Dear Nana,
Seandainya sebelas tahun yang lalu kita lebih awal berjalan menuju Benteng Fort Rotterdam, mungkin aku tak perlu mengulangi kunjungan hari ini sengan serius. Bertahun-tahun setelah itu tak pernah benar-benar sempat kumasuki tilas Kerajaan Gowa di abad 16 yang kemudian direbut oleh Belanda tahun 1667 di masa Gubernur Jenderal Cornelis Speelman. Rumah-rumah panggung khas Bugis dengan bahan utama kayu jati dan kayu bessi bertukar bangunan batu bata yang kokoh. Di masa itu, Belanda memusatkan pemerintahan, perdagangan, dan pertahanan di tempat ini. Di tengah lindungan benteng batu yang mengelilingi area seluas 3 hektar.
Malam beribu hari lalu, tanggal 31 Juli 1996, kita berjalan di bawah kubah langit kelam dengan percikan bintang-bintang mungil. Berjalan menuju Benteng Fort Rotterdam; kalimat yang kemudian menjadi salah satu judul puisi dari 990 yang kutulis atas tantanganmu. Entah mengapa, setelah sepuluh tahun saling bersurat sejak 1986, pertemuan denganmu membuat sejarah baru bagi kreativitasku. “Masih bisa menulis puisi? Mau menulis seribu puisi untuk Nana?” tanyamu manja.
Tentu tak ada saksi malam itu selain rasa saling percaya. Saat akhirnya kuterima tantanganmu, yang kulihat hanya hamparan aksara di langit untuk sewaktu-waktu kupetik dan kususun menjadi baris dan bait. Antologi yang hingga kini tak pernah terbit utuh itu dimulai dengan “Di Pantai Losari”. Pantai dengan kedai pisang epek terpanjang di Makassar, atau mungkin di dunia.
Kini aku datang lagi, barangkali utuk kelima kalinya, ke Ujungpandang. Kali ini tak ada lagi dirimu di Daeng Tata, beranda tempat pertama kali aku bertamu ke rumahmu. Matahari Makassar bulan November sedang telengas memanggang Bumi, tapi aku punya cita-cita yang tak boleh lagi luput. Dari Hotel Santika tempatku menginap, siang itu, aku memilih naik becak menuju Benteng Fort Rotterdam. Tak jauh jaraknya dari Jalan Hasanuddin. Andai aku seorang perokok, rasanya tak akan habis satu batang.
Nana, percayakah kalau aku langsung tersengat sensasi begitu sampai di halaman benteng? Tak kulepaskan pandangan dari apa pun yang tertangkap mata: aku bagai melihat sebuah kejayaan masa lalu di tempat itu. Patung seorang prajurit menunggang kuda tentu karya seniman Belanda di era penjajahan. Aku segera masuk ke gapura seperti memasuki kota terlarang. Karena begitu melintas lengkung pintu gerbang, kudapati kompleks gedung tua dengan cat baru dan warna genting seragam coklat tua yang tak tampak dari luar.
Kuambil arah kanan sebagai permulaan perjalanan kunjungan. Di sebuah tikungan sudut kudapatkan tulisan: Ruang Tahanan Diponegoro. Seketika ingatanku merayap, kuku-kukunya yang tajam mencoba mengupas kenangan pelajaran di Sekolah Menengah Pertama. Bukankah beliau diasingkan ke Manado? Tentu, setelah penangkapan atas pengkhianatan seorang alibasyah, sepanjang 1830 sampai 1834. Namun masa akhirnya justru berada di penjara itu hingga wafat tahun 1855 dan dimakamkan di Makassar. Dalam bangunan yang selalu terkunci itu dapat kulihat bagian dalamnya melalui jendela yang terbuka. Ada dua pintu, besar dan kecil. Pintu lengkung kecil dibuat untuk memaksa Pangeran pemimpin Perang Jawa itu untuk berjalan tunduk. Selama ini, sama sekali Sultan Ngamid tak mau tunduk kepada Kumpeni.
Dari sudut Bastion Bacan aku naik tangga batu setinggi tujuh meter. Di atasnya kudapatkan jalan lebar lebih dari dua meter untuk berjalan. Dari ketinggian itu dapat kulihat pemandangan yang memukau. Bentuk outline dari benteng itu serupa kura-kura. Pada bagian kepala semula ada dua bangunan pengintai yang hancur bersamaan dengan jatuhnya bom di Hisroshima dan Nagasaki. Menandai tamatnya riwayat Jepang di Bumi Indonesia, temasuk kekuasaannya yang sebentar di Benteng Fort Rotterdam. Tiang bendera tua masih terpacak di ubun-ubun kura-kura, kokoh namun berkarat.
Nana, tentu dulu ingin kautunjukkan peninggalan Raja Gowa ini padaku. Sayang waktu itu hari telah larut, gerbang telah tertutup, dan suhu udara seperti surut. Tapi entah kenapa, sepanjang jalan malam itu kita tak berpelukan untuk saling menahan terpaan angin yang keras. Ada gelora lain yang kemudian melahirkan banyak puisi, beratus-ratus, sampai kausaksikan rasa letih itu pada baris-baris akhir lima bulan kemudian. Engkau hanya memberiku waktu lima bulan, sampai tanggal 31 Desember 1996. Dan aku kalah, karena kurang 10 puisi. Tapi kaukatakan, bahkan dalam sebuah esai, sudah tak penting lagi perkara jumlah. Usahaku lebih berharga. Apalagi sembari berjalan, sejumlah puisi berserak di banyak media nasional dan lokal.
Beberapa sudut gedung dan lanskap kukekalkan melalui mata kamera. Sepasang gedung panjang yang berada di kiri dan kanan kini dimanfaatkan sebagai Museum Sejarah dan Museum Budaya. Namun sebelum memasuki tiap ruangan museum, aku singgah di ruang gelap tempat menyimpan lukisan karya Bachtiar Hafid. Di dalamnya kudapatkan perjalanan sejarah benteng dalam bentuk lukisan. Semula bernama Benteng Junpandan, sebelum direbut oleh Kumpeni. Dengan tempat meriam di sayap kanan dan kiri, serta bukti-bukti kuburan pelurunya, benteng ini menjadi pusat pertahanan Kerajaan Gowa untuk menangkis serangan musuh. Sementara pusat istana terletak di Somba Opu yang jaraknya 4 kilometer dari markas para pengawalnya.
Menjelang senja langit berangsur mendung. Aku sedikit terburu menyelesaikan persinggahan. Bangunan yang berdiri di tengah adalah sebuah gereja, seolah menjadi pusat dari empat penjuru Bastion. Di kawasan itu, persisnya di sudut Bastion Amboina, masih terpelihara penjara bawah tanah. Dengan ventilasi berupa cerobong udara yang muncul di pelataran benteng, diharapkan para tawanan tetap menghirup udara segar.
Ada tujuh sumur yang bertebaran di seantero benteng, tempat para penghuni dan pegawai kantor VOC dulu mengambil air. Perigi itu kini ditutup dengan pintu jeruji besi, tak dimanfaatkan lagi. Perigi yang mungkin menjadi saksi kekejian Westerling membunuh sekitar 40.000 jiwa pribumi sepanjang 1947-1948. Aku bersyukur, Nana, akhirnya dapat masuk ke wilayah yang sejak dulu hanya kubayangkan isinya, justru tanpa dirimu sebagai penunjuk jalan yang tentu akan bercerita lebih cerewet dan akademis.
Pada dua museum yang kutelusuri, kudapatkan jejak puncak raja-raja dan ketua suku. Mulai dari Bugis, Makassar, Selayar, Bone, Paloppo, sampai Mandar. Ruang tamu, baju pengantin, peralatan pengrajin emas, kapal pinisi, proses tenun, pembuatan gula kelapa, pengolahan sagu, sampai pelbagai bentuk nisan untuk makam mereka. Dalam sebuah lemari kaca tersimpan Surek La Galigo, aksara Lontarak, peninggalan senjata milik Arung Palaka. Sejumlah perisai dan baju perang. Seolah kudengar kembali seruan ”maju!” bagi prajurit gagah berani untuk menghalau musuh. Namun di masa penjajahan Belanda, keempat wilayah di Indonesia Timur termasuk Butong dan Ternate ditaklukkan lalu dijadikan sekutu untuk melawan Hasanuddin hingga terkalahkan.
Nana, gerimis akhirnya turun mengurai mendung. Aku bergegas meninggalkan benteng dengan becak yang berbeda. Kali ini ditutup rapat dengan plastik untuk menghindari tempias air. Aku sendirian, dalam kontras cuaca saat aku berangkat, melintasi Jalan Somba Opu. Sebuah jalan yang kukira dipenuhi kaum Lazaretto lalu lalang. Jalan yang dalam pikiranku menjadi tempat kios souvenir topi bambu lebar milik Marga. Tapi Somba Opu itu dipetik sebagai nama jalan. Sementara kawasan Somba Opu sebenarnya, yang dibangun sebagai miniatur Sulawesi, kini justru memiliki nasib memprihatinkan. Tinggal Benteng Fort Rotterdam yang masih setia menyimpan perjalanan kisah Raja-raja Gowa. ***
(Kurnia Effendi, untuk sahabat: Ryana Mustamin)
6 Comments:
saya cuma melihat foto mas kef dan penyair aan mansyur yang novelis pula itu di blognya aan mansyur ..
salam..
sebuah napak tilas yang lirih.. kontras cuaca, sedikit keleluasaan waktu, sendiri sejak memasuki gerbang hingga akhirnya keluar disongsong gerimis seolah makin hendak mengekalkan apa yang sudah, dan hampir.. dan yang kemudian tetap tak tergapai..
ziarahmu.. seperti juga.. kepercayaan pada esok dan lusa.. aku suka.. heheheee.. selamat.
abercrombie & fitch
cheap jordan shoes
gucci outlet online
louis vuitton
retro jordan shoes
seattle seahawks jerseys
uggs on sale
louis vuitton
roshe run
fitflops
201612.24wengdongdong
zzzzz2018.8.29
ugg boots
coach outlet
louboutin outlet
issey miyake
mulberry uk
fitflops shoes
off white jordan 1
hugo boss sale
off white clothing
polo ralph lauren
yeezy boost
chrome hearts online
john wall shoes
converse shoes
michael kors outlet
kobe byrant shoes
coach outlet
coach outlet
michael kors handbags
yeezy boost 350 v2
oakley sunglasses
nike outlet factory
kate spade
jordan shoes
nike shoes
valentino shoes
nike shoes outlet
nike air max
asics shoes
ferragamo shoes
Post a Comment
<< Home