Friday, December 07, 2007

Perangai

Memandang jalur jalan yang macet, wajah Jakarta tampak begitu menjengkelkan. Sayangnya kondisi seperti itu berlangsung setiap hari. Bukan sesekali. Di pelbagai tempat pula. Kian hari bertambah parah. Mari kita lihat penyebabnya.

Pertama, pertumbuhan infrastruktur yang tidak selaju perkembangan jumlah kendaraan. Kedua, pembuatan jalur busway untuk Trans-Jakarta, koridor demi koridor, telah mengurangi jatah jalur untuk mobil. Andaikata membuat lintasan baru, katakanlah dengan pembebasan tanah di sepanjang tepi kiri jalan, tentu menimbulkan masalah yang lebih berkepanjangan. Tetapi, meminta hak jalur umum yang sudah padat untuk melenggang lancar ”sendirian” juga menerbitkan rasa gondok. Rasakan yang terjadi di sekitar Pancoran, Jalan Bypass setiap menjelang pintu tol, sepanjang Jl. Panjang, sepanjang Jl. Otista, dan daftar bisa makin panjang.

Tidak bisa tidak, para pengguna mobil pribadi akan menggerutu. Tapi tidak bisa tidak, kendaraan umum yang nyaman dan lancar semacam Trans-Jakarta memang diperlukan banyak kalangan. Kita patut mengacungkan jempol pada mantan gubernur DKI yang dengan percaya diri, tutup telinga, terus maju dengan programnya. Jadilah situasi seperti saat ini. Situasi yang mengubah perangai seorang pengguna mobil pribadi, sopir taksi, pengendara sepeda motor, dan tentu pengendara ambulans yang selalu terburu-buru.

Lebih parah lagi ketika masih ada mikrolet atau metromini yang tidak menepi saat menaikturunkan penumpang dan membuat antrean panjang di belakangnya dengan klakson menyalak-nyalak. Saat itu, bila kebetulan kita menjadi korban kemacetan, akan mengumpat: ”Dasar sopirnya nggak sekolah!”

Benarkah sopir mikrolet dan metromini tidak pernah mengenyam pendidikan? Barangkali Anda tidak percaya jika di antara mereka ada yang sarjana. Artinya, ilmu yang pernah diserap ke dalam otaknya cukup berkualitas, hanya saja tidak dipergunakan dengan benar atau telah terkontaminasi oleh situasi yang mengitarinya. Kadang-kadang saya ingin bertaruh dengan seseorang, bahwa jika kita terpaksa harus menjadi sopir mikrolet atau metromini, akan melakukan hal yang sama: berhenti tidak di halte, tidak menepi, memperlakukan lampu merah dan hijau lalu lintas dengan fungsi yang terbalik.

Jadi, apa yang salah? Perangai orangnya atau profesi yang disandangnya? Kondisi yang harus dihadapi atau learning by doing? Artinya, secara perlahan-lahan, perilaku seseorang akan berubah oleh peristiwa yang dihadapi setiap hari. Ketika anak saya mengikuti program pesantren, misalnya, ternyata mudah bangun sebelum subuh untuk salat tahajud dan menderas Quran seraya menunggu adzan dikumandangkan. Ia memasuki pola yang sudah berjalan dan ikut hanyut dalam pusaran itu. Seperti reranting yang dilempar ke tengah sungai, segera saja mengikuti arus, meliuk-liuk sesuai lekuk tubuh sungai dan gelombang yang terbentuk oleh bebatuan di dasarnya.

Oleh karena itu, demikian efektif pelajaran disiplin dalam ketentaraan untuk membentuk seseorang menjadi pribadi yang ditargetkan. Anak-anak ”kolong” yang dilahirkan keluarga militer menjadi berbeda dengan orang-orang kampung di sekitarnya. Ada garis keras dalam cara mendidik. Bahkan terkadang dengan memukulnya saat menghukum. Anak tentara tak boleh lemah fisik maupun mental.

Kawan-kawan sejawat yang duduk di sekitar kita tentu memiliki perangai yang berbeda satu sama lain. Perangai, tabiat, sikap, dan kebiasaan, ada yang tertangkap dalam sekali kenal, ada pula yang harus menyingkapnya berbulan-bulan. Salah satu tugas bagian personalia adalah menangkap sifat di balik kemampuan intelektual calon karyawan agar dapat memberi posisi yang tepat. Kita pun tak merasa nyaman bila mendapat job description yang tidak sesuai dengan keterampilan dan minat. Itu sebabnya, saat uji psikologi diharapkan mengisi setiap pertanyaan dengan jawaban jujur. Kita akan rugi sendiri bila psikolognya ”salah terka”, meskipun dengan periksa silang akan segera diketahui hal-hal yang tidak konsisten.

Kembali kepada perangai seseorang, rasanya situasi Jakarta menjadi ”sekolah” terbaik. Sejak keluar dari rumah sudah mendapat masalah kemacetan, antre di jalan kompleks menuju akses jalan raya. Dilanjutkan dengan antrean masuk pintu tol dan sekeluarnya dari pintu tol tujuan. Jika terlambat sedikit, tak mendapat parkir yang dekat dengan tempat bekerja. Pada saat injury time, kita akan berebut lift. Pabila jam pertama bekerja adalah rapat, tak terbayang grusa-grusunya kita memperlakukan dokumen di meja kerja. Rasa marah, cemas, stres, mengisi hari kita sejak pagi.

Setiap hari seperti itu, lama-lama karakter kita terbentuk sesuai dengan pola yang dihadapi. Bagi yang tinggal jauh dari kantor, berangkat sebelum matahari tampak, pulang setelah matahari jauh terbenam. Suami dan istri bertemu dalam hitungan menit saja, sementara partner kita selama hampir rata-rata tujuh jam sehari adalah seseorang yang berbeda. Mungkin kita lebih hapal warna dan merk lipstik teman sejawat, ketimbang yang dikenakan istrinya. Mungkin seorang sekretaris akan lebih paham makanan kesukaan bos daripada kebutuhan suaminya. Seorang kawan pernah curhat: ”Heran, istriku sanggup menanggapi telepon atasannya yang gila kerja itu hingga berjam-jam, sementara teleponku selalu dijawabnya dengan terburu-buru. Siapa sih yang lebih penting?”

Pertanyaan yang mengandung kata ”penting” itu tak saya jawab. Dalam soal pekerjaan, tentu penting atasannya, jika yang dibicarakan terkait bisnis. Dalam soal kasih sayang dan perhatian, tentu suami harus diutamakan. Tapi Jakarta adalah sebuah kota yang mampu mengubah semua aturan main dengan logika yang nyaris benar. Kalau akhirnya kita terbiasa menyeruput es podeng satu mangkuk bersama dengan teman lawan jenis saat makan siang, itu karena sudah demikian karib seperti ”suami-istri”. Sementara yang ditemui di rumah dalam keadaan letih adalah pasangan yang tak lagi nyaman dipandang karena waktu telah larut.

Untunglah ada Stephen R. Covey yang menulis buku Seven Habits. Setidaknya akan memberi penyadaran terhadap pegawai kantoran, level tertentu, yang memungkinkan pemahaman mengenai perangai diri untuk memberikan hasil positif bagi kinerja maupun keluarga. Seorang teman yang bijak dan matang bilang: ”Kesuksesan di kantor (seharusnya) berawal dari kesuksesan di rumah.” Ada pula pendapat yang mengatakan sebaliknya, bahwa antara karier di kantor dan keluarga tak dapat berjalan seiring. Pendapat kedua ini ditunjukkan oleh sejumlah wanita karier yang terpaksa mengorbankan keharmonisan keluarganya demi ambisi jabatan.

Tetapi jangan khawatir, karena masih tersisa hari Sabtu (dan atau) Minggu yang memungkinkan kita untuk slow down. Olah raga bersama anak-anak. Nonton bioskop. Mencoba resep masakan dari majalah. Merawat anthurium. Menulis buku. Main layang-layang. Melakukan perjalanan ke pedesaan. Tepatnya untuk mengembalikan perangai kita pada keseimbangan. Dan jangan mengumpat sopir metromini lagi, kecuali terpaksa.

(Kurnia Effendi, untuk Media Asuransi)

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home