Lima Jam Bersama Shiho Sawai
Ketika berada di
Cafe Exelso, Galeria,
Saya meluncur dari hotel ke Galeria di Jalan Solo. Itu tem
Sengaja memilih kedai kopi di sudut yang tidak berisik, karena kami akan berbincang banyak hal tentang kegiatan Shiho selama di
Tak meleset dari ucapannya, Shiho tiba dengan... setelan baju muslim hijau yang dipadu-padan dengan jins. Mata sipitnya menghilang ketika tersenyum. Saya persilakan dia untuk pesan minum, lalu percakapan mulai mengalir. Saya takut mengganggu waktu kuliahnya.
”Oh, saya tidak kuliah setiap hari. Hanya ikut satu mata kuliah dari Pak Faruk HT,” jawabnya menenteramkan saya.
”Jadi sebenarnya di UGM untuk mengambil doktoral atau bagaimana?”
”Saya tetap menjadi mahasiswa S3 di Jepang. Saya menerima beasiswa untuk penelitian sastra di Indonesia. Tetapi untuk menda
”Berapa lama di Indonesia? Tampaknya sudah mahir bahasa Indonesia.”
”Beasiswa saya hanya untuk 2 tahun, tetapi saya sudah belajar bahasa Indonesia sudah sepuluh tahun.”
”Oh, pantesan. By the way, tinggal sebentar lagi di sini.”
“Ya, Agustus tahun ini saya harus sudah kembali ke Jepang,” ujarnya. Nada suaranya mengisyaratkan rasa berat meninggalkan
Saya pikir akan jauh tem
”Sama siapa saja tinggal di situ?”
”Banyak mahasiswa. Tapi mereka suka heran melihat saya larut malam masih bekerja dan tidak bergegas di pagi hari,” Shiho tertawa.
”Secara pergaulan, bagaimana orang-orang
”Mereka sangat baik dan ramah. Kita kadang-kadang kumpul tanpa harus minum-minum seperti di Jepang. Enak sekali suasananya, saya lebih suka.”
Sampailah kami di sebuah kedai lotek yang menjadi makanan favorit Shiho.
Kedai Lotek Bu Bagyo,
Kami menda
”Saya pesan lotek juga, pakai lontong,” kata saya. Shiho yang masuk ke dalam untuk memesan. Sambil menunggu lotek, kami melanjutkan percakapan.
”Jadi sudah sejauh mana hasil penelitiannya?”
Shiho menggeleng. ”Ternyata tidak mudah. Saya butuh waktu lama untuk adaptasi dan mencari narasumber. Setelah menda
”Selama ini banyak ikut kegiatan dan bahkan jadi pembicara, termasuk Kongres KSI di Kudus. Tentu banyak bahan.”
”Ya, memang. Itu sangat membantu. Masalahnya, untuk sekaligus menda
Benar juga, lotek itu cukup nikmat di lidah. Pantas selalu ramai. Dan harganya pasti terjangkau untuk kalangan mahasiswa.
”Apakah ini makanan favoritmu?”
”Ya. Di
Dalam satu jam kami telah selesaikan urusan makan siang. Shiho mentraktir saya. Selanjutnya saya menawarkan tem
”Sudah pernah ke MP Book Point di Jl. Kaliurang?”
”Belum pernah. Ada apa di sana?”
Ringkas cerita, kami sepakat untuk naik taksi ke MP Book Point. Sebuah toko buku yang menyediakan kafe dan bebas berinternet. Hanya lima belas ribu ongkosnya. Di sana sudah menunggu cerpenis Puthut EA dan Dodok Hartoko dari Penerbit Buku Baik.
MP Book Point, Jl. Kaliurang Km 5,3,
Di MP Book Point ada kafé bernama Rumah Kopi. Kami bergabung dengan Puthut EA di kursi outdoor. Sebentar-sebentar harus bergeser sesuai dengan bayang-bayang paying, agar tak tersengat terik matahari.
Kami berdua menda
“Menurut Shiho, apakah penerbitan buku di Indonesia cukup bergairah?”
“Betul. Dulu menurut info, hanya 2000 judul setahun, sekarang sudah meningkat menjadi 6000 judul setahun. Tetapi masih kalah jauh dengan Jepang atau negara Amerika yang sudah rata-rata 15.000 judul per tahun.”
”Jika dibandingkan dengan Malaysia, bagaimana kulaitas sastra kami?”
”
“Saya menulis beberapa buku, mana yang Shiho belum punya?”
“Biar saya beli sendiri saja. Apa saja judulnya?”
Tak lama kemu
”Nanti akan bekerja di mana setelah selesai S3?”
”Tak ada pilihan lain, tentu menjadi dosen Sastra Indonesia. Tapi, persaingan cukup ketat karena banyak ahlinya.”
”Mengajar di sini saja. UGM atau UI.”
Shiho hanya tertawa. Di Jepang saja sangat kompetitif, bagaimana di Indonesia?
Pembicaraan berlangsung meluas ke dinamika penerbitan buku di
(
0 Comments:
Post a Comment
<< Home