Wednesday, January 30, 2008

Menara Kudus

Salah satu obyek wisata di kota Kudus sekaligus tujuan para peziarah, adalah Menara Kudus. Tepatnya masjid Menara Kudus. Beberapa kalangan menyebutnya sebagai masjid Al Aqsa atau masjid Al Manar. Menurut riwayat, masjid itu dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah. Batu pertamanya berasal dari Baitul Maqdis di Palestina, yang ditanam di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Di balik masjid yang telah dipugar dan dikembangkan arsitekturnya itulah terdapat makam Sunan Kudus.

Untuk kedua kalinya saya berkunjung ke tempat itu. Kali ini bersama seorang sahabat, Gangsar Sukrisno, dari Bentang Pustaka Yogya. Jalan menuju ke sana tidak terlalu lebar. Lima ratus meter menjelang Menara Kudus, yang menempati kawasan perempatan padat itu, terasa eksotik. Persis di tepi jalan, bangunan berbentuk unik serupa candi namun tersusun dari batu bata merah, berdiri megah setinggi 18 meter. Tampak perpaduan unik antara budaya Islam dengan budaya Hindu Majapahit.

“Bata demi bata itu disusun tanpa semen,” ujar Lisa Karlina, pemandu cantik yang mengantar kami ke dalam lingkungan masjid.

“Bagaimana bisa tertata rapi dan tak berlepasan hingga hari ini?”

“Ditempel dengan putih telur,” Lisa menjelaskan dengan senyum manis terkulum.

Ajaib! Berapa kwintal telur ayam dibutuhkan untuk itu? Tapi memang selalu ada cerita seru dan luar biasa di balik petilasan yang awet hingga abad sekarang. Seperti halnya sejarah Joko Tingkir di kawasan Demak. Kedung Srengenge di Sungai Lusi benar-benar ada, berupa palung yang mengandung pusaran air. Konon di sungai itu sang pendekar menyeberang dengan jembatan berupa 40 punggung buaya.

Seperti halnya Demak, Kudus juga patut disebut kota wali. Bahkan ada dua sunan. Sunan Kudus (yang bernama asli Ja’far Shodiq) dan Sunan Muria. Terik matahari dan cuaca panas yang menyengat kota Kudus tidak mengurangi minat para penziarah untuk datang ke tempat peristirahatan terakhir Sunan Kudus. Termasuk saya yang tak hendak melewatkan kesempatan untuk melihat kegiatan yang berlangsung di dalam sana.

Komplek permakaman di belakang masjid itu ramai oleh orang-orang yang berdoa mencari berkah. Terlepas dari tuah-tuah itu, memanjatkan doa untuk sang leluhur memang sangat dianjurkan. Lantai bersih mengilat di sekeliling makam utama. Kelambu dan kain luwur masih berwarna putih bersih.

“Setiap tanggal 10 Syuro, kain luwur itu diganti. Kain yang lama biasanya menjadui rebutan karena dipercaya mendatangkan rizki bila disimpan.” Lisa kembali menjelaskan.

Suara orang-orang, lelaki perempuan, juga anak-anak, melafalkan ayat-ayat Al-Quran dengan khusyuk. Saya melepas sandal sejak dari gerbang permakaman, mengelilingi makam utama untuk mengambil gambar suasana. Tidak ada larangan  memotret. Penggunaan pengeras suara memang tidak boleh. Jadi, suara yang berdengung membaca doa itu merupakan suara orisinal para pengunjung yang bersimpuh di lantai. Di sekitarnya tampak sejumlah makam para pangeran keturunan Sunan Kudus.

Saya tak berlama-lama di dalam, karena masih akan membagi waktu untuk berkunjung ke tempat lain sebelum meninggalkan kota Kudus yang juga terkenal dengan jenang dan rokok kreteknya. Sebelum benar-benar pergi, kembali saya melihat-lihat menara dan masjid. Di beranda masjid tampak sebuah pintu yang terbuat dari kayu jati berukir, namun tertutup rapat.

“Bapak punya jabatan, nggak?” tanya Lisa begitu melihat saya tertarik hendak naik ke lantai masjid.

“Kenapa?”

“Jika bapak melewati pintu itu akan lengser,” ujarnya serius, tapi tetap dengan rona muka yang sumringah. Ah, lesung pipinya itu!

“Saya hanya karyawan kecil saja, jangan-jangan malah naik pangkat kalau masuk lewat pintu itu.” Saya menanggapi dengan bercanda. “Lalu para bupati atau gubernur kalau mau salat lewat mana?”

“Ada jalan lain, bisa dari samping.”

Sebenarnya, menara bata merah itu memang agak aneh berdiri di sisi masjid yang memiliki sepasang menara langsing menjulang. Tetapi dahulu kala tentu ada maksud Sunan saat membangunnya di atas dasar 100 meter persegi. Elemen bangunan bergaya Jawa-Hindu, mulai dari struktur sampai motifnya. Terdapat pula selasar yang disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang umumnya menjadi ciri khas candi.

Bagian kepala menara berbentuk bangunan beratap dua lapis tajuk dengan konstruksi kayu jati yang ditopang empat saka guru. Di puncaknya terdapat semacam mustaka (kepala) mirip atap tumpang pada masjid-masjid tradisional Jawa. GH Pijper dalam buku The Minaret in Java (1947) menilai ada unsur struktur bangunan Hindu Jawa pada menara itu. Bahkan dianggap ada kesamaan dengan kuil-kuil atau pura Bali oleh AJ Bernet Kempers (1953). Fungsi dari menara itu, menurut penelitian Pijper, adalah untuk tempat mengumandangkan azan.

Ahli purbakala NJ Krom sebaliknya menyebutkan bahwa Menara Kudus bukan bangunan candi walaupun bercorak seperti candi, karena dibangun pada zaman maraknya Islam di Jawa. Memang pada ragam hiasnya tidak menunjukkan adanya corak penggambaran makhluk hidup.

Beduk dan kentongan diletakkan di pendopo di bagian kepala menara. Ini terasa sangat unik dan bahkan tak lazim. Umumnya beduk berdiri di pendopo masjid agar mudah dijangkau untuk dipukul saat masuk waktu salat. Hal unik lain pada kompleks masjid itu terdapat pada ruang wudu yang juga disusun dari bata merah. Pancurannya berbentuk kepala arca berjumlah delapan buah. Bukankah itu dekat dengan falsafah Buddha? Asta Sanghika Marga (delapan jalan utama) yang merujuk pada: pengetahuan, keputusan, perbuatan, cara hidup, daya, usaha, meditasi, dan komplementasi.

Di Kudus, sampai kini, lebih umum daging kerbau untuk dikonsumsi dibanding sapi. Rupanya hal itu pun dipengaruhi oleh tradisi Hindu yang mengagungkan binatang sapi. Walaupun kini muslim sudah dominan, masih ada yang menolak penyembelihan sapi yang konon merupakan warisan Sunan pencipta gendhing ”Mijil” dan ”Maskumambang” itu.

Tak terasa kami telah melewatkan lebih dari satu jam di kawasan Menara Kudus. Siang yang kering membuat suhu panas itu menyengat kulit. Kami pun pamit pada Lisa, mantan Duta Wisata 2004 yang tetap memilih Kudus sebagai tempat tinggal dan bekerja.