The Nightingale
Sitok Srengenge Tampil Sebagai Pendongeng
Setelah tampil di beberapa
Pementasan unik ini memadukan antara seorang narator dengan sejumlah musisi (terompet, flute, biola, rebab, dan perkusi) yang dipandu seorang dirijen. Jadi, pembaca narasi pun harus tunduk dengan instruksi dirijen, seperti halnya peniup terompet dan penggesek biola.
Pertunjukan yang diberi judul “The Nightingale, Chamber Music Festival” ini berlangsung sekitar dua jam dibagi dalam dua sesi dengan istirahat selama 20 menit. Masing-masing
Sebelum masuk pada pementasan, pemandu acara membuka dan mempersilakan Otto Sidharta memberikan sambutan dilanjutkan dengan Direktur Program Erasmus Huis. Proyek ini sebenarnya sudah digagas oleh Otto setahun yang lalu, namun baru teralisasi tahun ini. Seluruh permainan musik tanpa menggunakan mikrofon, betul-betul akustik, sehingga penonton dilarang “mengganggu” dengan suara dan cahaya kamera. Bahkan, seperti pengakuan Sitok Srengenge dalam obrolan sebelum naik panggung, vokalnya akan menjadi bagian dari musik, berselang-seling, diiringi, atau sama-sama berkumandang.
Sesi pertama, orkestra memainkan komposisi karya komponis Slamet Abdul Sjukur berjudul “Kutang”. Sebuah repertoar musik minimalis yang unik, penuh ekspresi tak terduga dan merupakan eksplorasi kemampuan alat musik untuk menyampaikan bunyi-bunyi yang ganjil. Mereka bermain, termasuk perkusi, ketat setia pada partitur. Di pengujung lagu, tepuk tanggan menggema dan sang komponis berkenan berdiri di depan penonton. Slamet Abdul Sjukur, maestro musik
Acara disambung dengan tampilnya Sitok Srengenge, membacakan “Petualangan-Petualangan Ajaib Baron von Munchhausen”. Sitok dalam hal ini menjadi setara dengan para pemain musik, “partitur” untuknya tercantum dalam naskah yang dibacakan. Kisah yang disampaikan sangat menarik. Hieronymus Karl Friedrich Freiherr Von Maunchhausen mungkin seorang pembual, tetapi hiperbolistik dari pengalamannya sungguh memancing tawa. Meskipun antilogika, dapat diterima sebagai dongeng yang menghibur. Kita, para penonton seperti berjumpa dengan pemabuk yang begitu lancar menjalin cerita petualangan luar biasa yang berlatar waktu tahun 1760.
Coba bayangkan perjalanan Baron sampai pada sebuah pulau ketika badai sedang berlangsung. Setiap pohon di pulau itu tercerabut oleh angin puting beliung, berputar-putar di angkasa, namun mereka jatuh kembali di lubang akar semula setelah badai reda. Hanya satu pohon buah simalakama yang kehilangan arah, karena ada sepasang suami istri yang berada pada cecabangnya dan asyik memetik buahnya sepanjang badai.
Cerita lainnya lebih seru lagi. Beberapa kali, setiap Sitok mengekspresikan suara hewan atau bunyi sesuatu yang jatuh, musik berperan mewakilinya. Kadang-kadang, ketika kisah mencapai klimaks, antara suara mulut dan iringan musik berlomba mengisi pendengaran kita, menciptakan tekstur bunyi yang riuh.
“Sebenarnya, pendengar akan merasa terganggu kenyamanannya jika semata ingin menyimak isi dongeng, karena cerita jadi seperti terpenggal-penggal,” ungkap Sitok. “Untuk itulah skrip dibuat sederhana dan sangat komunikatif. Kita tidak akan kehilangan gairah humor yang dikandungnya. Bahkan, untuk cerita berjudul “Bulbul”, banyak makna sindiran yang tersirat dan sangat cocok untuk situasi budaya tiap negeri saat ini.”
Demikianlah, setelah jeda untuk minum dan merokok di luar ruangan, sesi kedua mengetengahkan latar kisah di negeri China, dengan tokoh burung Bulbul yang menarik banyak perhatian penduduk negeri termasuk Sang Raja. Pertunjukan dibuka dengan “appetizer” dari Slamet Gundono, seorang dalang “mbeling” yang tubuhnya berukuran extra large. Ia memetik okulele sambil menembang. Di saat Sitok kembali membacakan dongeng, Slamet Gundono memainkan wayang di balik layar sesuai dengan lantunan kisah.
Petualangan Ajaib Baron van Munchhausen diangkat dari paduan musik karya Roderik de Man dan naskah Godfried Bomans. The Nightingale (diterjemahkan menjadi Si Bulbul) karya Hans Christian Andersen dengan dramatisasi teks oleh Slamet Gundono, mendapat sentuhan musik ciptaan Theo Loevendie. Karya-karya itu diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh Jaap Erkelen, diselaraskan oleh Eko Endarmoko dan Sitok Srengenge.
Pementasan yang sangat apresiatif itu, selanjutnya dipergelarkan di Bandung (CCF), Surakarta (Taman Budaya), Yogyakarta (LIP), dan Surabaya (TBJ), sepanjang Maret 2008. Ruud van Esten bertindak sebagai konduktor musik yang dimainkan oleh tujuh orang dengan apik.
(Kurnia Effendi)
2 Comments:
waaa...sayang gfak ikutan =( nampaknya seru.
gucci outlet online
christian louboutin outlet
tory burch
jordans
air jordan shoes
kate spade outlet
louis vuitton outlet
burberry outlet
coach outlet online
rolex watches
201612.24wengdongdong
Post a Comment
<< Home