Wednesday, December 12, 2007

Pasar Terapung

Seusai makan malam, sembari menikmati sebatang rokok sosialis (maksud saya, merokok hanya untuk menyemarakkan pergaulan), di sebuah rumah makan yang mewah, obrolan mengarah pada pasar terapung di atas Sungai Barito. Ketika itu (pertengahan tahun 2004) saya sedang bertugas ke Banjarmasin, kesempatan yang kedua. Saya masih punya waktu 2 hari lagi, dan terpikir sesuatu.

”Saya mau ke sana, bagaimana caranya?”

Dua teman makan malam itu berebut memberi tahu. Tapi syarat pertama ternyata: ”Bisa bangun jam 4 pagi?”

Syarat yang tidak terlalu berat bagi saya. Walaupun saya begadang hingga lewat tengah malam, toh wajib bangun pagi untuk salat subuh. Jadi, dengan antusias, saya sanggupi modal pertama itu.

”Besok jam 4 saya jemput ke hotel, ya. Pasar itu akan selesai sekitar pukul 6, jadi harus melihat saat sedang ramai-ramainya.”

Sepakat! Dengan demikian, malam itu tidak berlanjut ke diskotek, karena tuan rumah yang hendak mengantar saya ke pasar terapung tentu harus bangun lebih pagi. Sangat menguntungkan karena saya tidak gemar diskotik dan kebetulan saya membawa novel untuk dibaca di hotel.

Ternyata jam 4 belum waktu subuh, jadi keberangkatan pun digeser sampai setengah lima. Mungkin lantaran jalanan becek sehabis hujan di kampung sepanjang sungai itu gelap atau telah lama mereka tidak ke tempat itu, kami kesulitan mencari gang untuk masuk ke ”dermaga”. Namun akhirnya ketemu juga. Gairah untuk segera terlibat dengan kesibukan pasar itu tak mengabaikan ”tradisi” mengambil gambar dengan kamera foto. Jeprat-jepret narsis, haha, seperti biasa.

Teman saya, Johansyah, segera menawar sebuah perahu untuk perjalanan kami. Desir angin dini hari yang membawa khas aroma sungai menyentuh relung hidung. Perahu perlahan menuju ke tengah arus sungai yang lebar itu. Tepian di seberang tampak jauh dan masih dalam rundungan gelap. Namun ada deru mesin yang berisik di atas sungai.

”Itu kapal tanker, pengangkut minyak,” kata Johansyah. Saya melihat samar-samar seonggok besi cokelat yang tampaknya menyeramkan, bergerak acuh tak acuh membelah gelombang sungai serupa monster.

Mesin perahu dinyalakan dan berayun-ayun lajulah kami berempat (dengan si tukang perahu) menuju tengah sungai. Tujuan kami hanya satu, Pasar Terapung. Kami meluncur tak sendirian, karena ada perahu-perahu pedagang yang bergerak ke arah yang sama. Di tubuh perahu mereka tentu saja teronggok macam-macam barang dagangan, ada yang spesifik, namun ada pula yang rupa-rupa.

Sambil menempuh perjalanan menuju pusat keramaian, Johansyah sempat merapat ke arah perahu yang menjual hasil sungai. Ternyata mereka baru saja meraup udang-udang segar. Johansyah memilih yang besar-besar, ditimbang, lalu di bayar. Kami melaju lagi.

Sebuah perahu yang berisi onggokan buah rambutan kami hampiri. Transaksi kembali terjadi, lalu beberapa gerumbul rambutan manis itu berpindah ke perahu kami. Pagi-pagi buta makan rambutan? Mudah-mudahan tidak bermasalah dengan perut kami yang masih kosong karena hotel pun belum menyiapkan sarapan sepagi itu. Sementara saya lupa minta diantar breakfast ala Amerika, roti atau apel yang mudah dibekal.

”Kita akan sarapan soto Banjar, di depan sana.” Johansyah menghibur.

”Berarti kita akan menepi dulu?”

”Kenapa harus menepi? Kita makan di restoran terapung juga.”

Ahai! Bagi orang Banjar atau pelanggan Pasar Terapung tentu sudah biasa. Bagi saya ini pengalaman baru. Demikianlah, kami akhirnya masuk ke tengah keramaian. Berderet jukung (istilah Banjar untuk menyebut perahu) dengan para pedagang ibu-ibu setengah baya, berkebaya dan rambutnya ditutup selendang, sibuk berjual-beli. Mereka menjual sayur-mayur, segala jenis ikan, buah-buahan, hasil bumi lain, serta barang kelontong kebutuhan rumah tangga. Jukung saling bersentuhan, berdesakan, sungguh merupakan suasana yang khas. Bagi pembeli yang jaraknya jauh, berantara dengan jukung-jukung lain, pedagang menggunakan galah untuk mengangsurkan barangnya.

Berbeda dengan pasar daratan, pasar terapung tidak memiliki organisasi. Pemerintah Daerah juga tidak menetapkan peraturan resmi terkait pajak, karena dianggap belum memberikan pendapatan yang baik dan tetap. Apalagi, salah satu yang unik, masih bertahan di antara mereka yang melakukan perdagangan secara barter atau dalam bahasa Banjar dinamakan bapanduk.

Terlalu jauh bila membandingkan obyek wisata Pasar Terapung di Sungai Barito dengan Venesia di Timur Dunia, meskipun keduanya memiliki potensi wisata sungai. Sungai di Banjarmasin masih tampak keruh dan tepiannya kotor oleh sampah. Di sepanjang pinggir sungai banyak ditemui rumah-rumah terapung yang disebut rumah lanting, yang berayun-ayun dimainkan gelombang.

Menurut informasi, daerah Kuin merupakan pusat permukiman waterfront village, berderet di sisi sungai dianggap memiliki daya tarik bagi wisatawan, baik alam maupun budaya. Kehidupan masyarakatnya memang erat dengan kehidupan sungai, seperti pasar terapung dan perkampungan tepian sungai dengan gaya arsitektur tradisionalnya. Hilir mudiknya aneka perahu tradisional bermuatan barang dagangan menjadi atraksi menarik bagi wisatawan.

Di kawasan Kuin sebenarnya kita dapat mengunjungi Masjid Sultan Suriansyah dan Komplek Makam Sultan Suriansyah, juga pulau Kembang, pulau Kaget, dan pulau Bakut. Di sana terdapat kerajinan ukiran untuk ornamen rumah Banjar. Tapi saya cukup menikmati kesibukan pasar yang perlahan menjadi sepi, satu per satu undur diri, ketika matahari mulai naik.

Perahu kami menuju ke ”restoran” yang ternyata juga sebuah perahu dengan jangkar terkait ke dasar sungai. Ketika jarak mulai dekat, seutas tambang dilempar oleh pemilik perahu kami yang kemudian diikat dengan tiang perahu makan itu. Ada semacam tenda yang menutupi tempat makan, seperti warteg, dengan meja kayu memanjang di separuh tepi perahu. Pelanggan bisa makan dan minum di perahu restoran itu.

Saya pesan soto banjar. Bersantap kami dengan nikmat. Belum tandas sepiring, mulai banyak tingkah. Saya ingin difoto saat makan di resto terapung itu, lalu pindah ke perahu kami dan difoto lagi. Mumpung langit mulai terang disepuh surya pagi. Dan sekali waktu, Johansyah yang makan dan memotret dari atas atap tak dapat mengendalikan piring yang ditaruh di permukaan seng. Saat ombak sungai terdorong oleh kapal pembawa ubi dan kelapa yang lewat, perahu pun oleng. Meluincurlah piring dengan separuh ketupat berkuah itu masuk ke kapal restoran, terjun ke lantai kayu.

Tertawalah kami. Lalu Johansyah pesan sepiring lagi. Kegembiraan itu seperti awet terbawa hingga kembali ke hotel. Bahkan saat saya akan terbang pulang ke Jakarta esok harinya, masih ada sisa kenangan Pasar Terapung itu: ternyata Johansyah sengaja membeli udang-udang segar itu untuk oleh-oleh saya. Sudah dikupas dan tersimpan dalam termos es. ”Janganlah lupa dengan Pasar Terapung!”

Tentu tidak. Tentu tidak. ***  

(kurnia effendi untuk parle)

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home