Thursday, November 22, 2007

Sang Khalifah

Oleh-oleh sepanjang Ramadhan 1427 H, sebagian telah dimuat di Jurnal Nasional.

Kurnia Effendi:

1.

jemarinya melukis bulan sabit di ufuk langit

“aku bersuci malam ini, berpuasa esok hari,”

malam bertahan pada lengkung cahaya

sukma bertahta di tangkai sidratul muntaha

2.

retak kelam oleh ujung suara adzan

jauh ke serabut gelap cakrawala

”aku mulai langkah dengan bismillah,”

dalam jubah terletak peta tempat singgah

3.

”ah ya, alangkah panjang kemarau,”

terdengar oleh jamaah: gumam doa yang parau

tak ingin berhenti sebelum mencapai tepi

walau jalan makin sunyi, hari makin wengi

4.

selalu menetas, telur-telur puisi

keranjangmu kini makin penuh terisi

ciap-ciap riuh di halaman masjid

“alangkah lucu melihat sang lapar ngabuburit,”

5.

di relung teduh yang terpisah dari gaduh

”aku rindu cintamu yang ribut gemuruh,”

dalam pejam mata ia lupakan dunia

dalam gelimang dunia ia butakan mata

6.

ta’jil senja: semangkuk lembayung langit

sebelum taring angin maghrib menggigit

”kucari jejak yang berakhir di jabal rahmah,”

rindu kalbunya sudah terlampau basah

7.

”tak pernah sempurna caraku mencintaimu,”

selalu rontok kelopak bunga di taman itu

ingin meniru kesabaran langit malam

tempat lapang untuk bermain jutaan bintang

8.

membiarkan pepohonan gemetar dalam cadar

mereka membaca aksaramu, juz demi juz

”biarkan aku gemetar oleh sebuah kabar,”

mula-mula cahaya, lantas suara

9.

kini saatnya melembutkan karang dengan pahat air

debur demi debur seirama tambur jantungmu

kini saatnya menggosok karat pada tebing nurani

”aku cemburu terhadap insan yang kauberi ujian,”

10.

”aku bukan gembala pilihanmu,”

sebentang gurun, domba-domba, ilalang kering

seperti isyarat awal malaikat

perihal tumpah darah, perang abadi di bumi

11.

di sini mentari tanpa jarak seperti duri landak

”beri aku dongeng tentang sepetak oase,”

tak ada yang beranjak dari terompahnya

tempat terakhir untuk berpijak

12.

berguru pada teratai, mengabdi pada sunyi

kitab-kitab itu terbuka sendiri

”aku berteduh di bawah rimbun zaitun,”

beranda ini begitu luas dan ngungun

13

siapa yang mengetuk pintu dengan tak sabar?

mungkin denyar badai di luar telantar

kepada bencana, ucapkan selamat datang

”meski kau acap berkunjung tanpa bilang,”

14.

lembar papirus dan jajaran bukit tandus

entah di mana sembunyi ihwal sang kudus

”aku menderas kisah, aku melafal hikayah,”

tak serta-merta menjadi khalifah kaffah

15.

sabar adalah laut, barangkali bernama ibrahim

”tak kuasa benakku berlayar ke sana,”

ditulis atas daun kaktus catatan ayat

menjadi alasan untuk kehilangan alamat

16.

”cintaku damar yang meleleh,”

rasa sakit hutan, luka yang bahagia

seperti rusuk yang dilepas dari rongga dada

membangun mahligai dari air mata

17.

dari celah hira terpandang altar semesta

dari jendela jiwa terangkum alam raya

”kucelup penaku ke samudra untuk menulisi bumi,”

tak rampung hingga seluruh usia umat manusia

18.

“kupenuhi takaran cinta dengan kelembutan doa,”

tangan yang meraih langit, wajah yang karib dengan bumi

rumput dijalin menjadi sajadah hijau

shaf yang tak jeda rakaat hingga akhir zaman

19.

seribu pintu dengan satu anak kunci

hanya ilmu pembuka kerasnya hati

seribu arah jalan dengan satu niat melangkah

hanya ikhtiar penolong tujuan sejati

20.

kelopak yang gugur dalam setangkup cahaya

“ampuni aku atas silau sinarmu,”

putih di antara berjuta warna

spektrum terindah tepian surga

21.

dari satu tiang rakaat mendaki puncak

“kapan aku sampai pada hulu ke seribu?”

menara gagal menjulang ke tangga langit

tinggal tersisa runcing jarum stalaktit

22.

rakit yang berenang ke luas telaga

putik teratai dalam pusaran angin taman

“akulah batang bambu yang terpilin rapuh,”

tapi benangsari tak henti menghampiri

23.

“jangan berguru pada aku yang pandir,”

adakah ia bukan khidir?

di puncak turzina, musa mendadak buta

di puncak angkuh, kami tak pernah bermata

24.

dari klorofil pohon itu menyusun silsilah

surya dan angin delapan penjuru, tetangga yang tabah

“aku masih juga sangsi padamu,”

selalu saja bermain batu api sejarah

25.

kaca-kaca kembali pada hamparan pasir

kutuk atau pahala?

“aku tak mampu mengubah rajah tangan,”

nasib selalu menunjukkan jalan pulang

26.

berlindung pada gumpalan awan

matahari terakhir di ujung zaman

siapa ’kan benar-benar turun ke negeri carut-marut?

“bukan aku, sungguh, bukan aku.”

27.

“tak lengkap hidayah tanpa khuldi,”

kesempurnaan adalah kehadiran gelap dan terang

siapa nabi paling bahagia di muka bumi?

siapa malaikat paling sedih di langit raya?

28.

jejak tipis kibaran sayap letih

ah, manusia yang rakus getih

tak ada yang sanggup mengubah sejarah

sepanjang manusia hidup dari hangat darah

29.

“siapkan busana terbaruku, sahabat.”

yang mana? warna apa?

setelah mencari penjahit terbaik di bumi

tak mampu menandingi ketulusan benang ramadan

30.

para malaikat gemetar di tepi pintu perpisahan

bagai tak ingin melambai pada komari yang pergi

segugus kaum bertakbir setelah tenggelam matahari

mungkin sebuah tangis, mungkin selarik syukur

 

Jakarta-Slawi, Ramadhan 1428 H

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home