Tuesday, April 01, 2008

Simfoni dari dan untuk Indonesia

Sebuah niat dan rencana mulia seorang penyair bernama Arief Wicaksono untuk membuat sebuah antologi lagu yang berbicara tentang Indonesia dalam segala aspek, akhirnya menjadi kenyataan. Perjuangan ini berjalan cukup lama, mungkin sekitar dua atau tiga tahun. Setidaknya sejak Arief bergiat dalam Rumah Musik Indonesia bersama Theodore KS, Remy Soetansyah, Denny Sakrie, dan kawan-kawan.

Kegemarannya membeli, mengoleksi, dan menikmati musik Indonesia, sejak zaman Koes Plus sampai generasi Dewa 19, Sheila on 7, dan mungkin Letto saat ini tanpa disadari justru memberikan keuntungan. Secara wawasan, Arief mau tak mau menguasai sejarah pertumbuhan musik Indonesia dari tahun ke tahun. Tema yang digarap oleh para komposer, teknik bermain musik yang dilakukan oleh para musisi, aliran musik yang menjadi trend, kecenderungan musik Indonesia di kancah perkembangan musik dunia, dengan sendirinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengamatannya.

Pemikiran cemerlang untuk menyusun antologi lagu yang dipersembahkan kepada negeri tercinta Indonesia ini menjadi obsesi pribadi Arief. Terasa mudah membayangkannya sebagai mimpi, namun prosesnya cukup berat karena digarap sangat serius. Tanpa upaya keras dan disiplin yang tinggi untuk tetap fokus pada tujuan, belum tentu buku ini terwujud.

Demikianlah, atas nama Arief Wicaksono Production (mengingatkan unjuk jatidiri para seniman musik di era 80-an, misalnya Fariz RM Production), Arief begitu tekun bekerja “sendiri”. Karena kumpulan lagu ini berpijak pada tema persembahan untuk negeri, tentu mula-mula memilih lagu yang sesuai dengan tujuan. Karena diharapkan kumpulan lagu di dalamnya dapat tersosialisasi dan dinyanyikan oleh generasi masa kini, maka harus dilengkapi dengan notasi. Karena biaya produksi buku ini tidak murah, Arief mencari mitra yang bersedia mendukung dana untuk merealisasi.

Akhirnya cita-cita itu terpenuhi satu per satu. Banyak komponis dan musisi yang terpilih lagunya dalam buku ini memberikan dukungan moral dan dengan suka cita membantu kemudahan prosesnya. Terkumpulah 62 lagu (untuk memperingati 62 tahun Indonesia Merdeka?). Siapa saja yang terhimpun di sana? Untuk menyebut beberapa nama: Koes Plus, Gombloh, Iwan Fals, Franky Sahilatua, Guruh Soekarno, Harry Roesli, Ully H, Rusady, Chandrta Darusman, Ian Antono, Ebiet G. Ade, Slank, Gigi…

Adakah yang luput? Ya. Leo Kristi tak nampak di sana. “Ada hambatan proses secara personal yang membuat Leo Kristi absen dalam buku ini,” secara diplomatis Arief mengatakan seperti itu. Selalu saja ada keterbatasan untuk mencapai kesempurnaan dalam memetakan musik Indonesia. Namun kehadiran buku ini telah memberi warna positif baik dari sisi edukasi (karena dibagikan kepada seluruh sekolah di negeri ini) dan sejarah seni musik (menjadi jejak yang tak terlupakan bagi khazanah musik Indonesia).

Buku ini disusun dengan pola yang menarik dan memudahkan kita untuk membayangkan seperti apa musik Indonesia meletakkan impresi yang kuat di sanubari kita. Ada 8 episode, seperti menggambarkan bulan 8 (Agustus) sebagai titimangsa kemerdekaan republik ini. Setiap episode diawali dengan esai lirik yang tematik. Sesudah itu barulah dihamparkan sejumlah lagu dengan notasi dan liriknya yang mendukung tema. Ditutup dengan kaleidoskop pada setiap episode. Ruang ini untuk mendokumentasi album-album rekaman dengan menampilkan cover dan penjelasan ringkas.

Mari kita cermati masing-masing episode secara berurutan. (1) Sinergi untuk Indonesia. (2) Merah Putih Terus Berkibar. (3) Di Bawah Lindungan Garuda. (4) Bunga untuk Pahlawan. (5) Legenda Putra Pertiwi. (6). Puspawarni Nusantara. (7) Indonesia Jangan Terbelah. (8) Solusi untuk Negeri. Dari masing-masing judul, menunjukkan bahwa Arief tidak hanya ingin memuja Indonesia sebagai tanah air tumpah darah dan berharap tetap berjaya, namun juga berbagi prihatin sekaligus mengajak kita untuk membenahi negeri ini.

Di akhir buku masih terdapat ikhtisar, sebuah ruang yang mengakomodasi lagu-lagu atau album yang tidak dinotasikan dan tidak masuk dalam kaleidoskop. Melalui buku ini Arief igin menyampaikan bahwa lagu-lagu dengan kandungan tentang kebangsaan tidak berhenti ditulis. Pada generasi ’45, WR Soepratman, Cornell Simanjuntak, Ismail Marzuki, sampai Ibu Soed, memang dibutuhkan untuk memompa spirit perjuangan membangun negeri. Namun ternyata hingga kini, bahkan Eross dari Sheila on 7 menciptakan lagu berjudul “Bendera” yang dinyanyikan oleh Cokelat, dengan semangat yang masih tak kalah membara. “Kebyar-Kebyar” karya Gombloh pun telah menjadi semacam “lagu wajib” yang turut diperdengarkan pada saat HUT Republik Indonesia.

Langkah terpuji Arief ini didukung oleh Djarum Bakti Pendidikan.Notasi di dalamnya dapat dipertanggungjawabkan, di bawah editor Sandy Prastanto dan Tim Komunitas Umat Musik Indonesia. Seluruh naskah yang ditulis oleh Arief disunting oleh Gregorius Windrarto.

Arief J. Wicaksono, sebelum terjun sebagai penulis lepas dan banyak menggarap konsep program sosialisasi pada sejumlah LSM, adalah seorang wartawan di harian Sinar Harapan. Ia juga seorang penyair yang beberapa kali diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan puisinya di TIM. Kecintaan pribadinya terhadap musik Indonesia membuat panitia BASF kerap memintanya sebagai juri. Dengan peluncuran besar-besaran buku Simfoni Indonesia di Surabaya pada konser musik memperingati Hari Pahlawan 10 November 2007 di Surabaya, menandai sumbangan besar Arief bagi masyarakat pelajar dan kaum muda Indonesia dalam pengetahuan seni musik Indonesia.

(Kurnia Effendi)

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home