Penerbit Kalam meluncurkan buku bunga rampai artikel tentang film dalam antologi Kandang dan Gelanggang, Sinema Asia Tenggara Kontemporer. Rasanya bukan tanpa maksud. Karena pada kenyataannya, ada sisi gemilang dari perkembangan sinema Asia Tenggara yang patut dicatat, disimak, dan dinikmati. Dalam diskusi Sabtu, 22 Maret 2008 yang mengundang pembicara Arya Gunawan dan Veronika Kusuma, tampak bahwa pembicaraan mengenai posisi film Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari peran festival film terutama yang nonkomersial. Eksotisme Timur, dalam pengamatan Arya Gunawan, mulai “mengganggu” eksistensi Barat (dalam hal ini Eropa dan Amerika) sejak dua dekade belakangan ini. Ada semacam tahapan, yang ditengarai oleh kehadiran film-film Asia dengan estetikanya yang khas, tercium oleh kaum Barat, di awal 80-an. Menjelang 90-an, tampaknya mulai terbuka kesempatan untuk mengikutsertakan karya-karya sineas Asia Tenggara dalam festival film dunia. Satu panggung festival di antaranya yang paling terhormat adalah Festival Film Cannes.
Buku Kandang dan Gelanggang menghimpun 8 tulisan, antara lain oleh Anchalee Chaiworaporn, Hassan Abdul Muthalib, Lisabona Rahman, Ben Slater, dan penyunting Eric Sasono. Diharapkan dapat memberikan gambaran cukup benderang mengenai perjalanan sinema Asia Tenggara hingga posisinya saat ini. Pada akhirnya, keangkuhan Barat dapat dilumerkan oleh karya-karya kreatif para sineas Asia.
Vero, sebagai mahasiswa Jurusan Kajian Film di Institut Kesenian Jakarta, cukup fasih dalam meneropong alasan film Asia Tenggara mendapatkan tempat di dunia. Ia banyak—dan tekun—mengikuti setiap film karya sutradara Asia, sehingga dapat mengambil karakter masing-masing karya dari negara-negara Asia. Ia mengutip Roy Arnes (1987) tentang sinema negara dunia ketiga yang menandai perkembangan sinema Asia Tenggara selain melalui kesamaan teori estetik, juga akibat sejarah kolonialisme yang terjadi di negara-negara itu.
Sementara Arya Gunawan menggarisbawahi dengan kemungkinan lain: apakah melalui ketimurannya, sisi agama yang dianut, dan sebagainya. Meskipun yang membuat sinema Asia Tenggara dikenal dan mendapat tempat dalam perfilman dunia adalah karya-karya eksotik dengan estetika yang berbeda; walaupun sesungguhnya yang menjadi mainstream film-film dunia ketiga, sebagaimana diungkap oleh Vero, adalah jenis melodrama. Termasuk film Ayat-Ayat Cinta yang sedang beredar dan ditonton oleh lebih dari 3,5 juta orang.
Arya Gunawan sebagai pecinta film yang hampir tak pernah absen menghadiri Festival Film Cannes di Prancis, juga festival film di negara-negara Asia, kerap mendapatkan pengalaman langsung dari perkembangan positif sinema Asia Tenggara di tengah kancah kompetisi film dunia. Namun ada yang dicemaskan, bahwa sampai saat ini, dalam bentuk yang berbeda, kita masih juga dijajah oleh Barat. Menurutnya, tahap ketiga dari kemajuan sinema Asia Tenggara, adalah dominasi Barat melalui pendanaan dan akhirnya ada semacam otoritas untuk menangani editing film Asia.
Arya berharap kehadiran buku Kandang dan Gelanggang ini disambut baik, meskipun dia menyayangkan luputnya pembahasan mengenai Eric Khoo (sineas Singapura yang cukup berperan dalam film kontemporer). Dari Filipina, Lav Diaz juga tak tercantum dalam buku ini, padahal posisinya sangat penting dalam perkembangan sinema Asia. Di Indonesia mungkin ada Garin Nugroho, yang hadir terlambat dalam diskusi sore itu.
Acara yang terselenggara atas kerjasama antara Rumah Film, Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, Jurnal Kalam, dan HIVOS ini telah berlangsung di Yogyakarta dan di Bandung pada akhir Maret.
(Kurnia Effendi)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home