Monday, March 31, 2008

Pesta Keboen

Toegoe moeda kami poenja, kota lama poen ada

Simpanglima hiroek-pikoeknja, tjandi lama kerlip lampoenja

Toean Meneer doeloe doedoek di sini. Santap dan minoem setiap hari

Pesta tjanda gembira di hati. Indahnja keboen memberi arti

Kini Toean Njonja poen datang bersama. Kami sediakan jang Toean Njonja soeka

Poetra-poetri toeroetlah serta. Lintjah gembira di taman boenga

Kitjaoe boeroeng riangnja hari. Gemertjik air sedjoekkan hati

Djikalaoe koerang bolehlah lagi

Mana soedi soepaja diboengkoeskan. Kardoes dan plastik soedah disediakan

Oleh-oleh tjotjok diberikan oentoek sanak sodara. Djangan sampai diloepakan

Djaoeh di mata dekat di hati. Kami selaloe ada di sini

Djikalaoe Toean Njonja rindoekan lagi.

Kami boekakan pintoe Toean Njonja poenja hati

Puisi di atas dapat ditemukan dalam buku menu di rumah makan Pesta Keboen, Jalan Veteran 29, Semarang. Buku itu dibuat dengan art-carton licin berkilau, memuat foto berwarna sajian setiap menu yang diandalkan, diselang-seling dengan foto sudut-sudut ikon kota Semarang di masa lalu. Bahkan ada sekelumit kisah Raden Saleh dalam setengah halaman dengan foto sepianya.

Mari kita tengok cerita pelukis legendaris Nusantara itu. Raden Saleh diceritakan lahir di Terboyo tahun 1811. Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen. Disebut sekilas gaya lukisannya dan keterpengaruhannya dari pelukis lain. Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada zamannya, Van der Capellen, yang memberi kesempatan dia belajar di Belanda.

Sekitar empat atau lima tahun yang lalu, pertama kali saya mengunjungi Pesta Keboen, buku menunya lebih tebal karena setiap makanan diriwayatkan asal-usulnya. Saya mencoba menanyakan harganya, siapa tahu buku menu itu dijual. Disponsori oleh perusahaan rokok Indonesia terkemuka, konon harga cetak buku itu 300.000 rupiah per buah. Sebenarnya saya mau ngotot beli untuk koleksi, namun tidak diizinkan, mungkin mengira saya akan menirunya.

Sebenarnya, apakah yang diandalkan oleh sebuah restoran atau café untuk pelanggannya? Pertama, tentu saja kelezatan masakannya, lebih-lebih jika itu merupakan resep khas yang tak tersajikan di restoran lain. Kedua, untuk menambah impresi dan nafsu makan bagi para tamu, diciptakan suasana yang unik. Ketiga, mungkin dari sisi pelayanannya: ramah, cepat, akurat. Urutan kedua dan ketiga boleh saja ditukar tergantung mana yang hendak ditonjolkan. Nah, Pesta Keboen, menganut gaya retro, interiornya mengandung benda-benda masa lalu.

Bagaimana dengan makanan yang disajikan? Cukup bervariasi, mulai dari menu Eropa (steik dan salad) sampai dengan menu tradisional yang dikutip dari pelbagai ranah Jawa. Ada tahu telur kopyok, gudeg, dan makanan Semarangan. Yang menarik, begitu kita duduk, pramusaji segera meletakkan jamu beras kencur dalam gelas-gelas kecil.

Ruangan dalam restoran Pesta Keboen tidak banyak berubah dari asalnya: rumah yang bertahan dengan sentuhan langgam art deco. Rumah itu memiliki ruang tamu yang digunakan untuk meletakkan meja kasir dan selingkar meja makan dengan 4 kursi besar-besar. Sebuah radio kuno ditempatkan di sudut (mudah-mudahan masih berfungsi, meskipun untuk menyalakannya membutuhkan beberapa menit memanaskan tabung-tabung di dalamnya).

Masuk ke dalam ada ruangan yang menampung beberapa set meja dan kursi makan untuk masing-masing berempat. Di ruang utama terdapat dua atau tiga baris meja panjang, cocok untuk keluarga besar. Di sekeliling dinding diletakkan sejumlah lemari hias dengan kaca yang memperlihatkan isi dalamnya: guci-guci mungil keramik atau benda-benda hias yang terbuat dari kuningan dan tembaga. Lampu yang tergantung merupakan paduan logam dan porselin. Di kanan dan kiri ruang utama terdapat koridor yang juga dipergunakan sebagai ruang makan. 

Di belakang ada sebuah beranda yang langsung berhubungan dengan kebun terbuka. Mungkin tempat itu yang menginspirasi nama Pesta Keboen. Angin mengalir bebas. Suara kericik air menemani sepanjang waktu makan, menjadi bagian tak terpisahkan dari obrolan. Bidang dinding yang menghadap ke belakang, pada kedua pilar, diletakkan tabung pemadam kebakaran dan jam bundar zaman Belanda. Ditemukan juga telepon kuno yang sudah tak berfungsi lagi.

Setiap kali makan di Pesta Keboen, yang terakhir pada tanggal 26 Maret lalu, saya selalu menyediakan waktu untuk berjalan keliling ruangan. Memotret dan mencatat sesuatu yang menarik. Memang cocok puisi pembuka pada buku menu. Tuan dan Nyonya tak hanya mau makan, tetapi sekaligus menikmati suasananya.

Beberapa dokumentasi kota lama Semarang dicantumkan dalam buku menu itu. Antara lain Grejo Blenduk, sebuah gereja tertua di Jawa Tengah yang dibangun oleh komunitas nasrani Belanda tahun 1753. Kubahnya terbuat dari tembaga. Daerah itu, dulu dikenal sebagai The Little Netherlands, kampung Eropa atau Outstadt/Euroeschebuurt. Kini jalan-jalan di kawasan gereja itu dilapis dengan konblok yang tertata rapi.

Nama Semarang bermula dari Asem Arang, karena banyak jalan yang ditumbuhi pohon asam berjarak renggang antara satu dengan lainnya. Ki Ageng Pandan Arang, diangkat sebagai bupati  pertama Semarang tahun 1398 Saka atau 1476 Masehi. Anaknya, bergelar Pandan Arang II, diangkat oleh Kerjaan Demak menjadi Adipati Semarang pada tanggal 2 Mei 1547.

Zaman dulu, wilayah glamour di Semarang berada di Jalan Pemuda yang awalnya bernama Bodjongsche weg. Disebut-sebut sebagai Champ Elysee-nya Jawa. Di situ ada Hotel du Pavilion, gedung Gris (sempat menjadi bioskop di tahun 70-an). Di pengujung jalan bertemu dengan lima percabangan jalan. Di salah satu sudutnya ada rumah Resident Nicholaas Hartingh. Kantor Maskapai Kereta Api Hindia Belanda, yang dulu disebut Nederlansche Handels Maastschappij, kini dikenal dengan Gedung Lawang Sewu yang nyaris terlantar. Dalam buku menu itu, saya juga menemukan foto Jembatan mBerok (Societeit Brug); di Kebondalem ada rumah Majoor Tjina Be Biaoew. Gedung Gulo, dulunya rumah Majoor Tjina Tan Tjong Hoay.

Itulah yang saya lakukan saat menunggu datangnya pesanan: menikmati ruang demi ruang, lembar demi lembar petikan sejarah dalam buku menu. Akhirnya makan siang yang dipesan tiba. Saya sengaja memilih masakan Jawa Timuran, berteman es kemuning. Siapa mau mencoba? Datanglah malam hari. Suasananya akan lebih gayeng karena ada musik hidup yang mengiringi kita mengudap sajian. Seperti di rumah sendiri saja 

(Kurnia Effendi)