Peluncuran dan Diskusi "Sukma Silam"
Seorang pegawai negeri Departemen Keuangan meluncurkan buku antologi puisi. Heran? Kenyataannya demikian. Walaupun sehari-hari bergaul dengan pekerjaan yang bersifat “finansial”, toh benak dan perasaannya tak bisa dipisahkan dengan “badai kata-kata”, istilah yang digunakan sang penyair dalam menyebut inspirasi.
Bernama Budhi Setyawan, lelaki yang telah berkeluarga dan memiliki dua orang anak itu, adalah penyair yang telah menerbitkan tiga buah buku antologi puisi. Ia lahir di Purworejo Jawa Tengah pada tahun 1969.
Sukma Silam adalah bukunya yang ketiga setelah dua buku sebelumnya di tahun 2006, yakni Kepak Sayap Jiwa dan Penyadaran. Buku Sukma Silam diluncurkan di Pusat Dokumentasi HB Jassin pada Sabtu, 1 Desember 2007 jam 14:00 oleh Komunitas Meja Budaya. Kelompok diskusi yang dimotori oleh Martin Aleida dan Syahnagra itu yang secara rutin (dua pekan sekali setiap Jumat sore) menggelar acara pembahasan buku sastra dan cabang seni budaya lainnya. Berisi 90 puisi, Budhi Setyawan menggarap tema cinta, kemanusiaan, dan spiritual.
Pembicara yang dipilih dalam diskusi setelah launching adalah
Selain diskusi, tampil membaca puisi antara lain Dharmadi (penyair angkatan 70-an), Pudwianto Arisanto, dan Endang Supriyadi (keduanya penyair anggota KSI). Meskipun acara dikemas sederhana, cukup banyak yang hadir. Berbagai komunitas sastra seperti Apresiasi Sastra (Apsas), Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ), Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas BungaMatahari (BuMa), memenuhi ruangan berkapasitas 100 orang. Oleh karena itu pantaslah jika pada sesi tanya jawab terbangun suasana yang cukup hangat.
Kendati sudah menjadi isu basi, namun antara ungkapan yang vulgar dan yang simbolik dalam karya puisi masih diperdebatkan. Siapa lagi jika bukan Binhad Nurrohmat yang mencuatkan dan segera menda
Budhi Setyawan menyerahkan buku barunya kepada beberapa pihak, antara lain perpustakaan, komunitas sastra, dan medi massa. Usai acara masih ada perbincangan yang memanjang, sebagaimana yang kerap dilakukan oleh tokoh-tokoh sastra. Pembicaraan informal, di luar forum, selalu lebih panas dan melahirkan gagasan ‘
(
0 Comments:
Post a Comment
<< Home