Friday, December 07, 2007

Long Post Card for Ida Ahdiah

Ida, aku hampir lupa pernah memesan kartu pos padamu. Itulah yang kucemaskan akhir-akhir ini. Dalam sehari aku bisa berbicara dengan lebih dari dua puluh orang dalam topik yang berbeda-beda. Sebagai contoh, pada hari Selasa 4 Desember yang lalu, aku merasakan banyak gambar di kepalaku bertumpuk-tumpuk. Hari itu aku mendapat tugas untuk genba (istilah Jepang untuk kunjungan atau peninjauan) ke 4 gerai Suzuki dalam rangka memantau pelaksanaan customer feedback form. Namun aku tak ingin mengabaikan sejumlah acara yang cukup menarik dan ada beberapa janji yang harus kutuntaskan hari itu. Maka begitu sampai di kantor, kubuka surat elektronik dan menjawab beberapa di antaranya yang berkaitan denganku. Misalnya dari komunitas LeoKristi yang kebetulan punya 2 agenda: kemping di Lembang awal Januari dan reriungan Nyanyikan Cinta di Warung Apresiasi Bulungan, Februari nanti. Setelah itu kusiapkan 10 eksemplar tabloid Parle yang kujanjikan pada Mas Edi Haryono, pendiri dan pemimpin Bela Studio. Di Parle edisi 115 itu memang ditampilkan acara syukuran Bela Studio sekaligus peluncuran dua buah buku antologi cerpen Rendra. Karena aku bakal pergi seharian, maka Parle kutitipkan pada Dyah, resepsionis di kantorku. Menjelang pukul 11, berangkatlah aku dengan rute mulai dari yang terdekat. Suzuki Armada di Jatinegara tujuan pertama, di sebelah RS Hermina. Di sana aku bertemu dengan Adian yang memegang business development. Berikutnya aku meluncur ke Suzuki Bypassindo di Jl. Bypass sebelum supermarket Dwima. Kedua owner-nya yang menyambut dan berdiskusi denganku. Sepamit dari sana, aku pikir sudah dekat dengan kantor Parle di Cempaka Putih Tengah, kuputuskan mampir, siapa tahu ada teman-teman dan bisa makan siang bareng. Sesampai di sana hanya ada Pemimpin Redaksi dan kepala bagian keuangan. Tapi aku memang perlu mampir ke kantor redaksi karena Hudan Hidayat—novelis yang juga menjadi staf ahli Menpora—minta 10 edisi Parle untuk bahan tulisan. Selain itu, di situ aku bisa salat zhuhur dengan nyaman. Di kantor Parle aku juga menyempatkan telepon Anya Rompas, mencari tahu alamat Penerbit Metafor yang konon di Cempaka Putih Tengah juga. Demikianlah, jika waktu memadai aku akan mampir ke Metafor untuk menanyakan kabar bukuku, Bercinta di Bawah Bulan, apakah sudah waktunya diobral, haha. Nah, rasanya, di bawah udara mendung Jakarta, enak sekali makan yang segar-segar. Pilihanku adalah bakso Taman Solo. Aku tinggal jalan kaki sekitar 150 meter, sampailah di tempat yang selalu hiruk-pikuk itu. Semangkuk bakso urat segera memasuki perut. Tenanglah sudah diriku dan berjalan kembali ke Parle untuk mengambil mobil dan meluncur mencari alamat Metafor. Di sana aku bertemu dengan Mbak Tuti, yang kini solo karier setelah Wetty, Ratih Kumala, Mikael, dan Syaiful Masri secara bergiliran pindah kerja. Mbak Tuti menjanjikan padaku untuk menghitung royalti sepanjang 2006 dan 2007 sampai akhir bulan ini. Aku setuju dengan kebaikannya itu. Lalu aku meluncur lagi ke jalan raya dan memilih lewat jalan tol untuk sampai ke dealer yang beralamat di Jl. Tendean. Tunggu dulu! Rasanya ada pameran lukisan Ito S yang sedang berlangsung di O House Gallery di Jl. Widya Chandra. Seketika kuputuskan untuk singgah ke sana dulu. Jadi aku keluar di pintu Kuningan dan masuk ke Jl. Widya Chandra yang posisinya di seberang Planet Hollywood. Di rumah nomor 39 aku berhenti. Saat aku masuk ke galeri, kulihat seseorang yang pernah kujanjikan Parle jika aku datang lagi, karena aku memuat kegiatan pameran sebelumnya di galeri itu. Begitu bersirobok pandang, langsung kuangsurkan Parle 115 dan kutunjukkan halaman yang dimaksud. Lalu dia seperti teringat sesuatu. ”Ada Mas Hanafi,” katanya. ”Saya panggil dia, ya.” Begitulah. Tak lama kemudian ada langkah sepatu (ah, jadi terkenang tema lukisan Hanafi tahun 2005 di Bentara Budaya: Tiga Hari dalam Sepatu) dan muncul di ujung tangga Mas Hanafi yang berpenampilan santai. Kami bersalaman, ngobrol di balok kayu di tengah ruang pamer, sembari merokok. Hanafi yang merokok, aku tidak. Aku hanya sesekali memotretnya. Tapi saat itu yang sedang pameran adalah Mas Ito. Lalu aku pun dikenalkannya dengan sang pelukis. Aduh, aku kagum pada lukisannya yang menggambarkan air dan tetumbuhan. Menurutnya, sungai Limmat di Swiss, tempatnya bermukim selama belasan tahun, memiliki keunikan. Air yang mengalir di sungai itu bisa berubah warna tergantung dari posisi matahari. Pagi hijau, siang biru, dan senja kecoklatan. Itulah yang dilukisnya. Dari jauh seperti karya cetak foto, begitu dekat, aduhai, itu goresan kuas yang telaten. Rasanya aku menghabiskan satu jam di galeri itu dan harus pamit untuk menuntaskan pekerjaan. Jadi aku berlanjut ke Senopati dan muncul di Tendean, masuk ke halaman parkir Suzuki-Adiputro. Di sana aku bertemu dengan kepala bengkel untuk menyampaikan fungsi dan prosedur customer feedback form yang berhadiah gratis oli. Setelah minum dan mendapat beberapa informasi penting mengenai pelanggan bengkel, aku pun melaju ke arah Pasar Minggu. Tapi tujuanku ke pertigaan Kalibata saja, tempat showroom Suzuki Pusaka Motor berada. Aku ditemui oleh salescounter yang cantik, Dian. Dengannya aku berbagi petunjuk pelaksanaan. Bahwa customer feedback form ini wajib disampaikan kepada pelanggan saat salesforce melakukan serah terima kendaraan. Tampaknya memang sudah sore sesudah aku dari alamat gerai Suzuki yang terakhir hari itu. Padahal aku ingin hadir pada acara peluncuran dan diskusi novel Fadjroel Rachman di Gramedia Matraman yang dimulai jam 16:00. Aku pun sms Endah Sulwesi. Rupanya dia sudah berada di lokasi. Sms dan teleponku berikutnya, ketika aku sampai di Gramedia, tidak lagi dibalasnya. Pasti dalam posisi silent. Tapi aku harus mengejar waktu ashar yang nyaris habis: jam 5 lebih. Usai salat baru aku naik ke lantai dua. Di pintu ruang diskusi aku ketemu dengan Mbak Widid, Mirna, dan Ninin, dari Gramedia Pustaka Utama. Lalu aku mencari tempat duduk di baris kedua, persis di belakang Endah. Di depan sana ada Fadjroel Rachman (tentu), Jarwo Kuwat, Effendi Gazali, Arya Gunawan, Sujiwo Tejo, dan Reda Gaudiamo—tiga yang terakhir memberi isyarat dengan tangan saat mengetahui aku datang. Waktu itu acara presentasi masing-masing pembicara sudah usai. Jadi tinggal tanya jawab, lalu bubar dengan pemberian kenangan-kenangan buku dari GPU untuk para pembicara dan Mukti-Mukti, gitaris ”jalanan” dari Bandung yang sudah (tampaknya) menyanyi lagu Bulan Jingga, mengawali acara sore itu. Tentu saja setelah saling berbaur bersalam-salaman, foto-fotoan (aku tidak berfoto tetapi memotret Fadjroel dengan kawan-kawannya yang kebanyakan teman-teman aktivis di ITB masa lalu). Jumlah hadirin memang lebih banyak ketimbang yang berlangsung di Bandung (ketika aku, Dr. Syafrina, Hudan Hidayat, Mariana Amiruddin, dan Jamal menjadi pembicara dengan moderator Hikmat Gumelar). Di Matraman tampak hadir Ny. Pramoedya Ananta Toer dengan putrinya, juga para pendukung Republik Mimpi. Di situ aku ketemu Ita Siregar dari Femina yang segera kubujuk untuk mengikuti acara diskusi buku Goenawan Mohamad (Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai) di Freedom Institute. Karena aku belum pernah ke sana, maka dibuatkan peta sederhana oleh Reda Gaudiamo yang juga janji akan menyusul bersama suaminya. Semula Endah dan Ita mau makan dulu, tapi kubilang, pada acara GM itu ada makan malam. Tetapi rupanya, sesampai di sana, meja prasmanan telah dibereskan. Beruntung, kami masih kebagian risoles yang enak bukan main dan kopi atau teh. Ruang diskusi telah penuh, tentu saja, karena hanya menggunakan ruang tamu. Tapi selasar yang memanjang ke belakang dari carport cukup luas untuk ditempati kursi-kursi. Kusapa pertama kali Guntur Romli (penulis buku Islam Benar Islam Salah) dan Mas Toni Prabowo. Kami bertiga berjalan ke belakang dan kulihat di ujung sana ada Ucu Agustin. Oleh rasa kangen lama tak ketemu dan turut sedih karena buku Ucu (Dunia di Kepala Alice) tidak masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award, kupeluk dia. Ternyata, malam itu, dia baru tahu perihal kekalahannya. ”Ya sudah nggak apa-apa,” katanya ikhlas. Lantas kulihat Mas GM, kusalami, ngobrol sedikit. Selanjutnya Endah membeli buku GM dan minta otograf sang penulis. Tujuannya agar aku bisa memotretnya berdua GM. Kupikir aku datang ke Freedom ingin ikut diskusi, jadi aku masuk ke dalam dan syukurlah ada sederet kursi paling depan yang dikosongkan. Jadi aku leluasa mengambil gambar dan mendengarkan Kyai Hussein Muhammad bicara, dilanjutkan dengan Martin Sinaga menyampaikan makalahnya. Aku keluar lagi dan menemani Mas GM duduk di tangga teras, menyimak dari situ. Tahu-tahu Ucu Agustin minta duduk di tengah-tengah, di antara kami berdua, untuk difoto ”secara norak” oleh si cantik Laksmi Pamuntjak. Menjelang akhir acara kami pamit karena ternyata masih lapar juga. Di pintu pagar bergerombol: Nirwan Dewanto, Hasif Amini, Sitok Srengenge, dan lain-lain. Kuminta pada Nirwan yang baru pulang dari Amrik untuk menuliskan oleh-olehnya. “Pasti ada saatnya,” begitulah janjinya. Lalu kami tinggalkan Jalan Irian mencari warung. Pilihan jatuh pada tenda nasi uduk Gondangdia. Ke sanalah kami bertiga, mumpung malam masih ”muda” (sekitar pukul 21.30 sih). Ternyata masih ramai. Setengah jam berikutnya kami benar-benar meluncur menuju pulang. Kuantar Ita Siregar ke Rawamangun,  Endah ke Klender, dan sampailah aku di rumah menjelang pukul sebelas. Karena takut buku baru GM lecek, kusempatkan menyampuli dulu sebelum membuka lap top untuk menulis... Coba, Ida, berapa orang yang kutemui dalam sehari itu kecuali yang kutulis di sini karena cukup penting? Jadi wajar kalau aku lupa pernah memesan kartu pos padamu. Tapi kini ingat. Sungguh aku berterima kasih dengan upayamu menitipkan kartu pos itu pada Liana Aisyah. Kartu pos itu ditemani sebuah tas yang dilipat mirip tempat pensil berwarna merah, masih utuh dari UIN Yogyakarta. Pagi tadi aku telepon Liana tapi tak diangkat. Akhirnya aku menggunakan sms mengucapkan terima kasih atas amanatmu yang telah dijalankan dengan baik. Aku pun sekali lagi harus mengucapkan terima kasih banyak padamu. Sungguh indah-indah sejumlah kartu pos yang kaukirimkan itu, dan tidak salah: memang itu yang kumaksud. Surat pendekmu di balik kartu pos sudut kota Montreal saat musim gugur kutunjukkan pada teman sejawat di kantor, Eka Syafitri. Kebetulan ia penggemar warna kuning, sehingga begitu terpesonanya pada pohon yang sekujur tubuhnya berwarna kuning. Warna yang ajaib, seorang teman. Demikianlah Ida, akhirnya surat yang semestinya dituliskan di atas kartu pos ini pun mesti disudahi. Selamat menikmati musim gugur. Sementara di Jakarta, setelah sepekan yang lalu dilanda suhu 40 derajad, kini hujan mengguyur hampir setiap hari. Repotnya, Jakarta selalu lumpuh dalam menghadapi curah air yang berlebih. Tapi, kita harus tetap mencintai tanah air, bukan? Jadi, kapan kembali ke Indonesia? Salam manis dariku... Kef.