Sang Bengawan
Bengawan Solo, riwayatmu ini
Sedari dulu jadi perhatian insani
Musim kemarau, tak seberapa airmu
Di musim hujan air meluap sampai jauh
Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu
Air mengalir sampai jauh
Akhirnya ke laut…
Itu perahu, riwayatmu dulu
Kaum pedagang slalu naik itu perahu
Itulah gubahan legendaris dari Gesang yang kini kembali sering terngiang.
“Tuhan, sayangi kami yang tak berdaya ini. Jauhkan dari bencana yang bertubi-tubi. Kami tahu, ini bukan amarah-Mu. Ini juga bukan dendam sungai ciptaan-Mu. Desa-desa kami yang terendam ini menjadi bukti keteledoran kami. Alam pemberian-Mu telah kami sia-siakan dengan perbuatan yang justru merugikan keluarga kami….”
Mungkin itu doa seorang muhlasin, seorang muhsin, yang kini tengah meringkuk dalam tenda pengungsian. Air matanya mengalir seperti hujan yang terus-menerus turun dari langit. Hatinya kelabu meniru warna langit. Dingin perasaannya seperti gigil cuaca, kota-kota yang kuyup, tem
Inilah bah terbesar sejak em
Mata airnya bermula di Pegunungan Kidul, Wonogiri. Air yang bersiang-malam menyaksikan kehidupan desa-desa yang dilewati, menjadi sahabat para petani, menjadi sumber minum ternak yang digembalakan, menjadi pelengkap sehari-hari para pencuci pakaian, menjadi jalan raya perahu penyeberangan, tumpah ruah di Gresik, pesisir utara Jawa Timur.
Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Klaten, Solo, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik; adalah kota-kota yang kini berbaris pucat membiru oleh genangan-genangan luas. Air pasang telah mengubah permukiman menjadi rawa-rawa. Berkelok-kelok sungai yang mengalir penuh cinta bertahun-tahun, kini meluap bagai menumpahkan rindu dendam.
Berpuluh tahun lalu, Gesang, komposer lagu Bengawan Solo yang kini telah berusia 90 tahun, menciptakan lagu yang liriknya terdengar sederhana. Namun kita tahu, sebagai seniman, Gesang dan kaum pujangga yang “weruh sakdurunge winarah”, seperti diutus untuk menuliskan keja
Ketika di suatu pagi Pak Gesang diminta menyenandungkan tembang ciptaannya itu, dalam sebuah reportase televisi, ada getaran yang menghubungkan musibah dengan lintasan ilham yang merasuki perasaannya tempo dulu. Giris mendengarnya. Dan tentu bukan kesedihan macam ini yang diharapkan melalui tafsir syair lagunya.
“Di musim hujan, air meluap sampai jauh,” ujarnya. Tak hanya meluap, namun bertahan sebagai lautan kecil yang akan bersitahan dalam hari-hari dingin dan lapar. Bencana memang milik semua manusia di Bumi, tak harus dihubungkan dengan jumlah dosa yang disandang. Seperti juga pemberiannya yang dituang tak habis-habis kepada manusia sejak hulu sampai hilir. Berapa juta petani diberkati hingga padinya berbulir-bulir membikin sejarah prestasi para penyantap nasi? Berapa ribu industri dan keluarga yang telah memanfaatkan deras aliran airnya untuk hasil yang telah membangun kesejahteraan turun-temurun?
Mungkin kita lupa berterima kasih. Mungkin sebagian besar kita di pesisir sungai justru sibuk membuang limbah pabrik sepanjang hari dan sepanjang tahun sehingga mencemari vegetasi di dalamnya. Kita tak lagi melihat air jernih yang sesekali menjadi tem
Dari jauh, dari Jakarta yang juga kuyup dan menggigil, saya tak sanggup menolong dengan kedua tangan. Kecuali saya tengadahkan dengan bisikan doa setelah salat. Doa sederhana. Alfatihah yang gemetar. Semoga penderitaan segera
Saya pun terkenang akan getaran suara Leo Kristi ketika mengenang bencana di Tanah Negara, Bali. Ia bisikkan dengan rasa duka mendalam kata “bencana” hingga enam belas kali. Siapa tahu, Sang Bengawan yang telah melekatkan sejarah, termasuk banjir darah zaman PKI 1948 yang mengerikan itu, akan menggugah seorang seniman (entah siapa) musik untuk menyimpan dalam pendengaran. Atau sanggup memancing sastrawan untuk mengekalkannya melalui sehamparan huruf bermakna.
“Air mengalir sampai jauh… akhirnya ke laut.”
Laut yang penuh rasa garam adalah wakil kebijaksanaan umat manusia. Seluruh “petualangan hidup” memang harus berakhir di laut. Harapan kita, air yang berlebihan menenggelamkan berpuluh kota dan beratus kecamatan itu segera surut terhisap Sang Laut yang luas perasaannya tak terukur hitungan manusia.
Penderitaan, bagaimanapun, hanya da
(
1 Comments:
Loovely post
Post a Comment
<< Home