Sang Khalifah
Oleh-oleh sepanjang Ramadhan 1427 H, sebagian telah dimuat di Jurnal Nasional.
Kurnia Effendi:
1.
jemarinya melukis bulan sabit di ufuk langit
“aku bersuci malam ini, berpuasa esok hari,”
malam bertahan pada lengkung cahaya
sukma bertahta di tangkai sidratul muntaha
2.
retak kelam oleh ujung suara adzan
jauh ke serabut gelap cakrawala
”aku mulai langkah dengan bismillah,”
dalam jubah terletak peta tem
3.
”ah ya, alangkah panjang kemarau,”
terdengar oleh jamaah: gumam doa yang parau
tak ingin berhenti sebelum mencapai tepi
walau jalan makin sunyi, hari makin wengi
4.
selalu menetas, telur-telur puisi
keranjangmu kini makin penuh terisi
ciap-ciap riuh di halaman masjid
“alangkah lucu melihat sang lapar ngabuburit,”
5.
di relung teduh yang terpisah dari gaduh
”aku rindu cintamu yang ribut gemuruh,”
dalam pejam mata ia lupakan dunia
dalam gelimang dunia ia butakan mata
6.
ta’jil senja: semangkuk lembayung langit
sebelum taring angin maghrib menggigit
”kucari jejak yang berakhir di jabal rahmah,”
rindu kalbunya sudah terlampau basah
7.
”tak pernah sempurna caraku mencintaimu,”
selalu rontok kelopak bunga di taman itu
ingin meniru kesabaran langit malam
tem
8.
membiarkan pepohonan gemetar dalam cadar
mereka membaca aksaramu, juz demi juz
”biarkan aku gemetar oleh sebuah kabar,”
mula-mula cahaya, lantas suara
9.
kini saatnya melembutkan karang dengan pahat air
debur demi debur seirama tambur jantungmu
kini saatnya menggosok karat pada tebing nurani
”aku cemburu terhadap insan yang kauberi ujian,”
10.
”aku bukan gembala pilihanmu,”
sebentang gurun, domba-domba, ilalang kering
seperti isyarat awal malaikat
perihal tumpah darah, perang abadi di bumi
11.
di sini mentari tanpa jarak seperti duri landak
”beri aku dongeng tentang sepetak oase,”
tak ada yang beranjak dari terompahnya
tem
12.
berguru pada teratai, mengabdi pada sunyi
kitab-kitab itu terbuka sendiri
”aku berteduh di bawah rimbun zaitun,”
beranda ini begitu luas dan ngungun
13
siapa yang mengetuk pintu dengan tak sabar?
mungkin denyar badai di luar telantar
kepada bencana, ucapkan selamat datang
”meski kau acap berkunjung tanpa bilang,”
14.
lembar papirus dan jajaran bukit tandus
entah di mana sembunyi ihwal sang kudus
”aku menderas kisah, aku melafal hikayah,”
tak serta-merta menjadi khalifah kaffah
15.
sabar adalah laut, barangkali bernama ibrahim
”tak kuasa benakku berlayar ke sana,”
ditulis atas daun kaktus catatan ayat
menjadi alasan untuk kehilangan alamat
16.
”cintaku damar yang meleleh,”
rasa sakit hutan, luka yang bahagia
seperti rusuk yang dilepas dari rongga dada
membangun mahligai dari air mata
17.
dari celah hira terpandang altar semesta
dari jendela jiwa terangkum alam raya
”kucelup penaku ke samudra untuk menulisi bumi,”
tak rampung hingga seluruh usia umat manusia
18.
“kupenuhi takaran cinta dengan kelembutan doa,”
tangan yang meraih langit, wajah yang karib dengan bumi
rumput dijalin menjadi sajadah hijau
shaf yang tak jeda rakaat hingga akhir zaman
19.
seribu pintu dengan satu anak kunci
hanya ilmu pembuka kerasnya hati
seribu arah jalan dengan satu niat melangkah
hanya ikhtiar penolong tujuan sejati
20.
kelopak yang gugur dalam setangkup cahaya
“ampuni aku atas silau sinarmu,”
putih di antara berjuta warna
spektrum terindah tepian surga
21.
dari satu tiang rakaat mendaki puncak
“kapan aku sampai pada hulu ke seribu?”
menara gagal menjulang ke tangga langit
tinggal tersisa runcing jarum stalaktit
22.
rakit yang berenang ke luas telaga
putik teratai dalam pusaran angin taman
“akulah batang bambu yang terpilin rapuh,”
tapi benangsari tak henti menghampiri
23.
“jangan berguru pada aku yang pandir,”
adakah ia bukan khidir?
di puncak turzina, musa mendadak buta
di puncak angkuh, kami tak pernah bermata
24.
dari klorofil pohon itu menyusun silsilah
surya dan angin delapan penjuru, tetangga yang tabah
“aku masih juga sangsi padamu,”
selalu saja bermain batu api sejarah
25.
kaca-kaca kembali pada hamparan pasir
kutuk atau pahala?
“aku tak mampu mengubah rajah tangan,”
nasib selalu menunjukkan jalan pulang
26.
berlindung pada gumpalan awan
matahari terakhir di ujung zaman
siapa ’kan benar-benar turun ke negeri carut-marut?
“bukan aku, sungguh, bukan aku.”
27.
“tak lengkap hidayah tanpa khuldi,”
kesempurnaan adalah kehadiran gelap dan terang
siapa nabi paling bahagia di muka bumi?
siapa malaikat paling sedih di langit raya?
28.
jejak tipis kibaran sayap letih
ah, manusia yang rakus getih
tak ada yang sanggup mengubah sejarah
sepanjang manusia hidup dari hangat darah
29.
“siapkan busana terbaruku, sahabat.”
yang mana? warna apa?
setelah mencari penjahit terbaik di bumi
tak mampu menandingi ketulusan benang ramadan
30.
para malaikat gemetar di tepi pintu perpisahan
bagai tak ingin melambai pada komari yang pergi
segugus kaum bertakbir setelah tenggelam matahari
mungkin sebuah tangis, mungkin selarik syukur
Jakarta-Slawi, Ramadhan 1428 H
0 Comments:
Post a Comment
<< Home