Thursday, November 15, 2007

Djoni Basri Memahat Fragmen

            Menyaksikan pameran tunggal patung pahat Djoni Basri, seperti sedang melihat fragmen. Sebuah cerita yang bergerak dari titik awal ke titik akhir, ditangkap oleh kepiawaian tangan Djoni pada sebuah perhentian gerak. Meski terkunci oleh ”frame” yang tak tampak, tubuh atau benda tiga dimensi itu seolah sanggup memberikan cerita sebelum gerakan berhenti dan sesudahnya. Ekspresi wajah, walau berupa tekstur kasar pahatan, memberikan informasi: perasaan yang bergejolak di dalam figur masif itu.

Pameran yang berlangsung sejak tanggal 2 sampai dengan 8 November 2007 di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki itu dibuka oleh Romo Mudji Sutrisno. Karier Djoni Basri sebagai pematung cukup panjang jika dihitung sejak kelulusannya dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ia mengambil Jurusan Seni Murni, Program Seni Patung, dan usai tahun 1988. Namun demikian, sejak tahun 1985, selagi masih mahasiswa, Djoni telah tergabung aktif dalam kelompok pematung Yogya, bersama seorang pematung senior Edhi Sunarso.

Djoni cukup menguasai bentuk, terlihat dari komposisi gestur yang dipahatnya, semua dalam proporsi yang tepat. Kekuatan lain yang menonjol adalah ekspresi dan aktivitas yang diabadikannya. Dan sebagaimana setiap seniman selalu tidak bebas nilai, di sini, Djoni juga berangkat dari isu-isu hangat dialektika kemasyarakatan. Semisal patung yang berjudulPoligamis Tak Perlu Celana”, ”TKW Pulang Bunting”, Television to be Telepoison”, danAurat.”

Menurut pengakuannya, proses berkarya dalam dirinya tidak semata mengandalkan kemampuan diri yang dicurahi pendidikan formal. Justru pengalaman yang ditemui secara lintas budaya (Minang, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) memberi kamatangan dan, menurut istilahnya, ”pemintaran”. Keuntungan yang diperoleh Djoni dan melengkapi wawasan dalam berkarya, adalah ketika ia bekerja sebagai Art Director di SCTV. Sesederhana apa pun, bentuk kerja tim (team work) yang pernah dijalani akan memberikan pemikiran dan pertimbangan yang berbeda. Ego pribadi sebagai seorang seniman akan lebih terkendali, saat yang baik untuk dapat melihat realitas pasar, kebutuhan orang lain dalam memahami sebuah karya.

Barangkali itu sebabnya ada unsur efisiensi pemilihan materi dalam mengekspresikan gagasan. Styrofoam, kita tahu, adalah bahan yang murah (dibanding tembaga, baja, atau batu). Namun harus disadari pula, materi yang ringan secara fisikal dan ”ringan” secara biaya, jangan sampai mengurangi nilai seni yang dikandungnya. Misalnya ada kecenderungan anggapan karyanya hanya sampai pada elemen estetik dekoratif. Lebih bersifat fashion, bukan hal yang terkesan agung dan permanen, meskipun konsep berpikirnya serius. Rasanya Djoni bekerja dengan konsentrasi yang sama, baik menggunakan kayu maupun styrofoam.

Benar kata Teguh Widodo selaku Kepala Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta, pilihannya terhadap teknik tetak (pahatan) mengandung risiko tinggi. Berbeda dengan seni kriya keramik yang dapat dengan mudah menambah materi jika kurang presisi, sementara pahatan justru selalu mengurangi bahan dari setiap gerakan pahat.

Memang belum banyak pameran yang dilakoninya, tetapi dari tiga kali pameran tunggal, cukup menunjukkan posisinya sebagai pematung. Sejak tahun 1999 sampai sekarang, Djoni menjadi bagian dari komunitas seniman Pasar Seni Jaya Ancol, Jakarta. Pergaulan lelaki pemelihara brewok yang lahir di yogyakarta 19 Desember 1957 ini cukup luas dan tidak berusaha menempatkan dirinya sebagai menara gading. Pada pamerannya kali ini, ia juga menampilkan karya yang mengusung makna filosofis, seperti ”Lelah Sudah Garuda Tua”, ”Demi Waktu”, dan ”Dua Wajah”. Setidaknya inilah persembahan seorang seniman dengan ”tangan dinginnya” yang sanggup memahat fragmen. Memajang peristiwa yang terhenti, di balik setiap ekspresi figurnya, menyimpan banyak cerita.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home