Friday, January 04, 2008

Cafe Ragusa Anno 1932

Liburan akhir tahun tiba dengan musim yang tak ramah. Ketika saya dengar desas-desus bahwa bertepatan dengan Hari Natal akan terjadi angin puting beliung dan laut kembali pasang naik, ada rasa kecut dan was-was. Rasanya Bumi sedang membalas dendam kepada kita.

Menjelang hadir ke pesta pengantin sahabat, Bagus Takwin dengan Shanty, Yusi Pareanom memberi saya sebuah buku komik terbitan Banana: Si Lorax. Membaca sekilas kisah penebangan hutan trufula secara membabi-buta, memperkuat dugaan, bahwa alam sedang “sakit hati” terhadap manusia.

            Tapi musim tak mungkin dibujuk, iklim sulit dikendalikan, dan cuaca menjadi hak azasi sang alam. Manusia yang membekali diri dengan ilmu pengetahuan, belajar dari alam, ternyata sebagian besar mengkhianati alam. Si Lorax, dalam komik karya Dr. Seuss, berbicara dan protes mewakili pepohonan. Komplain kerasnya tak didengar oleh Pak Konon, yang mewakili gambaran manusia tamak, karena kapaknya telah membuat hutan trufula gundul. Seluruh satwa di dalamnya, diwakili binbulat (binatang berbulu cokelat), angsa, dan ikan-ikan gumam; menyingkir ke tempat lain atau musnah. Komik lingkungan hidup itu mungkin tak akan memengaruhi suhu udara dan dampak buruk kerusakan Bumi. Upaya menerbitkan buku yang ditujukan bagi anak-anak itu patut dihargai sebagai catatan atas “kehancuran” lingkungan.

            Anak-anak dan cucu-cucu boleh dianggap generasi sial karena Bumi yang diwariskan oleh orang tua mereka sudah tak sehat lagi. Saya sebagai orang tua yang tak bisa berbuat lebih banyak untuk menyelamatkan alam, hanya mampu untuk mengajak belajar hemat. Belajar menghargai usaha orang lain. Belajar merawat benda-benda yang kami miliki. Ketika saya hendak mencuci mobil, mereka bilang: “Nanti hujan lagi. Mobil akan kotor lagi. Percuma, kan?”

            Mungkin pendapat mereka benar. Tapi saya katakan bahwa kendaraan yang telah berjasa membawa kita ke mana-mana dan juga untuk bekerja mencari uang harus disayang. Ia pasti juga punya “perasaan”, kalau dibiarkan kotor dan bau, akan “sedih” sepanjang perjalanan. Jadi akhirnya mencuci mobil diagendakan, setelah menonton pameran karya seni di Galeri Nasional dan makan siang. Sayang sekali, agenda berkunjung ke Museum Gajah tidak kesampaian karena tutup oleh libur bersama yang dianjurkan pemerintah untuk pegawai negeri sipil.

            “Makan di mana kita?”

            Banyak pilihan sebenarnya, beberapa usulan muncul dari anak-anak. Kami baru saja keluar dari kawasan Gambir dan kecewa oleh museum yang tutup, jadi mencoba mengingat tempat makan yang dekat.

            “Di Jalan Veteran sebenarnya ada tempat es krim yang enak. Legendaris sejak zaman Belanda,” kata saya sambil mencari jalan untuk menuju ke sana. Lupa-lupa ingat.

            “Asyik, kita minum es krim,” seru si bungsu.

            “Iya betul, itu terkenal dari zaman dulu, kata temanku,” sambut si sulung.

            Saya pun mencari akses ke Jalan Veteran I, memutar ke arah Juanda dan kembali masuk ke kawasan Medan Merdeka. Ketika masuk ke jalan yang tak terlampau besar, tampaklah deretan mobil. Mula-mula terlihat Gudeg Bu Tjitro, kemudian Mie Menteng… di mana letak warung es krim itu? Dari jauh tukang parkir sudah melambai-lambai menawarkan tempatnya.

            Saya membuka jendela dan bertanya: “Pak, es krim yang terkenal itu di mana?”

            “Benar di sini. Parkir saja. Yang ada sate ayam itu, masuk saja ke dalam, tempat es krim.”

            Ah, benar! Ragusa Es Italia.

Kami masuk ke restoran ”kuno“ yang di dalamnya tersedia kursi-kursi rotan dengan masing-masing meja bundar kayu warna cokelat tua. Begitu sederhana, bertahan dengan gaya lama. Tidak ada aksesoris yang menunjukkan citra modern. Sejumlah foto dengan bingkai besar dalam tampilan hitam putih, merupakan informasi kepada pengunjung tentang sejarah Café Ragusa dari masa ke masa dan sosok keluarga pemiliknya. Hiasan lempeng tembaga dengan tekstur ukiran hanya dalam satu warna: hitam; tertempel di antara foto-foto.

Di masa lalu, tahun 1930-an, es krim dijual hanya dalam kurun satu bulan setahun sekali, persisnya saat Pasar Gambir menyelenggarakan pasar malam. Luigi dan Vicenzo bersaudara yang berasal dari Italia adalah pemilik usaha es krim lezat itu. Ketika peminat semakin banyak, tahun 1947 mereka memutuskan mengganti gerobak dorong dengan membuka kedai permanen di Jl. Veteran. Café Ragusa, itulah namanya.

Dalam sebuah dokumentasi perayaan pasar malam, tahun 1930-an, tampak para tamu dalam paras riang, menikmati hidangan dan pertunjukan musik. Ada yang sedang berdansa, di sana-sini kelihatan mereka tertawa-tawa, dengan setelan busana perlente dan necis. Semarak sungguh.

Saya dan kedua anak saya meminta daftar menu. Saat menikmati es krim pilihan kami, seorang pengamen dengan suara merdu menghibur kami. Tentu jauh berbeda dengan suasana tahun 40-an dulu, namun lagu The Bee Gees cukup mewakili masa lalu: To Love Somebody...

            Sedapnya es krim tanpa bahan pengawet! Konon sampai sekarang selalu membuat menu untuk habis di hari yang sama. Cerita romansa pedagang es krim itu bermula saat adik bungsu Luigi jatuh cinta dengan kasir pribumi. Mereka berdua kemudian yang meneruskan usaha di Indonesia yang sudah merdeka. Kakak sang kasir, Buntoro, diajak serta bergiat di Ragusa. Kini, Buntoro dan istrinya, Sias Mawarni, yang justru aktif menjalankan Cafe Ragusa. Bahkan tahun 1976 mereka membuka cabang di Duta Merlin. Selanjutnya kita dapat menemukan rasa es krim Ragusa di Ratu Plaza, Slipi, dan Klender.

            Ada menu yang tampaknya khas menunjukkan keitaliannya: Spaghetti Ice Cream. Rupanya itu es krim yang disajikan dalam bentuk mirip spaghetti bertaburan coklat di tengahnya. Sajian yang lain terbagi atas reguler flavored: Mocca, Vanilla, Chocolate, Strawberry, dan Nougat masing-masing seharga 10 ribu. Ada premium flavored: Durian dan Rum Raisin masing-masing 13 ribu rupiah. Untuk mixed flavored harganya berbeda-beda. Coupe de Maison Rp. 16.000,- Tutti Frutti dan Cassata Siciliana masing-masing Rp. 21.000,- Banana Split dan  Spaghetti Ice Cream masing-masing Rp. 26.000,-

            Walau tak sampai penuh sesak, tampaknya Cafe Ragusa memiliki pelanggan yang fanatik. Satu di antaranya Pak Habibie, mantan Presiden Indonesia yang ketiga. Pak Habibie kerap berbuka puasa Senin-Kamis dengan es krim rasa moca kesukaannya sejak menjadi menteri dulu. Saya dan anak-anak tentu akan berulang-ulang datang kemari juga.

(Kurnia Effendi, untuk Parle 119)

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home