Wednesday, April 02, 2008

Goenawan Mohamad Memandang Tuhan

Nama Goenawan Mohamad (GM) identik dengan Catatan Pinggir (Caping), esai tetap di majalah Tempo. Kekuatan citra Caping (telah diterbitkan menjadi buku, volume 1 sampai 6) di akhir halaman majalah yang “enak dibaca dan perlu”, sampai dianggap sebagai penggelora sastra-jurnalistik yang kini akrab disebut jurnalisme-sastrawi.

Ketika terbetik kabar GM hendak menerbitkan sehimpun esai pendek (atau disebut juga aforisme) dalam satu buku, penggemarnya membayangkan sekumpulan inspirasi baru yang mengandung pencerahan. Apalagi judulnya: Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai (THTS). Ada kandungan spiritual (religiusitas) dan bentuk perenungan yang “tak sanggup” diakhiri. Apakah GM memang tak hendak menyimpulkan?

Pada tanggal 4 Desember yang lalu, buku THTS diluncurkan dan didiskusikan di Freedom Institute, dengan pembicara Pendeta Martin Sinaga dan Pemimpin Pondok Pesantren Daruttauhid Arjowinangun, Cirebon, Hussein Muhammad. Pemilihan pembicara tampaknya bermaksud mempertemukan pemikiran religius dari dua kutub yang mungkin berbeda perspektif. Namun seperti halnya kebanyakan pembaca yang menjadi penggemar atau pengagum GM, pembahasan buku ini lebih kepada ungkapan tentang bagaimana cara GM yang selalu sensitif dalam memaknai kehidupan tetapi tidak berhenti pada pendapat tunggal.

“GM ini seorang apa ya?” begitu pertanyaan Hussein Muhammad terhadap dirinya sendiri. “Apakah seorang yang apatis, nihilis, optimis, atau apa? Sungguh tak tepermanai,”

Kata “tak tepermanai” memang diperkenalkan oleh GM pada sebuah esai budaya beberapa tahun silam, untuk menggambarkan sesuatu yang tak terjabarkan. Isi THTS adalah renungan pribadi yang mengambil sikap dari jarak pandang global dan kontemplasi selalu merupakan bisik yang bimbang. Sebagian dari ruh buku ini, menurut pengakuan GM dalam perbincangan informal, mengambil dari Caping.

Berisi 99 tulisan pendek dan agak pendek, GM mengikuti jejak Roestam Effendi dengan Pertjik Permenoengan-nya yang terbit tahun 1925. Mungkin, selain GM memaknai Tuhan dengan pelbagai simbol yang dapat dicerapnya, ia pun ingin bertanya kepada pembaca. Banyak hal tak terjawab, tak tersimpulkan, namun justru kita sebagai pembaca mendadak memiliki banyak pintu untuk menjelajah masalah ketuhanan yang tak pernah tuntas dalam tafsiran. Referensi bertaburan di setiap esai, membuktikan GM (menghormati dan) memerlukan pendapat orang lain untuk mempertebal keyakinannya. Atau kadang-kadang justru untuk menunjukkan sisi yang paradoks.

Dalam buku ini, GM tentu mewakili dirinya sendiri, meskipun pembaca merasa satu pikiran dalam beberapa pendapatnya. Misalnya dalam renungan ke 23: Manusia bisa tersesat, tapi sejarah menunjukkan bahwa iman tak pernah jera justru ketika Tuhan tak jadi bagian benda-benda yang terang. Dalam hal ini, misteri Tuhan selalu dimanfaatkan oleh manusia yang merasa memahami Tuhan untuk “menghardik” kaum yang masih mempertanyakan Tuhan. Pandangan GM terhadap perjuangan manusia, mengambil contoh Nabi Ibrahim sebagai manusia yang unggul: bukan kisah manusia yang menyerah dalam dua kematian (Renungan 79). Peristiwa korban dalam sejarah dahsyat itu alangkah susah dipahami secara normatif. Bukti bahwa kita mencintai Tuhan adalah dengan mengorbankan sesuatu yang kita cintai di dunia. Hanya dengan cara itu cinta manusia kepada sang Khalik ditunjukkan. Ketika setan menggoda untuk melawan perintah itu, boleh jadi ada kebimbangan: mana yang lebih logis sebagai tindakan suci dan mulia?

Pemahaman manusia tentang Tuhan, seperti yang dipetik oleh GM melalui beberapa puisi para penyair, memang menggambarkan labilnya iman. Setidaknya Amir Hamzah dan Chairil Anwar menggambarkan dengan tepat. Kadang-kadang kita tenteram berada dalam genggaman-Nya, namun kita lebih sering heran dengan “keputusan” yang ditunjukkan-Nya di Bumi melalui keadilan dan pembagian rizki. Dalam renungan 40, GM mengutip ucapan para theolog Muktazilah: “Mustahil Tuhan tak adil.” Para theolog Asyairiah akan menjawab, “Tidak ada nilai yang bisa berlaku untuk-Nya.”

Di Mesir, jauh ribuan tahun yang lalu, ada seorang fir’aun yang mengaku sebagai tuhan. Padahal kemudian ia pun mati (ditelan Laut Merah). Para fir’aun tahu ada sesuatu yang terjadi pada kehidupan berikutnya, lalu mengemas diri sebagai sosok yang awet untuk hari depan. Dengan indah GM memberikan semacam dugaan: Manusia mencicil keabadian, dan pada saat itu sebenarnya ia mengetuk pintu Ketiadaan. (Renungan 82)   

Tuhan dalam agama apapun tentu dzat yang diletakkan amat tinggi dan tak terjangkau, mungkin tak hanya secara fisik melainkan juga dalam pemikiran. Konon ada seorang sufi yang tak berhasil menemukan Tuhan lalu menyimpulkan bahwa sebenarnya dirinyalah yang sedang dicari Tuhan untuk ditemukan. Melalui buku ini, GM sedang “membongkar rahasia”, bahwa setiap tulisannya memang berhenti pada posisi tak selesai.

Buku yang terbit atas dorongan Sitok Srengenge; juga Laksmi Pamuntjak yang bahkan sudah menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris ini, mungkin tak sepenuhnya memuaskan pembaca dalam hal gaya penulisan. Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai nyaris serupa dengan Catatan Pinggir. Tetapi, esai yang puitis memang khas milik Goenawan Mohamad. Bukankah: Dari pohon tepi jalan, bayang-bayang juga turun menyentuh tanah.

(Kurnia Effendi)