Monday, August 11, 2008

Antara Politik dan Karya Sastra

3M dari Dua Sudut Pandang

 

Di atas panggung, kembali Rizal Mallarangeng menyampaikan bahwa kehadirannya dalam perhelatan sastra bukanlah untuk kampanye. Mari kita percaya saja, seraya senyum-senyum. Sebab, sang pemandu acara, ketika mengucapkan terima kasih menyebutkan di antaranya kepada RM-09. Seperti nama radio atau kesatuan tentara dalam teritori tertentu. Ternyata artinya: Rizal Mallarangeng untuk 2009.

Sebelumnya dan selanjutnya, Rizal Mallarangeng tampil secara besar dalam billboard di jalan protokol Jakarta, di seberang kantor Polda DKI. Di harian Kompas dan majalah Tempo pertengahan Juli, bersamaan dengan M. Fadjroel Rachman, menghiasi halaman-halaman berita dengan “tantangan” untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Dengan usulan yang bersemangat, bahwa kini saatnya kaum muda menjadi pemimpin.

Pada tanggal 20 Juli yang lalu, Minggu malam, sejumlah besar undangan hadir di Gedung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki. Mereka merayakan peluncuran novel karya Ayu Utami, Bilangan Fu, yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Dalam novel itu, Ayu membawa dimensi politik, dengan tawaran “spiritiualisme kritis”. Di dalamnya ia mengkritik (disebutnya sebagai otokritik) 3M yang menguasai Indonesia, sejak era Soeharto sampai sepuluh tahun reformasi berjalan.

Militerisme, Monoteisme, dan Modernisme. Itulah 3M yang dibicarakan sebagai ancaman terhadap dunia postmodern. Di masa Orde Baru, Ayu menganggap musuh utama dari kebebasan pers adalah militerisme. Memang benar, dan terjadi bagi sejumlah media massa yang dibreidel karena dianggap mengganggu stabilitas politik. Ayu Utami, setidaknya punya pengalaman itu sebagai seorang jurnalis yang turut mendirikan lembaga pers alternatif bernama Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Monoteisme yang terlalu mengejar akhirat dianggap merendahkan agama-agama lokal yang menyembah berhala. Dalam hal ini, Ayu mengartikan “berhala” secara luas menjadi alam, yang begitu dihormati oleh kaum terdahulu, sebelum Kristen dan Islam masuk. Mereka tidak dengan sewenang-wenang membabat hutan, karena menebang satu pohon pun perlu minta izin terlebih dulu. Ada “jargon” menarik dari Ayu yang dituangkan dalam novel ini, sebagai ucapan Parangjati, sang tokoh utama: “Kesalahan kaum sekular adalah membiarkan agama jatuh ke tangan kaum fundamentalis.”

Dalam sorotan Ayu, modernisme termasuk yang merusak keseimbangan alam. Modernisme selalu beriringan dengan kapitalisme dan mendasarkan seluruh tindakannya dengan ukuran ekonomi alias uang semata. Keuntungan komoditas dari perlakuan terhadap yang berlebihan: eksplorasi, pembabatan, penggalian, dan segala macam, yang akan disulap menjadi uang demi pembangunan.

Bilangan Fu merupakan novel yang sarat dengan peristiwa politik, lebur dalam perilaku manusia dan silang pendapat para tokohnya. Meskipun diakui sebagai novel yang bertema sederhana, namun isinya padat, bahkan melibatkan banyak fakta (tentang ide patriotisme yang pro pemerintah, pembunuhan kyai yang dianggap dukun santet, peristiwa pemilu, teror dan sebagainya) serta peristiwa ganjil sepanjang perjalanan politik di Indonesia. Mengenai gagasan spiritualisme kritis mungkin sedikit terlambat karena telah lebih dulu digagas oleh Dewi Lestari dalam trilogi Supernova.

Sementara itu, di malam yang cukup gempita, Rizal Mallarangeng sebagai pendukung utama launching party itu, menyampaikan 3M yang lain. Ia, sebagai politikus, juga mengaku sangat percaya dengan adanya 3M. Dengan arti dan tindakan yang berbeda tentu saja.

Money, Media, and Momentum.” Demikian ujar Rizal. Beberapa peristiwa Rizal naik panggung dikuntit oleh putranya yang masih lima tahunan. Dikatakannya, bahwa kecil-kecil ia Mallarangeng juga, tidak tahan melihat panggung. Tentu saja audiens tertawa dengan kelakarnya itu.

Jadi menurut Rizal, politikus tidak dapat melepaskan diri dari 3M jika ingin berhasil. Siapapun yang terjun ke dunia politik harus memiliki uang (money). Biaya untuk menahbiskan diri di mata khalayak sebagai tokoh tidaklah murah. Lantas, gerakan dan aktualisasinya harus disampaikan melalui media. Tanpa peran media, bagaimana mungkin dapat mencapai wilayah pengaruh yang luas. Dan yang terakhir adalah momentum. Putaran peristiwa yang menggulung dirinya menjadi semakin besar agar tak terhentikan hanya dapat ditempuh dengan memanfaatkan momentum.

Apakah kini Rizal sedang berada dalam momentum itu? Mungkin saja. Dengan sumberdaya keuangan dari mana pun asalnya, ia mulai bekerja. Salah satu kecerdasannya digunakan untuk mengakrabi komunitas sastra. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejumlah sastrawan pernah terlibat gerakan politik yang juga berkontribusi membesarkannya. Katakanlah Goenawan Mohamad dan Mochtar Loebis (dalam lembaga Manifesto Keboedajaan), Pramoedya Ananta Toer (dalam Lekra), Taufiq Ismail (angkatan 66), Rendra (melalui puisi pamflet), sampai generasi muda yang menjadi korban penculikan: penyair Wiji Thukul.

 “Seni memang tidak boleh dipaksa membawa suara politik. Tapi seni bisa berpolitik.” Demikian menurut Rizal. “Di dalam keduanya tersirat bahwa tidak mungkin seni dan politik berada bersama-sama tanpa yang pertama dikuasi yang terakhir.”

Barangkali hanya secara kebetulan saja antara selesainya novel Ayu Utami dengan bergulirnya politik kaum muda Indonesia ini bertepatan. Itulah yang disebut dengan momentum. Media terundang dan secara sukarela maupun pamrih akan membawa keduanya dalam berita yang tersiar ke pelbagai penjuru.

Dalam buku pengantar peluncuran Bilangan Fu, Rizal menulis demikian: “Bilangan Fu adalah novel bertendens. Yaitu, novel yang memiliki pesan. Secara khusus, seperti diakui pengarangnya, pesannya adalah spiritualisme kritis. Apapun itu, secara umum, artinya ia berpolitik. Seperti Sutan Takdir Alisyahbana membawa ide modernitas dalam karya-karyanya, atau Pramoedya membawa ide humanisme dan realisme sosial.”

Tendensi pada akhirnya sah-sah saja. Dahulu, di masa sebelum merdeka, ranah Sumatera banyak melahirkan novel-novel bertendens, dengan isu kawin paksa. Dulu dan kini gerakan politikus juga bertendens. Ada tujuan yang jelas dan untuk mencapainya akan mencari kendaraan yang sesuai, dianggap paling cepat, dan menghasilkan sinergi.

Mudah-mudahan pemikiran kaum muda ini betul-betul murni dan terlepas dari unsur “balas dendam” yang hanya akan membuat negeri ini menjadi kue yang digilir untuk dinikmati oleh kepentingan golongan. Bagaimanapun dalam situasi yang chaos dan ribut, mengutip Ayu Utami, kita mendapatkan keseimbangan melalui bilangan fu, yang bersumber dari konsep 0 dan 1. Konsep jiwa alias suara ruh (napas). Penuh sekaligus kosong, kata Ayu, tidak terbatas, tidak rasional.

(Kurnia Effendi)