Friday, August 08, 2008

Kartun pun "Bicara" Lingkungan

Kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup yang sehat sudah seharusnya diwujudkan dengan tindakan nyata. Siapa lagi kalau bukan kita, manusia, yang harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, karena kita pula yang telah menyebabkan rapuhnya Bumi ini.

Kampanye peduli lingkungan bermula dari negara-negara maju, yang paling banyak berkontribusi terhadap pencemaran. Global warming, setidaknya sepanjang lima tahun terakhir telah menjadi isu utama dalam pelbagai aksi bersama. Kita tahu lebih dari dua puluh tahun yang lalu, efek rumah kaca akan mengakibatkan pemanasan global.

Sebenarnya ada prinsip dasar untuk terpeliharanya Bumi, yakni dengan tidak melawan kodrat alam. Upaya memanfaatkan materi alam tanpa mengganggu ekosistem dan ekologi dijamin memberikan kemaslahatan luas bagi umat manusia. Namun perilaku dan sifat tamak manusia yang menyebabkan kita lupa terhadap hak anak cucu atas hunian sehat.

Pencemaran akibat laju gerakan industri, eksplorasi besar-besaran terhadap kandungan isi Bumi demi kepuasan hedonisme, eksotisme yang diperoleh melalui buruan hewan-hewan langka, penggundulan hutan untuk perangkat perumahan yang melebihi fungsi wajarnya, pembuangan limbah kimia yang mengambil jalan pintasBukankah itu semua akhirnya kita konsumsi kembali dan perlahan-lahan mengundang penyakit?.

Jika kita merenung, membayangkan seluruh pencakar langit dibangun dengan materi dalam Bumi, mulai dari besi, beton, kaca, sampai plastik; betapa sesungguhnya tanah yang kita pijak ini sudah tidak masif lagi. Udara kotor itu kini berlomba memasuki paru-paru, mempercepat singgah bibit penyakit. Langit yang berpayung lubang-lubang ozon sebenarnya bukan lagi kabar baru. Dengan perubahan iklim yang sulit diduga, karena sebagian es kutub mencair, konsekuensi yang kita terima adalah pasangnya air laut yang kemudian merendam kota-kota di pesisir.

Dalam suatu simulasi perilaku manusia efektif  7 Habit”, Stephen Covey memberikan contoh sinergi. Diperankan oleh dua orang, kebetulan lelaki dan perempuan, masing-masing mewakili pihak yang berbeda. Sang wanita adalah pejuang lingkungan yang melakukan protes terhadap pelaku industri. Sang pria digambarkan sebagai teknokrat yang menghamba pada kemajuan teknologi. Keduanya berdebat mempertahankan pendapat, dengan argumentasi yang dianggap benar. Namun pada akhirnya, melalui tahap “mendengar secara empatik” dan berpikir win-win solution, diperoleh jalan tengah berupa sinergi. Pada dasarnya teknologi terlahir atas survive manusia menghadapi alam dan bertujuan memudahkan cara hidup. Namun demikian, tidak harus berlebihan sehingga hanya memberi kenyamanan atau kemewahan segelintir orang dengan cara merusak dan tidak memikirkan pemeliharaan sumber dayanya.

Dapat disimpulkan, apabila usaha eksplorasi seimbang dengan usaha peremajaan, akibatnya tidak akan sefatal sekarang. Mungkin saat ini dianggap terlambat, tetapi tentu lebih baik ketimbang tidak peduli sama sekali. Oleh karena itu, setiap negara mencoba berhimpun untuk selalu mencari jalan keluar menuju penyelamatan Bumi. Salah satunya dengan agenda tahunan konferensi perubahan iklim.

Sementara itu World Bank membiayai usaha konservasi binatang yang nyaris punah sebagai penghuni rimba, salah satunya harimau. Menyelamatkan penghuni hutan tanpa melestarikan hutan, tak akan ada gunanya. Negara-negara yang masih memiliki harimau, di kawasan Asia termasuk Indonesia, aktif menjalankan misi ini.

Di Pontianak ada beberapa penangkaran ikan arowana golden red demi mempertahankan keturunannya yang semakin sulit dicari di hulu Sungai Kapuas. Di satu sisi, budidaya itu menjadi mulia karena memperpanjang usia ikan cantik yang banyak menghiasi akuarium orang-orang kaya. Di sisi lain menjadi bagian dari bisnis yang menggiurkan dan diekspor demi uang semata.

Sudah seharusnya memelihara lingkungan menjadi kewajiban kita bersama. Setiap profesi berperan sesuai dengan bidangnya. Bagi pedagang, misalnya, seminimal mungkin menggunakan bahan-bahan plastik yang sulit hancur dalam puluhan tahun kecuali untuk didaur ulang. Bagi pegawai kantor harus mulai hemat dalam penggunaan kertas karena bahan bakunya telah menghabiskan berjuta-juta hektar hutan. Pemakaian bahan bakar yang polutannya rendah lebih baik dan para produsen mobil harus mencari teknologi baru yang lebih sehat.

Bentara Budaya mengambil kesempatan “berkampanye” mengenai lingkungan hidup dengan cara memamerkan karya kartun bertema “Eko-munikasi”. Paduan antara kosa kata ekologi/ekosistem dan komunikasi.

Kartun-kartun yang dipamerkan 11-17 Juli itu merupakan karya-karya putra Indonesia terbaik, yang banyak meraih kejuaraan dalam kompetisi kartun internasional. Mereka adalah Jitet Koestana, GM Sudarta, Tommy Thomdean, Muhammad Nasir, Didie SW, dan Hanung Kuncoro. Seluruh gambar mereka “bicara” tentang lingkungan. Dengan kartun, setiap kritik bersifat parodi. Kehancuran dan pencemaran lingkungan digambarkan secara ironik. Meskipun yang diincar oleh dramatisasi kondisi Bumi adalah kesadaran terdalam kita, ditampilkan dengan mengundang senyum kecut.

Keenam pekartun menyampaikan gagasan dengan visual yang kuat dan berkarakter. Pesannya tersampaikan dalam sekali pandang dan menohok perasaan kita sebagai penghuni Bumi. Teknik, sudut pandang, tema, dan ekspresi yang kaya akan makna itulah yang membuat para juri internasional memenangkan karya mereka di sejumlah negara. Mereka cukup membanggakan dalam kompetisi antara lain: Editorial Cartoon Contest Canada 2007, Cordoba  International Cartoon Competition 2007, Seoul International Cartoon Festival 1997, Grand Prize Tehran Cartoon International Biennal 2007 (untuk Jitret Koestana), Amazon Forest Brazil Cartoon Contest 2007, Best Cartoon Urbanization and Life India 2007, 1st Prize World Press Cartoon Portugal  2007 (untuk Thomdean), Best Cartoon of Nippon Omiya City 2002, Gold Prize Taiyo No Kai 2004 (untuk GM Sudarta), Surgun Karikaturlery Turki 2007 (untuk Didie SW), Honorable Mention  The Yomiuri Shimbun, Japan 1992 (untuk Muhammad Nasir).

Menurut Efix Mulyadi dalam pengantar pameran yang dibuka oleh Duta Lingkungan Indonesia, Valerina Daniel, bahwa dalam seni kartun, dari sisi berwajah humor pesan-pesan pro lingkungan yang mereka usung mendapat bentuknya yang unik. “Ia bisa mengkritik secara pedas, namun dibalut dengan semangat kejenakaan.”

Demikianlah, dengan cara berselubung komedi, para pekartun berperan aktif dalam kampanye lingkungan. Selayaknya kita dengan kemampuan masing-masing tak perlu menunggu sampai seluruhnya terlambat.

(Kurnia Effendi)