Monday, November 19, 2007

Hari Pahlawan dari Dua Perspektif

(1)                        Malam Patriotisme

Menjelang Hari Pahlawan, Jumat 9 November 2007, Radio Republik Indonesia (RRI) bekerjasama dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) menyelenggarakan acara Malam Patriotisme. Acara yang melibatkan sejumlah menteri itu disiarkan secara langsung dan para pendengar dapat melakukan ”dialog” interaktif melalui SMS. Parni Hadi, Direktur RRI, bertindak sebagai moderator diskusi, dengan pembicara antara lain Mendiknas M. Sudibyo, Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, dan Menteri Negeri Daerah Tertinggal Lukman. Berlangsung sejak pukul 20:00 sampai 22:00 WIB. Tentu saja, karena itu siaran on air dan diselenggarakan oleh radio pemerintah nasional, berjalan tepat waktu.

Acara tersebut sekaligus untuk meresmikan Cafe RRI yang akan menempati sebuah ruangan di gedung bersejarah di Jalan Medan Merdeka Barat. Diskusi yang diawali dengan resepsi makan malam itu dihadiri lebih dari 100 orang. Sebagian besar audiens adalah staf pejabat Departemen Informasi dan Komunikasi beserta para peminat sastra, termasuk tokoh-tokoh sastrawan yang pada malam itu akan membaca puisi: Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Diah Hadaning, Ahmadun Yosi Herfanda. Tampak juga H. Sujiwo Tejo dan Fatin Hamama.

Diskusi yang mengalir dikembangkan dari makna kepahlawanan dewasa ini. Satu per satu menteri didaulat untuk membaca puisi, satu di antaranya karya yang tak pernah lekang secara tematik: ”Pahlawan Tak Dikenal” karya almarhum penyair Toto Sudarto Bachtiar. Di antara silang bicara Parni Hadi membacakan SMS yang masuk dari para pendengar. Saat salah satu SMS bertanya: ”Apakah dalam sastra juga ada pahlawan?” dimintanya Bang Tardji untuk menjawab.

Menurut Sutardji, dalam sastra tak perlu ada pahlawan. ”Pahlawan adalah seorang yang mencintai bangsa dan negaranya tanpa pandang bulu, tanpa pamrih, tidak harus malu walau kondisi Indonesia seperti apa pun. Kalau kita masih malu menjadi seorang warganegara Indonesia, lalu lari keluar negeri, tak pantas disebut sebagai pewaris nilai-nilai kepahlawanan.” Tetapi, tentu saja, kita sebagai anak bangsa harus terus berjuang untuk meraih kebaikan bagi semuanya.

Satu jam pertama memang digunakan untuk acara diskusi, selanjutnya merupakan ajang pembacaan puisi diseling dengan beberapa lagu kepahlawanan yang disenandungkan oleh penyanyi seriosa Aning Katamsi dan Christofel Abimanyu. Seperangkat alat musik modern dan tradisional mengisi sayap kanan dan kiri panggung. Menjelang penyair Diah Hadaning membacakan puisi, diajukan beberapa pertanyaan oleh pemandu acara. ”Apa resep Mbak Diah tetap bugar di usia sekarang?” Jawabannya mantap dan mengundang senyum: ”Karena saya selalu sarapan sepiring puisi setiap pagi.”

Wowok Hesti Prabowo, pendiri KSI dan koordinator panitia mengaku, bahwa kegiatan itu sebetulnya telah dirancang sejak lama. Berulang kali Parni Hadi ketika masih menjadi Direktur Kantor Berita Antara selalu mengajak KSI untuk kerjasama dalam agenda kegiatan seni budaya. Maka usulan KSI untuk menggelar diskusi tentang kepahlawanan malam itu disambut baik. ”Setelah malam ini, setiap bulannya RRI akan menyediakan waktu satu jam di malam hari untuk acara apresiasi sastra,” ujar Wowok. ”Nanti akan kami umumkan agar setiap sastrawan Jabodetabek dapat berkontribusi secara bergiliran untuk mengisi, sambil meramaikan suasana kafe.”

Syukurlah, akhirnya RRI menyediakan waktunya dengan memberi ruang bagi pecinta sastra untuk menikmati dan menyumbangkan kreativitasnya.

(Kurnia Effendi)

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home