Tuesday, February 26, 2008

Konser Leo Kristi bersama Penggemarnya

Nyanyikan Cinta di Bulan Cinta:

Dalam sejarah perjalanan musik Leo Kristi, bermain satu panggung bersama penggemarnya, merupakan kejadian pertama kali. Bahkan mungkin tidak ada musisi atau komposer lain yang pernah melakukannya. Dan itu berlangsung lebih dari satu jam, dengan lebih dari sepuluh lagu, di panggung Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Minggu malam, 17 Februari 2008. “Nyanyikan Cinta di Bulan Cinta“ adalah tajuk acara malam itu. Kehadiran Leo Kristi ternyata masih mampu menyedot sekitar 100 penonton, meskipun malam itu dihiasi rinai hujan.

Adalah Lkers, komunitas penggemar Leo Kristi yang terhimpun dalam komunikasi aktif mailing list LeoKristi@yahoogroups.com, yang menjadi penyelenggara acara. Mulanya mereka hanya saling membicarakan lagu-lagu Leo Kristi dengan kekuatan liriknya yang tak pernah tuntas dibahas. Setelah komunikasi melalui media maya itu berlangsung setahun lamanya, muncul gagasan untuk saling kopi darat. Tentu saja beberapa di antaranya membawa gitar, sehingga pertemuan selalu dihiasi dengan tembang-tembang konser rakyat Leo Kristi. Mulai dari Cafe Venecia TIM, Kebun Binatang Ragunan, dan pelbagai tempat lainnya, pertemuan yang layaknya seperti keluarga itu kian mempererat tali persaudaraan. Ikatan di antara mereka begitu kuat walau hanya dengan sama-sama menggemari komposisi langka Leo Kristi.

Setiyadi, Albert Go, Gamawan Waloeyo, Abing Patrick, Henry Ismono, Henry Widjaja, Ramdan Malik, Dwiyatno Rumlan, Yoosca, Tanti, dan lain-lain menghendaki Lkers membuat acara per tiga bulanan. Menetaslah ”telur” acara yang pertama di MP Book Point, 18 Agustus 2007, dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI. Dengan judul acara ”Senja Raya Indonesia Merdeka”, para LKers menyanyi lagu-lagu patriotik, membaca puisi dan kesaksian terhadap perjalanan negeri ini. Dilanjutkan dengan acara berikutnya pada 10 November 2007 di tempat yang sama. Pada malam ”Pahlawan yang Dilupakan” itu, bahkan diselenggarakan diskusi tentang ”Ruh Pahlawan dalam Lirik Leo Kristi” dengan pembicara Arya Gunawan, dan dibuka dengan pembacaan cerpen oleh Happy Salma.

Di tengah perjalanan komunitas Leo Kristi ini, ”ditemukan” para penggemar akut yang selama ini diam-diam mencintai lagu-lagu Leo Kristi. Melalui pentas Leo Kristi di Balai Sarbini 24 Agustus 2007, bergabunglah anggota baru yang luar biasa itu. Di antaranya Rezza Suhendra (pemetik gitar) dan Bambang Aroengbinang (pemetik bas). Kini LKers semakin kaya dengan musisi yang sudah tak perlu disangsikan lagi fanatiknya terhadap Leo Kristi. Rezza, yang menonton pertama kali Konser Rakyat Leo Kristi semasa SMP, kini telah menguasai 96 lagu karya Leo Kristi!

Maka dapat dikatakan, bintang malam itu, di Wapres Bulungan, selain Leo Imam Soekarno, tentu saja Rezza Suhendra. Dalam penampilan mereka di panggung, kerap kali keduanya (Leo dan Rezza) melakukan ”jam session” dengan petikan-petikan ajaib. Penonton malam itu serasa menemukan oase yang dirindukan setelah bertahun-tahun kehilangan daya getar Leo Kristi. Pertunjukan ”Puisi Gelap” tahun 2005 di Graha Bhakti TIM adalah penampilan panjangnya yang terakhir.

Malam itu dibuka dengan pembacaan ”love story” dari Ari Nurtanio (LKer) yang dilanjutkan dengan Sena (LKer) menyanyikan dua lagu komposisi Art & Garfunkel. Musikalisasi puisi yang dibawakan oleh kelompok teater asuhan Aryo (LKer) menyajikan tiga lagu, bertema cinta. Selanjutnya, Rezza Suhendra tampil mengiringi Ayu (LKers) membawakan ”Bintang Pelangi”, ”Tembang Diahati”, dan ”Rumput Raya Kemesraan”. Setiap usai lagu, walau tampak senyum Rezza malu-malu, dan Ayu mengaku sedikit gemetaran, tepuk tangan membahana di malam gerimis itu.

Pasti semua tidak pernah menyangka, bahwa setelah itu, Rezza memanggil Bambang Aroengbinang dan Gamawan Waloeyo untuk naik panggung dan menyanyikan nyaris sempurna lagu: ”Solus Aegroti Suprema Lexest”, ”Sinagoga-Sinagoga”, dan ”Serenada Pagi 1971” membuat Wapres Bulungan semakin hangat. Tipologi penggemar Leo Kristi umumnya tidak meminta kesempurnaan tetapi ingin mencapai ”rasa” yang kemudian diistilahkan secara nakal sebagai ”orgasme”. Boleh jadi, karena sang maestro, Leo Kristi, juga melakukan semacam chaos panggung dengan jeda yang lama atau nyetem gitar di saat pertunjukan sudah mulai.

”Mas Leo, mohon izin untuk menyanyikan lagu-lagu Leo Kristi. Kami ini anak-anak rohani Mas Leo, tak boleh ditolak kehadirannya,” demikian ujar Setiyadi yang didapuk sebagai Ketua ”Dewan Syuro” LKers di panggung.

Secara jujur, perjalanan awal para LKers ini cukup berat, ketika Leo Kristi masih merasa tak berkenan dengan kiprah penggemarnya. Namun waktu dan kesabaran para LKers telah mencairkan hati sang troubadour yang membuka dirinya untuk melebur dengan para penggemar. Suatu saat LKers mungkin bakal membesarkannya namanya kembali. Mood baik Leo Kristi ditunjukkan dengan kedatangannya ke Jakarta dua hari sebelum pertunjukan, bahkan bersedia melatih para LKers di rumah Bambang Aroengbinang di Cibubur. Suatu kebahagiaan dari impian lama para LKers yang terpendam selama ini. Konon, hubungan indah itu juga terjalin karena ada dukungan dari soulmate sang maestro, inspirator lagu ”Nyanyian Musim” dan ”Baptis Theresia”. 

Malam merangkak dalam cuaca dingin, tapi Wapres Bulungan kian hangat. Ketika Leo Kristi akhirnya naik ke atas panggung, terjadilah reuni yang tak disangka-sangka. Gayatri sang vokalis masa lalu dan Naniel peniup flute sejak awal karier konser rakyat Leo Kristi, dipanggil untuk mendampingi. Suasana yang sangat mengharukan, meskipun nyanyian mereka terbata-bata (tentu karena tak pernah latihan sebelumnya), tetapi para LKers di kursi penonton bisa menyambung nyanyian mereka. Sekali lagi, yang diperlukan adalah ”rasa” bukan kesempurnaan teknik.

Hadir di antara penonton, tokoh ekonomi Faisal Basri, dalang mbeling Sujiwo Tejo, mantan wartawan Tempo Yusi Avianto Pareanom, Ari Malibu, Reda Gaudiamo, dan banyak lagi. Mereka menikmati pengalaman luar biasa, ketika menyaksikan Leo Kristi bisa begitu lebur dengan Rezza, Gamawan, Bambang, Aries, Sena, Setiyadi, Ayu, Tanti, dan Ibu Totot. Kolaborasi perdana yang—menurut Rezza—tak dapat diucapkan dengan kata-kata. Para LKers yang hadir tak hanya dari Jakarta dan Bogor, melainkan dari Bandung, bahkan Kalimantan.

Malam menutup tirai, entah berapa lagu leleh seperti hujan ke dalam hati sanubari para penggemar Leo Kristi. Diakhiri dengan ”Bedil Sepuluh Dua Jelang Empat Puluh Tahun Merdeka”. Sang Maestro masih akan mengembara bersama LKers menghabiskan malam. Ketika: lentera-lentera jalan tak mengenal dirinya lagi...

(Kurnia Effendi)