Malam Seni Gayo
Salah Satu Sisi Eksotisme Aceh
Jumat malam, 21 Maret 2008, ketika masyarakat Jakarta sedang menikmati libur panjang (long week end), Warung Apresiasi Bulungan tampak ramai. Tidak seperti biasanya, yang hadir di sana bukan seniman pada umumnya, melainkan sejumlah orang yang berpakaian adat Aceh. Ada apa gerangan?
Tampak Fikar W. Eda, penyair asal Aceh menjadi pemandu jalannya acara sejak awal hingga akhir. Malam Seni Gayo, demikian tajuk yang tercantum dalam latar dekorasi panggung. Acara yang rencananya menghadirkan Gubernur Aceh itu memang tenang-tenang menghanyutkan.
Agenda pertama memutar film Puisi Tak Terkuburkan, sinema hitam putih karya Garin Nugroho, sineas bertangan dingin untuk kelas festival dunia. Film yang memiliki durasi sepanjang 70 menit itu menampilkan seniman didong Ibrahim Kadir, juga aktris Berliana Febrianti.
Setelah itu, Fikar memperkenalkan musik canang, sebuah komposisi yang dimainkan dengan alat musik logam. Pernah ada anggapan bahwa Aceh tidak mengenal alat musik yang terbuat dari logam (semacam gamelan). Dalam musik itu ada nyanyian juga tarian. Baik penyanyi, pemain, dan penari, mengenakan busana tradisi Aceh yang didominasi warna merah dan hiasan kuning keemasan, mencirikan kemegahan.
Pada kesem
“Seni Gayo telah diperkenalkan ke dunia luas oleh Garin Nugroho,” demikian kata Ibrahim Kadir bangga sekaligus haru. “Melalui film Puisi Tak Terkuburkan, dipertunjukkan seni didong. Bahkan saya menda
Ibrahim Kadir, yang menurut percandaan Deavy, antara bicara dan marah tak ada bedanya, matanya tampak berkaca-kaca di panggung itu. Lalu ia mendaulat Garin untuk menyampaikan sambutan.
“Saya teringat, ketika tahun 2000 menyampaikan keinginan untuk membuat film tentang budaya Gayo, tak ada uang sepeser pun. Padahal saya membutuhkan 1,5 milyar rupiah kala itu. Namun akhirnya ada beberapa negara yang bersedia memberikan dana untuk biaya produksi.” Demikian Garin mengenang pengalamannya. Lalu secara umum ia menyampaikan harapannya kepada masyarakat intelektual Indonesia. “Siapa pun yang ingin hebat dalam profesinya, baik arsitek, ekonom, sastrawan, atau apa pun, pertama-tama harus menguasai kepandaian lokal dan belajar tentang budaya ibunya. Setelah itu bikinlah jarak dengan mencerap ilmu dunia agar pandangannya menjadi global. Di mana pun orang itu berada, nantinya, wawasan dan pemikirannya pasti hebat.”
Rasanya itu sebuah nasihat yang dipetik melalui pengamatannya secara intens terhadap tokoh-tokoh penggagas perubahan. Dengan sikap dan gaya yang tetap sederhana, Garin sendiri telah “menaklukkan” pandangan dunia (dari sisi film) mengenai Indonesia yang eksotik.
Berikutnya, Fikar W Eda menampilkan karya puisinya dalam bentuk visual selama sekitar 5 menit. Menurutnya, di Aceh ada 8 bahasa daerah. Salah satunya adalah bahasa Gayo. Wilayah kecil yang terkepung wilayah lain di Aceh itu agaknya telah melahirkan banyak orang pandai yang tersebar ke seluruh Indonesia. Dengan bahasa Gayo, Fikar mempresentasikan Takengon 29 Ribu Kaki. Tampaklah dalam gambar wajah khas orang-orang Aceh dengan kegiatan keseharian mereka.
Nyanyian, puisi, film, dan musik Aceh, serta busana yang dikenakan oleh para penampil telah memberikan warna tersendiri malam itu di Wapres Bulungan. Beberapa LSM turut hadir di
(
1 Comments:
Salam kenal, wah kemarin poisisnya dimana ya bang, kok ga liat?
Salam kenal
http://uwein.multiply.com/photos/album/29/Seni_Gayo
Post a Comment
<< Home