Thursday, December 27, 2007

Menara Waktu

Kayu Tanam terletak di Sumatera Barat. Bulan November 1997 saya berada di sana, sebuah tempat sejuk yang inspiratif. Ada sebuah sekolah seni di kota yang tak jauh dari Padang itu, selama sepekan menjadi tempat perhelatan sastra Nusantara. Saya berada di sana sebagai penulis, yang berangkat bersama rombongan Komunitas Sastra Indonesia dari Jakarta.

Perjalanan naik bis dari Taman Ismail Marzuki pukul 11 hari Kamis tiba di Kayu Tanam menjelang Ashar hari Jumat. Kami sempat beberapa kali istirahat, yang terakhir di sebuah masjid untuk salat Jumat. Pengalaman menyusuri jalan panjang di tepi Danau Singkarak dan Maninjau ingin saya ulang lagi.

Di restoran Angin Berhembus, yang kaki-kaki bangunannya sebagian terendam ke pantai danau, kami singgah untuk makan. Dalam obrolan sempat saya ketahui bahwa Danau Singkarak dan Danau Maninjau mirip bejana berhubungan. Konon jika ada orang yang tenggelam di Dnau Singkarak kemungkinan jenazahnya ditemukan di Danau Maninjau. Tetapi kami ke Padang bukan hendak membahas tentang kematian. Rasa masakan balado yang membekas di lidah lebih sedap untuk dibicarakan.

Pertemuan sastrawan se-Nusantara itu memang menghadirkan tak hanya pekerja sastra Indonesia. Di sana berkumpul tokoh-tokoh pembicara dari Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia. Saya ingat, dari Indonesia ada Budi Darma sebagai pembicara untuk novel. Sutardji Calzoum Bachri bicara tentang pantun. Sapardi Djoko Damono membahas puisi. Selain mereka ada juga Taufiq Ismail, Danarto, Slamet Sukirnanto, Hamsad Rangkuti. Rendra membaca puisi dalam pertunjukan yang berlangsung malam hari, di antara penampilan teater dari kelompok-kelompok setempat.

Saya ingat, dari tempat indah dan inspiratif itu lahir cerpen Hamsad Rangkuti yang berjudul “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” yang cukup “heboh” ketika dimuat Kompas. Saya sendiri menghasilkan beberapa puisi yang juga dimuat Kompas, antara lain: “Rambutmu, Herlina” dan “Kepada Annegret Nitzling”. Kedua puisi itu lahir sembari bercakap-cakap di warung tenda bersama Warih Wisatsana, Putu Fajar Arcana, Saut Situmorang, dan Medy Loekito.

Waktu itu saya berharap akan ada perkampungan seniman lagi yang tak hanya seminggu. Saya mendapatkan banyak kesan selama empat hari di Padang. Misalnya, sembari ngobrol dengan Gus tf, sosok dan wajah saya dilukis oleh Ipe Ma’aruf yang tangannya terlampau fasih menggaris outline manusia. Pada hari berikutnya saya jalan-jalan bersama Isbedy Stiawan ke rumah Yusrizal Kawe, menengok sanggarnya.

Tempat yang membuat saya keranjingan untuk difoto adalah Bukittinggi, tepatnya di sekitar Jam Gadang. Disebut gadang karena besar. Jam penanda waktu itu terletak di puncak menara yang atapnya berbentuk tanduk kerbau sebagai ciri khas bangunan tradisional Minang.

Apa yang aneh dengan Jam Gadang, ya? Oh, itu dia! Angka 4 Rumawi yang seharusnya ditulis seperti ini: IV, di lingkaran jam itu ditulis demikian: IIII. Tinggi menara itu 26 meter dengan denah dasar 13 x 4 meter. Hasil rancangan arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh itu dibangun pada tahun 1926. Uniknya, peletakan batu pertamanya dilakukan oleh bocah umur 6 tahun, putra pertama Rook Maker. Jam dengan diameter hampir satu meter itu merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota). Semula menara yang pembangunannya berbiaya 3000 Gulden itu berpuncak bulat dengan patung seekor ayam jantan nangkring di atasnya. Barangkali untuk menggambarkan simbol fajar dengan kokok ayam jago. Namun saat kemerdekaan diproklamasikan, atap itu diubah dengan langgam Minangkabau.

 Jam Gadang terletak di tengah taman, menjadi landmark kota Bukittinggi, dekat dengan Pasar Atas. Nama itu mengisyaratkan adanya Pasar Bawah. Tentu saja. Penghubung kedua pasar itu adalah tangga beton yang jumlahnya banyak, saya lupa berapa undakan, tapi pernah menghitung dan bahkan menulisnya dalam sebuah puisi.

Tak jauh dari taman itu ada sebuah kampus bernama Universitas Bung Hatta dengan patung wajah beliah terpajang di dekat pintu masuk. Di sisi lain Jam Gadang ada Hotel Novotel dengan nuansa biru, sampai interior kamarnya. Di grand ball room hotel itulah seminar sastra dilaksanakan. Salah satu pembicaranya saat itu adalah Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Separuh waktu saya gunakan untuk menghadiri seminar, bahkan sempat diwawancara jarak jauh oleh Arya Gunawan yang saat itu bekerja untuk BBC di London. Separuh sisa waktu, saya gunakan untuk nyelonong keluar dan jalan-jalan ke sekitar Jam Gadang bersama Sutan Iwan Sukri Munaf dan Viddy AD. 

Kami saling berfoto, lalu menyusuri pertokoan, mencari souvenir. Banyak penjual kerudung dan busana islami di kedai-kedai yang berderet. Banyak pula delman di sekitar itu sebagai transportasi jarak dekat. Beberapa bangunan Belanda di belakang Pasar Bawah digunakan untuk gudang-gudang. Karena hawanya sejuk, mentari yang bersinar cerah tak sampai membuat keringat membanjir, hanya titik-titik mirip embun di dahi dan kedua tangan.

Memang tidak sebesar Big Ben di London, tetapi memandang Jam Gadang di tengah taman itu seperti sedang menyaksikan menara waktu yang menjadi panutan para pejalan kaki yang alpa membawa arloji. Ia menjadi penunjuk waktu bagi kaum muslimin yang hendak menunaikan salat, atau bagi para pedagang kelontong yang hendak memperkirakan waktu istirahat bagi pegawainya.

Saya terkesan dengan warna-warni yang rancak di deretan kios, juga hiasan yang menandai rumah-rumah keluarga Minang. Jinga, hijau muda, biru langit, kuning terang, ungu dan nila, bertebaran dalam bentuk kerudung dan kebaya panjang. Merjan bersepuh emas, pelapis bakiak yang gemerlap, dan aksesoris, menarik minat para pengunjung kota untuk mendekat dan memilihnya sebagai oleh-oleh.

Dari ketinggian, di puncak tangga Pasar Atas, saya melihat seorang nenek sedang mendaki anak tangga perlahan-lahan. Apakah napasnya memburu? Apakah kedua kakinya akan loyo? Mungkin saya yang cemas berlebihan, karena ia pasti hampir tiap hari melewati jalan ini.

Ketika senja tiba, kami semua harus kembali ke Kayu Tanam. Kami tinggalkan menara waktu yang tetap tegak dalam latar langit lembayung. Kami beranjak dari tempat inspiratif ke tempat inspiratif yang lain.

Sepuluh tahun yang lalu, Pak Ali Akbar Navis, penulis cerpen sohor ”Robohnya Surau Kami”, masih afiat. Kami masih dapat berbincang dalam diskusi, juga dalam silaturahmi karya pada hari berikutnya. Saya juga ingat, ketika sarapan pagi dalam hujan, seorang mahasiswi sastra Universitas Andalas bernama Ummil Khalis bertanya: ”Bagaimana cara menulis puisi yang baik?” Rasanya ia harus menjadi orang Jakarta dan berkunjung ke Sumatera Barat yang elok.... tentu tak perlu bertanya lagi. ***

(Kurnia Effendi, untuk PARLe)