Monday, December 17, 2007

Obyek Yang Menggenang dan Berubah Warna

Keduanya, Ito Joyoatmojo dan Yani M. Sastranegara, menyajikan objek yang karib dengan air. Karena itu pula, pameran lukisan dan instalasi mereka berdua di O House Gallery diberi judul “Liquid”. Berlangsung sejak 3 Desember dan akan berakhir 6 Januari mendatang, pameran ini pantas dikunjungi tak hanya sekali.

Kurator Jim Supangkat kembali mengantarkan perupa yang berpameran di galeri milik Selamat & Bonny, sebagai karya kontemporer. Kali ini “memperkenalkan” cara melukis Ito yang unik dilihat dari sisi teknik yang ditempuhnya. Sejumlah lukisannya mengambil obyek pastoral, unsur alam dari sisi yang paling detail. Ada dua jenis obyek, pertama adalah flora (rumput, ilalang, tanaman rambat) dan kedua, air (sungai dan kolam ikan).

Ito justru tidak menggambar rumput dari jarak yang menawarkan panorama, atau sebuah tubuh sungai yang utuh dengan suasana di sekitarnya. Pilihannya sangat menarik karena ia melukis tanpa sentral daya pikat sebagai pusat komposisi (dalam tema tetumbuhan). Lukisannya tampil datar serupa wallpaper, dari jauh bahkan terlihat sebagai hasil printing tekstil. Setelah mata kita mendekat, barulah menyadari ada sapuan kuas yang sabar, tekun, cermat, dan menunjukkan sebuah proses yang prosedural. Tanpa bertanya kepada pelukisnya, kita akan tersesat pada dugaan bahwa ia menggambar dengan semangat pelukis Bali yang biasa menggarap rinci untuk lukisan alamnya.

Menurut pengakuannya, ia bekerja bukan sebagai pelukis yang menjerat inspirasi dalam pikiran kemudian mengekspresikannya berupa goresan dan warna. Dalam proses kreatifnya ini, ia justru “mengambil alih” cara kerja perajin atau tukang. Mari kita kita ketahui urutan ia bekerja. Mula-mula direkam obyek yang menarik hatinya dengan kamera digital. Hasilnya diproyeksikan dengan ukuran yang dikehendaki ke atas kanvas lalu diurai warna dengan sistem separasi. Gambar yang ditembakkan itulah yang kemudian dilukis.

Pertama, Ito menggambar dengan cat akrilik warna hitam encer, dengan sapuan kuas tipis. Selanjutnya ia akan menumpangi lukisan dasarnya itu dengan warna biru (cyan), merah (magenta), dan terakhir kuning. Ia benar-benar melakukan kronologi yang umumnya dilakukan oleh mesin cetak dengan sistem pemisahan warna.

Ketika ditanya soal durasi melukisnya, ia mengaku menggarap satu lukisan sepanjang rata-rata dua minggu. Dan tidak secara paralel, karena ia selalu menyelesaikan satu per satu, kecuali saat menggurat kontur hitam sebagai babak pertama memindahkan foto dari media LCD. Apa tujuan dari melukis yang relatif baru digiatkan kembali setelah lama istirahat? “Bagi saya, melukis sebagai bentuk klangenan. Saya rindu ingin melukis, lalu mencoba teknik seperti ini. Tentu dibutuhkan kesabaran. Tetapi, ya, memang saya bukan sedang mengejar target tertentu.”

Mengenai tema air yang diangkatnya, ia bercerita perihal obyeknya. “Sungai Limmat di Swiss, tempat saya bermukim belasan tahun, itu unik. Di sana matahari berada di salah satu sisi Bumi dan putarannya memengaruhi warna air sungai itu. Saat pagi hari, wajah sungai itu kehijauan. Ketika menjelang siang, airnya berubah biru, sedangkan senja membuat permukaan sungai terlihat coklat lembayung.” Nah, warna-warna air itulah yang dilukis oleh Ito melalui satu bingkai foto.

Benar yang dilukis adalah benda atau obyek realis, namun hasilnya tampak abstrak, meskipun pendekatan yang diambilnya adalah memindahkan kenyataan. Gelombang dan riak air, kemilau warna-warna akibat sinar matahari, dan tekstur atas perubahan tak terduga dari sifat air yang bergerak, membuat lukisan itu seolah abstrak. Pada kolam yang dihuni oleh ikan-ikan pun, Ito melukiskannya secara natural dan hasilnya adalah gerakan ikan yang memangkas arus air dan warna yang terburai karenanya.

Pelukis yang lahir 1958 dan tumbuh di Jakarta itu bekerja di bidang advertising di Swiss sejak tahun 1987. Pamerannya yang pertama berlangsung tahun 1978. Melihat kilasan sejarah melukisnya, ia sempat berganti-ganti gaya. Para senior yang pernah membimbingnya antara lain pelukis Kusnadi, Danarto, dan Nashar.

Dalam galeri yang sama, Yani M. Sastranegara memamerkan tiga karya instalasi yang semuanya terletak di luar ruangan. Ketiganya menyampaikan judul “Endless”, tiada akhir, sebagai serial yang berusaha mengungkapkan perlambang keabadian dari sudut pandang yang berbeda. Tujuh tabung keramik yang dipecahkan pada bagian atasnya lalu direkat kembali dengan menyisakan celah-celah, ditanam di atas kolam. Apakah Yani bermaksud mengatakan bahwa untuk mencapai kesempurnaan kita harus berjuang habis-habisan bahkan melalui remuk-redam sekalipun. Instalasi yang lain, “Endless 1”, yang pernah dipamerkan tahun 2002, adalah serpihan berwarna perak masing-masing setengah genggam, berjumlah ratusan tergantung dalam irama jarak dengan tanah. Dan yang sungguh menarik adalah sajian berupa batu apung buatan yang berserak di atas kolam biru. Batu-batu besar dan kecil yang tak dapat dibedakan dengan batu asli, mengambang dalam komposisi yang (mungkin berubah oleh hembusan angin atau gelombang air, namun) terasa menghadirkan suasana hening. Dalam gumpalan bintang yang tak sampai menyentuh Bumi itu, ada warta tentang jarak yang tak kunjung sampai. Sedangkan pada susunan batu apung seperti ingin menunjukkan betapa ada sifat yang melawan kodrat: benda padat yang masih sanggup disunggi oleh tenangnya air.

Yani lulusan LPKJ Jurusan Seni Patung tahun 1981. Ia berasal dari Banten namun menghabiskan masa kecilnya di Sumatera Utara. Sejak 1982 kerap mengikuti pameran karya patung bersama di Jakarta dan kota-kota lain. Atas dorongan Jim Supangkat, ia mulai menggarap dan memamerkan karya instalasinya tahun 2002, yang mempersoalkan pertumbuhan.

(Kurnia Effendi)