Friday, December 21, 2007

NASIHAT

Sepenting apa nasihat bagi saya, dapat dilihat dari pandangan-pandangan yang tidak terletak pada sudut egosentris. Ketika saya ingin otoriter dan merasa seluruh keputusan yang saya terbitkan adalah absolut, berbekal ilmu dan pengalaman selama ini, boleh jadi menghasilkan sebuah ketegasan yang dapat diterima. Salah atau benar adalah urusan belakang, karena pada dasarnya kesalahan itu manusiawi. Ditilik dari sejarahnya yang paling awal, bukankah manusia berada di Bumi karena sebuah kesalahan?

Persoalannya, adakah manajemen pemerintahan yang absolut dan tidak demokratis sanggup bertahan lama? Adakah sebuah kepemimpinan usaha bersama yang abai terhadap pendapat orang lain mampu tegak bertahun-tahun? Mungkin perlu kita ingat kembali sebuah peribahasa bahwa di atas langit masih ada langit. Dengan pemahaman bahwa tiada seorang pun memiliki kecerdasan dan penguasaan atas segala hal, tentu akan menghemat kerugian dari kehancuran yang mungkin tak termaafkan.

Itu sebabnya, jika harus mengambil contoh legenda atau dongeng, Baginda Raja Harun Al-Rasyid memiliki tokoh komikal bernama Abunawas yang cerdik dan jenaka untuk memberikan pertimbangan dalam memutuskan sesuatu perihal negara dan rakyat. Itu sebabnya keluarga Pandawa dibayang-bayangi oleh Punakawan yang tak lain merupakan penjelmaan dewa untuk menghibur dan memberi arah perjalanan hidup mereka. Oleh contoh-contoh yang tak ternafikan itu, barangkali, seorang presiden di Indonesia, dari periode ke periode selalu memberikan tempat bagi jabatan penasihat. Istilah Dewan Pertimbangan Agung merupakan “pakaian” yang terhormat bagi pemberi nasihat.

Belum lama, saya membaca sebuah wawancara di majalah wanita, ada seorang direktris yang kariernya tidak lepas dari nasihat “ajaib” sang suami. Atau sebaliknya, banyak pejabat tinggi yang secara tidak langsung gerak-lajunya “dikendalikan” oleh nasihat istrinya. Tentu saja nasihat yang benar, bukan yang diam-diam menjerumuskan.

Nasihat memang sangat luas makna dan operasionalnya. Di masa kerajaan berabad-abad silam, posisi penasihat biasa diletakkan pada pundak seorang yang “weruh sakdurunge winarah”, tahu sebelum kejadian. Saya tidak tahu persis, apakah Ki Ageng Joyoboyo dan Ki Ronggowarsito berperan sebagai penasihat raja. Namun serat yang pernah dituliskan seolah menjadi ramalan yang terbukti satu persatu melalui kejadian.

Seorang anak tentu memerlukan nasihat dari orangtuanya. Pengalaman orang tua yang sudah lebih dulu melihat dan merasakan kehidupan akan sangat berharga sebagai bekal anak-anaknya yang mulai melangkah dalam kancah kehidupan. Tujuannya tentu agar tidak terulang kesalahan masa lalu, agar tak perlu terperosok untuk kedua kali. Syarat apa yang harus dimiliki oleh orang tua supaya nasihatnya dapat diterima dan dituruti? Sederhana sekali. Mereka harus melakukan hal-hal yang dianjurkannya. Bahkan, dengan keteladanan, nasihat itu tak perlu diucapkan. Contoh perilaku, cara berpikir, tindakan saat menghadapi masalah, adalah nasihat yang tinggal ditonton oleh anak-anaknya. Lantas bagaimana jika ada sejumlah orang tua yang terjelungup dalam, katakanlah kasus narkoba, akan menjadi “penasihat” bagi putra-putrinya?

Di era Orde Baru pernah semarak kata “mohon petunjuk” dari para direktorat jenderal kepada menteri, atau dari menteri (ah, kita tahu siapa yang paling sering mengucapkannya dulu) kepada Pak Presiden. Petunjuk yang diharapkan tiada lain adalah nasihat. Nasihat yang mungkin di balik forum terbuka pernah dibicarakan lebih dulu, sehingga ketika berada di muka umum tampak pikiran brilian sang pemimpin melalui nasihat atau petunjuk yang dilisankan. Bagaimanapun itu cara menjunjung tinggi kehormatan orang yang kita pilih sebagai pemimpin. Walaupun di zaman berabad lampau, keluarga darah biru sering meminta petunjuk justru pada emban dan abdi dalemnya, secara informal, saat melulur tubuh langsat sang bendara.

Kini, ketika sebuah kota tumbuh dengan budaya yang meninggalkan keseimbangan alam, muncul banyak akibat negatif. Penduduk kota rela untuk kehilangan hak memiliki kesehatan lahir batin demi kecintaannya terhadap materi. Tekanan kebutuhan ekonomi, friksi antarteman sejawat di kantor dalam mengejar ambisi jabatan, tuntutan penguasaan teknologi dan piranti modern agar tak ketinggalan zaman, kesigapan mengikuti perubahan mode dari hari ke hari, bombardir berita kriminal dan gosip selebriti yang menggoda rasa ingin tahu terhadap privasi orang lain, kemacetan lalu lintas yang menjadi beban lahir dan batin karena selalu kehilangan waktu untuk hal ang sia-sia, dan seterusnya; telah berhasil membuat jiwa kita “terganggu”. Stress, cemas, paranoid, takut, disorientasi, dan seterusnya; menjadi penyakit yang paling banyak singgah pada masyarakat kota.

Apa yang mereka butuhkan untuk sekadar menyeimbangkan diri? Penasihat! Dalam hal ini, penasihat itu bisa seorang psikolog, psikiater, rohaniwan, dokter, guru bimbingan dan penyuluhan, petugas customer satisfaction, konsultan ini-itu… Atau bisa juga seorang teman yang kita yakini dapat memberikan rasa sejuk ketika kita adukan persoalan. Tetapi kalau persoalan yang mengganggu adalah perkara rumah tangga, sebagai seorang perempuan sebaiknya tidak curhat (mencurahkan isi hati) kepada teman laki-laki. Entah kenapa, kejadian berikutnya bukan jadi lebih baik tetapi justru semakin runyam dan berbahaya, haha…

Begitu pentingnya seorang penasihat, sampai-sampai setiap organisasi dan susunan panitia selalu menyediakan ruang jabatan bagi orang yang bertugas memberi petunjuk dan arahan. Agar nasihat tidak terasa menggurui atau datang dari arah yang selalu memusat, dibuat dalam bentuk yang lebih egaliter. Misalnya dengan cara diskusi atau brainstorming. Proses tukar pikiran akan menghaluskan kesan memberi nasihat karena sesungguhnya yang terjadi adalah “saling menasihati”. Demokrasi, sebuah kata lain, yang memungkinkan diterimanya pendapat seseorang dalam sebuah forum. Pendapat yang disarankan adalah nasihat yang mengejawantah.

Sepenting apa nasihat bagi saya, tergantung dari rasa ikhlas saya membuka hati selebar-lebarnya untuk mengakui kelebihan orang lain. Dulu mungkin, ketika SD, merasa paling pintar di kelas. Kini, sesungguhnya, saya telah banyak kehilangan waktu untuk mengetahui dan mengalami semua hal yang terjadi di dunia. Dan memang tidak perlu melakukan semua hal. Jadi, jika saya bingung menentukan langkah atau keputusan yang harus saya ambil, saya akan minta nasihat. Barangkali itu terdengar cukup bijak.

(Kurnia Effendi untuk Rehat)

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home