendapat dan arti tentang Desa Linggajati, antara lain karena menjadi tempat linggih Gusti Sunan Gunung Jati. Itu menurut Sunan Kalijaga. Pendapat Sunan Bonang lain lagi, yakni sebelum Sunan Gunung Jati sampai ke puncak Gunung Ciremai, beliau linggar (berangkat) meninggalkan tempat setelah beristirahat dan bermusyawarah, tanpa mengendarai kendaraan melainkan menggunakan ilmu sejati. Syech Maulana Maghribi mengatakan Linggarjati bermakna penyiaran ilmu sejati. Dan pendapat Sunan Kudus, disebut Linggajati karena menjadi tempat bermusyawarah untuk menjaga rahasia ilmu sejati, “nalingakeun ilmu sejati”, agar jangan diketahui oleh umum.

Lepas dari benar atau salah, ternyata ada selera yang sama antara para wali dengan para pemimpin Indonesia untuk memilih Linggarjati sebagai tempat bermusyawarah dan berunding. Perundingan yang dilaksanakan sejak 11 November itu menghasilkan 17 pasal, ditandatangani oleh kedua wakil delegasi pada tanggal 15 November 1946. Pada pasal 12, tercantum maklumat sebagai berikut: Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia akan mengusahakan, supaya berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu telah selesai, sebelum tanggal 1 Januari 1949.

Itu semua sudah jauh berlalu. Setelah kunjungan yang pertama, tiga tahun silam, saya ingin kembali berjanji di Linggarjati. Dengan seseorang yang saya cintai. *** (Kurnia Effendi)

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home