Monday, February 18, 2008

Dunia Sigaret

Hai para perokok, sudahkah Anda berkunjung ke Museum Kretek di Kudus?”

Memang tidak wajib ke sana, toh tidak akan membuat banyak perubahan: apakah  semakin meningkat daya isapnya atau malah berhenti merokok sama sekali? Museum itu tidak menggambarkan dampak merokok bagi kesehatan kita, juga tidak memberikan informasi mengenai seberapa kaya para pemilik pabriknya. Akan tetapi, kapan tembakau itu mulai ditanam, dipetik, dijemur, dirajang, dicampur cengkeh dan saus aroma, sampai akhirnya digulung dalam balutan papir berbentuk pipadigambarkan dalam diorama yang realis.

Saya singgah di museum itu awalnya dengan dua tafsir. Istilah kretek itu berarti jembatan (jika huruf vokal “e” dibaca seperti membacangeres”), atau untuk jenis rokok yang ketika dibakar menimbulkan bunyi keretek-keretek akibat berdetasnya arang cengkeh. Rupanya tafsir kedua yang benar.

Terletak di kota Kudus, museum itu memiliki halaman sangat luas, sehingga sengaja dibuat jalan aspal melingkar untuk arus masuk dan keluar dalam satu arah. Di tengahnya dibangun sebuah taman membundar, dengan sculpture di pusatnya. Pada salah satu sisi halaman berdiri sebuah rumah kayu khas Kudus.

Museum itu sehari-hari tampak sepi. Agaknya hanya musim-musim tertentu dan jika ada rombongan yang berminat berkunjung saja yang membuat tempat itu ramai. Sebenarnya tanpa museum itu pun pabrik rokok sudah sangat sukses membuat “racun nikotin” menjadi konsumsi sehari-hari para perokok. Kudus memang tak dapat dipisahkan dari kisah para saudagar produsen rokok.

Dalam dokumentasi yang ditempel di dinding dengan ukuran besar, terdapat 11 tokoh yang merintis dan sebagian sampai kini masih bercokol sebagai pemilik pabrik rokok. Tokoh legendaris di Kudus dalam usaha rokok adalah M. Nitisemito. Ia mendirikan pabrik rokok merk Bal Tiga. Di situ tertera tahun 1906 – 1953. Saya agak bingung membacanya, apakah tahun 1906 sebagai titimangsa kelahiran Pak Nitisemito atau itu adalah permulaan pabriknya beroperasi? Jika itu menunjukkan kelahiran dan kematian, usianya tergolong sangat muda: 47 tahun.

Anak-anak Nitisemito, beberapa di antaranya saya kenal, karena saya pernah bekerja pada mereka. Jangan salah sangka, saya tidak bekerja di pabrik rokok Bal Tiga, melainkan pada perusahaan konsultan perencana arsitektur yang bernama PT. Niti Pola Chandra. Konsultan itu beroperasi di Semarang (di Jl. Krakatau sebelum pindah ke Jl. Sriwijaya menjelang tahun 1983). Di perusahaan itu, sebagai lulusan dari STM Pembangunan Semarang, saya menjadi staf teknik. Tugas saya antara lain melakukan survei ke lokasi lahan yang akan dijadikan tempat berdirinya bangunan, menggambar denah dan detailnya. Kadang-kadang ikut aanwijzing (rapat penjelasan menjelang tender), dan menghadiri rapat lelang para kontraktor. Biasanya PT. Niti Pola Chandra sebagai pihak yang menjelaskan hal-hal teknis tentang bangunan.

Apakah anak-anak Nitisemito tidak melanjutkan usaha ayah mereka di bidang perokokan? Saya tidak tahu. Tetapi, merk Bal Tiga memang tidak lagi terdengar. Tidak terlihat di kios-kios rokok. Mungkin, setelah sang ayah wafat, tidak ada lagi yang berminat mengembangkan, karena di Kudus terasa sekali persaingan dalam usaha rokok.

Sepuluh tokoh lain membuktikan adanya kompetitor. Orang kedua adalah M. Atmowidjojo, lahir tahun 1910 dan tampaknya masih huidup hingga kini. Berikutnya secara berturut-turut adalah: H.M. Muslich (1919-1968) pendiri perusahaan rokok Teboe & Tjengkeh; Tjoa Khang Hay (1912-1962) pemilik NV Trio; HM Ashadi (1920-1990) pemilik PR Delima; H. Ali Asikin (1918-1983) pemilik PR Djangkar; M. Sirin (1922-1967) pemilik PR Garbis & Manggis; H.A. Ma’ruf (1937-…) pemilik PR Djambu Bol; Koo Djee Siang (1930-an sampai sekarang), PR. Noroyono; Oei Wie Gwan (1951- …) pemilik PR. Djarum; dan MC Wartono (1948-…) pendiri PR Sukuh.

Beberapa orang di antara mereka tampaknya memang berusia singkat. Selain Nitisemito, sebut saja M. Sirin (45 tahun), H. M. Muslich (49 tahun), dan Tjoa Kang Hay (50 tahun). Jangan-jangan… itu isyarat, bahwa merokok secara berlebihan akan memperpendek umur. Tapi siapa peduli? Rokok yang nyata-nyata mengganggu kesehatan dan berani menuliskan akibat buruknya pada kemasan, justru sponsor terbesar kegiatan olah raga. Kini, bahkan, beberapa merk rokok sudah menyisihkan keuntungannya untuk kegiatan pendidikan. Contohnya Sampoerna dan Djarum.

Ketika saya berkunjung ke Museum Kretek, petugas kebersihan sedang mengepel lantai. Agak mengherankan karena saat itu sudah menjelang tengah hari. Sebuah kebetulan atau memang petugasnya malas? Untunglah tidak ada rombongan lain yang masuk hari itu, kecuali sejumlah sastrawan yang tertarik melihat dunia sigaret mumpung berada di Kudus.

Museum yang tidak terlalu besar itu pada kedua sisi utamanya menampilkan diorama yang indah, tiga dimensi, dalam keranda kaca. Sisi kiri merupakan kegiatan outdoor, bentangan perkebunan dengan urutan proses sampai tembakau dipanen dan dikirim ke pabrik. Pada sisi kanan menggambarkan kesibukan dalam pabrik. Di situ diperlihatkan mulai dari manajemen sampai dengan para buruh yang sedang tekun bekerja.

Di salah satu papan peraga terdapat gambaran struktur organisasi pengelola pabrik rokok. Tercantum juga jenis cukai rokok. Beberapa alat, seperti penggiling cengkeh, penggulung papirus, pengering tembakau, diletakkan menyebar. Di tengah ruangan terdapat beberapa patung perempuan sedang bekerja.

Foto keluarga Nitisemito sebagai saudagar kaya putra daerah Kudus ditunjukkan dalam format majalah dinding. Pertemuan keluarga, saat jalan-jalan dengan mobil mewah masa itu, cukup membanggakan untuk jejak sejarah. Sayangnya tak seperti Sampoerna  Group yang terus berjaya hingga generasi ketiga.

Udara Kudus yang menyengat tak membuat saya kerasan berada di dalam, terlebih karena sudah waktunya makan siang. Sebelum keluar, di sudut saya terpesona pada patung penjual rokok yang sedang menunggu kiosnya. Ah, properti itu melengkapi dunia rokok yang mencoba bercerita dari A sampai Z.

Saya belajar mengisap rokok sejak kelas IV SD, namun hingga kini tak dapat membedakan mana yang betul-betul enak, antara rokok kretek, filter, dan mentol. Ketika berada di Puncak atau daerah dingin yang lain, sungguh nikmat merokok merk apa pun. Ketika bersama dengan para perokok, mau tak mau ikut juga menyulut satu-dua batang. Namun hari-hari berlalu rutin kembali lupa pada rokok. Tampaknya saya bukan sasaran empuk bagi industri rokok. Sementara itu, banyak teman seusia saya yang kini mulai mengurangi dan bahkan menghentikan sama sekali ketagihannya terhadap rokok.

Jadi: “Hai, para perokok, pernahkah berkunjung ke Museum Kretek? Ada obyek yang belum tampil di museum itu. Diorama miniatur sanatorium, haha…”

(Kurnia Effendi untuk Parle)