Monday, January 07, 2008

Meneropong Masa Depan FTJ

Festival Teater Jakarta (FTJ) sudah berlangsung sejak 20 Desember sampai hari pamungkas tahun 2007. Agenda rutin tahunan ini dijalankan oleh Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dari periode ke periode kepengurusan. Tahun ini mengusung tema ”Realitas dan Panggung Teater”. Tahun depan, seperti yang disampaikan saat siaran pers, tampaknya ada yang hendak berubah.

Pada acara jumpa pers itu, muncul gagasan dari Komite Teater DKJ untuk mengubah “rasa” festival di tahun depan. Dalam pembicaraan berikutnya dengan Arswendy Nasution selaku Ketua Komite Teater, di tahun 2008 nanti dibuka kesempatan bagi peserta daerah untuk berkompetisi dengan grup teater Jakarta. Gagasan ini bertujuan memberi rangsangan bagi kelompok-kelompok teater Jakarta agar meningkatkan kualitas.

”Kami akan menyelenggarakan kompetisi dan non-kompetisi. Jadi tidak semua peserta yang kami undang dari luar Jakarta, bahkan mungkin luar negeri, untuk berlomba. Ada di antara mereka yang hanya pentas, semacam exhibition, untuk membuka wawasan dan orientasi para peserta Jakarta. Mungkin tahap awal akan melakukan approach ke negara-negara Asia, kebetulan dari Jepang sudah memberikan lampu hijau.”

Upaya perubahan atau pengembangan konsep ini agaknya merisaukan Jose Rizal Manua, pemimpin Teater Tanah Air, yang belakangan banyak menggarap teater anak-anak dan menjadi juara dunia dalam festival teater internasional di Jerman tahun ini juga.

 “Persoalan teater Jakarta sebenarnya terletak dari mutu sutradara. Dasar dari penyelenggaraan tradisi festival teater tahunan ini untuk membina dan melahirkan bibit-bibit baru insan teater.” Demikian Jose Rizal. ”Jadi, dengan mengundang peserta dari luar Jakarta, yang tentu sudah merupakan pilihan terbaik di daerahnya, bisa-bisa membunuh pertumbuhan teater di Jakarta.”

Boleh jadi ini kecemasan yang berlebihan. Tetapi, sebagai orang teater yang berpengalaman, pendapat itu mungkin benar. Secara umum, dari tahun ke tahun, kualitas grup teater di Jakarta tampak semakin menurun.

“Teater sangat tergantung pada penyutradaraan. Karena itu, jalan yang ditempuh seharusnya melakukan workshop sutradara. Katakanlah sepanjang enam bulan. Undang sejumlah tokoh teater untuk menggembleng mereka, misalnya Rendra, Putu Wijaya, Riantiarno, Slamet Rahardjo, dan banyak lagi. Pengetahuan dan keterampilan para sutradara muda itu perlu diasah. Kemudian kita kembalikan maksud dan tujuan festival pada pembinaan, untuk menemukan calon-calon grup teater yang matang. Seingat saya, dulu, bagi yang meraih posisi juara sebanyak tiga kali, berhak untuk tampil dalam pertunjukan tunggal di Taman Ismail Marzuki. Jadi itu semacam karier.”

Menurut Arswendy, workshop penyutradaraan dan penulisan naskah teater sudah dilakukan, antara lain di bawah bimbingan Afrizal Malna; meskipun bukan dalam durasi panjang. Soal kompetisi dengan mengajak peserta teater dari luar Jakarta, diatur dengan seleksi pra-festival. Dengan demikian, peserta finalis dari Jakarta pun telah melewati kurasi kompetisi wilayah.

”Sebenarnya jika mau lebih fair, acara itu tidak dimasukkan ke dalam Festival Teater Jakarta. Mungkin dibuat komite atau lembaga lain yang berjalan paralel atau berkesinambungan. Misalnya, para pemenang Festival Teater Jakarta akan menjadi wakil Jakarta untuk mengikuti Festival Teater Nasional. Setelah itu, wakil nasional akan diadu dengan peserta dari negara lain dalam Festival Teater Asean, Asia, dan seterusnya. Indonesia bisa menjadi tuan rumah, penyelenggara, dan pemilik lembaganya. Mungkin itu akan lebih sehat.”

Tampaknya Jose Rizal Manua masih meragukan kemampuan kelompok teater Jakarta dalam ajang festival nasional. Senada dengan Arswendy, saat ini memang terjadi kekosongan tokoh teater. Jarak antara yang muda dengan yang senior terlampau jauh. Ketika disinggung soal naskah yang dipentaskan, Arswendy juga mengaku perlu ada dorongan bagi para peserta untuk kembali pada kekuatan karya lokal.

”Kami sudah mulai menawarkan kepada teman-teman pekerja teater agar di tahun depan menengok dan percaya pada keunikan karya Indonesia yang lebih dekat dengan tradisi kita. Lebih membumi. Sudah saatnya meninggalkan sejenak naskah-naskah besar yang jauh di awang-awang, sementara mereka belum mampu memainkan dengan baik.”

Jose Rizal Manua sebagai orang teater yang lahir dari festival teater memang masih memiliki perhatian besar terhadap kondisi teater dewasa ini. Ia lulusan IKJ yang mendapat nilai A untuk tugas akhir dengan mementaskan naskah ”Nafsu di Bawah Pohon Elm” (Desire Under The Elm) karya Eugene O’Neil. Sesudah itu terjun dan konsisten menggarap teater. Teater Remaja Adinda yang didirikannya meraih juara dalam Festival Teater (Remaja) Jakarta tahun 1982-83. Noorca Marendra sebagai pengamat di masa itu, benar-benar salut terhadap pementasan Hamlet (yang diperankan oleh Jose Rizal sendiri) karya Shakespeare. Jose tak pernah lepas dari teater, pantas jika prihatin belakangan ini.

“Beberapa tahun terakhir tidak muncul kreativitas yang menonjol. Saya kira ini juga akibat kurang menggali naskah-naskah baru. Saya melihat ada beberapa buku yang menghimpun naskah-naskah lakon teater hasil lomba, jadi tentu terbaik dari yang ada dalam setiap periodenya.”

Di Indonesia memang belum ada kelompok teater yang benar-benar profesional. Katakanlah Teater Koma, yang setiap tahun menggelar pertunjukan dengan naskah-naskah yang penuh tantangan baik dari segi dramaturgi maupun kreativitas panggung; para pemainnya toh masih bekerja rutin di bidang lain. Bukan melulu teater. Jadi memang berbeda dengan iklim yang terjadi di luar sana.

”Broadway, misalnya. Di sana ada teater yang main berpuluh tahun sebagai profesi, tak henti-henti.” Jose Rizal menambahkan. ”Ada contoh menarik. Aktor teater Jason Robart misalnya. Ketika Rendra menonton pertunjukan Long Day into the Night karya Eugene O’Neil, Robart ini masih bermain sebagai tokoh anak. Berpuluh tahun kemudian, saya berkesempatan nonton lakon yang sama di Broadway, si Robart ini sudah jadi tokoh ayah.”

Arswendy mengakui, bahwa Festival Teater Jakarta yang telah berlangsung selama 34 tahun sejak 1973, tanpa absen, adalah kegiatan dan program yang serius. Oleh karena itu ia mengharapkan adanya pengamat teater yang bukan sekadar menyaksikan pertunjukan saja, melainkan juga mengamati jalannya diskusi, persiapan festival sampai dengan urusan belakang panggung. Karena pada dasarnya, Komite Teater dan para pekerja teater membutuhkan banyak masukan. Setiap femonema, seperti misalnya pengaruh besar ketokohan dalam diskusi, perlu disiasati agar kehadiran peserta lebih fokus kepada materi diskusi. Bukan semata karena adanya Putu Wijaya atau Riantiarno.

Mungkin, untuk menghilangkan gap antara yang senior dan yang sedang menempuh jam terbang, perlu kerendahan hati pada kedua pihak. Di sela-sela acara pentas, Arswendy memanfaatkan waktu dengan workshop ringan untuk pelajar dan remaja peminat teater bersama Putu Wijaya. Ia berharap kegiatan itu menjadi sosialisasi dan jembatan yang memadai meskipun belum ideal.

Komite Teater DKJ punya ”impian” untuk konsep festival di masa depan. Apa pun yang disebut pengembangan tentu untuk kebaikan. Namun pesan Jose Rizal antara lain: ”Bentuk perubahan itu yang perlu dicermati agar tidak “membunuh” tunas-tunas baru teater Jakarta. Saya kira workshop atau pelatihan intens bagi sutradara dan para pemain lebih penting. Selain itu, pemilihan naskah juga penting.”

Grup dan sutradara terbaik akan diumumkan pada malam tahun baru. Arswendy menjanjikan mendatangkan PM Toh, Gambang Rancak, dan rapper ”Serat Centhini” dari Yogya. Selamat Tahun Baru 2008 dengan hiburan dan jajanan kampung di Taman Ismail Marzuki.

(Kurnia Effendi)

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home