Tuesday, November 20, 2007

Hari Pahlawan dari Dua Perspektif

(2) Pahlawan yang Dilupakan

Tepat tanggal 10 November 2007, hari Sabtu, ketika banyak sekolah memberikan libur kepada siswanya, tak lazim lagi diadakan upacara untuk mengenang jasa para pahlawan pendiri republik tercinta ini. Sebuah komunitas yang menamakan diri Komunitas Leo Kristi tidak ingin hari itu berjalan dengan dingin dan biasa-biasa saja. Sejak jauh hari, Setiyadi, sebagai motor penggerak anggota komunitas yang akrab disebut LKers, sudah merancang acara untuk mengenang para pahlawan dengan acara yang berbeda.

Mereka adalah para pecinta lagu-lagu Leo Kristi, seorang troubadour Indonesia sejati. Karena banyak lagu-lagu ciptaan penyanyi Konser Rakyat asal Surabaya (yang disebut juga sebagai Kota Pahlawan) banyak mengandung unsur patriotik dan heroisme, tak salah jika menggunakan momentum itu untuk menyanyikan lagu-lagu bertema kepahlawanan.

Bertempat di MP Book Point, sebuah toko buku kafe di kawasan Jakarta Selatan, acara digelar sejak pukul 16:30 WIB. Mengusung tajuk ”Pahlawan yang Dilupakan”, para LKers ingin reriungan sembari mengambil makna dari peringatan hari bersejarah itu.

Acara dibuka dengan sebuah lagu ”Bedil Sepuluh Dua, Jelang Empat Puluh Tahun Merdeka”, membuat hadirin yang merupakan penggemar Leo Kristi bagai histeris. Setelah sepucuk lagu berlalu, Happy Salma, artis dan fotomodel yang pernah berperan sebagai Nyai Ontososroh dalam naskah adaptasi novel tetralogi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, membaca sebuah cerpen karyanya sendiri. ”Impian yang Terenggut” judulnya, merupakan cerita bertema pahlawan. Suaranya yang sendu, bahkan ia sempat mengusap air mata di pengujung pembacaan, membuat seisi ruangan merasakan benar bahwa spirit kepahlawanan itu masih ada.

Diskusi mengenai ”Ruh Pahlawan dalam Lirik Leo Kristi” menjadi agenda selanjutnya, dengan pembicara Arya Gunawan (Unesco Indonesia) dan Kurnia Effendi. Leo Kristi tidak hanya unik dalam lagu namun syair yang ditulisnya memiliki kapasitas puitik yang tinggi. Arya menggali mulai dari unsur pantun sebagai akar tradisi puisi sampai pada pemberontakan makna kata yang muncul melalui yodel Leo dalam banyak lagu. Sementara Kurnia menyoroti dengan tujuh kemungkinan yang membuat Leo banyak menulis dan bahkan merasakan kepahlawanan dalam banyak peran.

Jeda maghrib rencana dipergunakan untuk pemutaran film Soerabaia 45, dengan Leo (Imam Sukarno) Kristi berperan sebagai Bung Tomo. Akhirnya diganti dengan pembacaan ”Tanah Merah In Memoriam” oleh Ramdan Malik yang meliputi petikan diary Sutan Syahrir, memoar Hatta, dan catatan Digul yang ditulis oleh Mas Marco. Mardiyah dari Koran Tempo menyampaikan kisah pengalamannya di Aceh pasca tsunami.

Maka sampailah pada acara yang ditunggu-tunggu, menyanyikan 30 lagu Leo Kristi. Alat musik yang disiapkan di panggung berlatar bendera merah-putih nyaris selengkap Konser Rakyat Leo Kristi. Ada gitar, bas, rebana, gong, saron, bahkan angklung. Sementara tak ketinggalan suling, triangle, harmonika, dan peluit. Dibuka dengan lagu ”Tembang Laras Hati” dengan vokalis tamu Devi dari Sanggar Matahari, lagu demi lagu mengalir tak henti-henti. ”Serenada Pagi 1971”, yang menjadi lagu favorit Bambang Aroengbinang menjadi komposisi paling sempurna. Sementara tak kalah indahnya: ”Biru Emas Bintang Tani”, ”Nyanyian Fajar”, ”Surabaya Bernyanyi”. Gitaris Rezza Suhendra seperti memiliki ratusan jemari yang memetik senar gitar secara tremolo. Gamawan Waloeya dari Bandung membuat musik menjadi anggun. Mengiringi para vokalis Tanti, Lilies, Ayu. Sesekali Aris menyeruak dengan harmonikanya. Sena dengan tabuhan rebananya. LKers dari Bangka, Abing Patrick dan Dewi Persada, menyanyi histeria dari tempat duduknya. Selain yang sedang bermain musik, audiens duduk akrab lesehan di atas karpet. Sebagian sembari menyeruput teh dari ruang kafe Saqi.

Pertunjukan yang menyerupai event pertemuan keluarga itu berakhir pukul 21.45, sedikit melewati batas waktu. Begitu rindunya mereka akan nyanyian, tampak dari semangat yang ditunjukkan oleh Henry Ismono, Budhi Kurniawan, dan Albert, sampai-sampai presentasi foto karya Henry Widjaja pun dipersingkat. Tapi semua tampak senang dan haru, seperti tak hendak berpisah. Kegembiraan mereka terutama karena LKers dari jauh, Noereska dan Mahatmanto dari Yogya, Santosa dari Sangatta Kalimantan Timur juga hadir.

Tapi tentu tak ada pesta yang tak usai. Hujan yang mengguyur Jakarta malam itu tak dirasakan benar oleh mereka. Upaya mengenang para pahlawan dengan cara bernyanyi dan berdiskusi telah tercapai. Masing-masing undur diri pamit dan malam kembali sepi dalam sisa gerimis.

Demikianlah, dengan masing-masing perpesktif, dua malam berturut-turut Hari Pahlawan diperingati tanpa harus angkat senjata dan berdarah-darah. Namun hikmah yang dipetik luar biasa dalam bagi sanubari anak-anak bangsa berjiwa besar.

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home