Tuesday, August 05, 2008

Golput, Anak Kandung Sistem Politik

Di masa lalu, golput (golongan putih) muncul sebagai bentuk oposisi. Mereka berdiri seolah netral, namun sesungguhnya membawa peran oposan. Umumnya lantaran tidak setuju dengan misi dan visi yang sepanjang kampanye disuarakan oleh partai. Sebagian dari mereka memiliki pendapat yang berbeda tetapi secara kekuatan politik tidak mendapatkan dukungan. Sebagian lagi berdiri di luar garis didasari apatisme, atau bahkan sikap apriori, tidak ingin membuat perubahan apa pun.

Kondisi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini, tepatnya sejak meletus era reformasi yang ditandai terbukanya keran demokrasi, justru tidak menunjukkan kebaikan sesuai harapan. Kebebasan berpendapat terasa kebablasan, sehingga satu sama lain tidak saling menghormati. Tiga elemen penting dalam sistem pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) bekerja bukan lagi untuk rakyat tetapi lebih kepada kepentingan pribadi dan golongan.

Dalam sebuah perbincangan di radio swasta Indonesia, yang terhubung dengan Radio ABC Australia, pendapat Nuim Mahmud  Hayat sangat menarik. Sebenarnya ia menjawab pertanyaan dari pendengar yang khawatir karena tidak lagi menemukan calon pemimpin yang dapat dipercaya. Nuim Hayat mengatakan, bahwa sesungguhnya dalam setiap generasi ada anak bangsa yang dapat tampil sebagai pejuang pembela rakyat. Persoalannya, sering kali regenerasi itu dihambat oleh para politikus tua yang tak mau segera turun tahta.

Nuim memberikan ilustrasi dengan mengambil contoh John Howard, Perdana Menteri Australia. Gajinya sebagai perdana menteri tidak sebesar jika dia memilih bekerja menjadi pengusaha. Sebagai politikus, ia sering dipanggil menjadi pembicara dalam forum-forum dialog internasional dengan honor yang melebihi gajinya sebagai perdana menteri, tetapi mengapa dipilihnya tugas menjadi pengelola negara perserikatan? Ia terpanggil dalam tugas untuk kesejahtraan rakyat.

Jauh di masa lalu, ada seorang anak lelaki yang selalu mendapat kekerasan dari ayahnya sampai dia merasa minder dalam lingkungan sosialnya. Tetapi sang ibu memberinya motivasi yang membuatnya ingin membuktikan bahwa kelak dirinya akan menjadi orang yang dihormati. Benar, dia menjadi sarjana cum laude dan di ujung kariernya duduk sebagai Presiden Amerika Serikat. Dialah Bill Clinton.

Hal yang hendak digarisbawahi bukanlah semata perjuangannya yang mengagumkan, tetapi kecemasannya menjelang turun dari kursi presiden. Ia khawatir tak akan sanggup menghidupi keluarganya dengan tingginya pajak dan biaya hidup di Amerika bila negara tak lagi menjamin. Tetapi, buku biografinya yang laku keras mendatangkan royalti untuk menjalani hidup sebagai mantan presiden.

Apa pesan moral yang didapat dari contoh-contoh di atas? Korupsi di Indonesia telah membuat seorang pejabat memiliki kekayaan yang melebihi pendapatan resmi dari jabatannya. Ini menunjukkan bahwakursi” yang diperjuangkan secara habis-habisan bukan untuk kepentingan rakyat, meskipun dalam pidato kampanye berbusa-busa selalu atas nama rakyat.

Dulu, mungkin, seorang koruptor akan malu-malu menunjukkan hasil korupsinya kepada khalayak, sehingga lebih senang tersimpan dalam bentuk deposito bank. Kini semua tampak transparan dan terang-terangan (dalam arti negatif), para petinggi negara sampai ke tingkat jabatan pelaksana, dengan istilahberjamaah”, sama-sama menjarah kekayaan negara yang notabene berasal dari pajak rakyat.

Mari kita lihat contoh menarik. Pernah ada seorang tentara dengan pangkat di bawah perwira. Suatu hari rumahnya kecurian. Ketika melapor kepada polisi, disebutkan barang-barang yang hilang meliputi benda-benda dengan harga mahal, termasuk sebuah mobil yang tak akan sanggup dibeli dengan gajinya selama bertahun-tahun. Boleh jadi harta itu merupakan hibah dari orang tuanya yang kaya raya.

Contoh lain, seorang jaksa mampu menjadi anggota klub golf dan beberapa kali main golf di luar negeri. Kita yang awam saja bisa menghitung, berapa harga satu set alat golf dengan kualitas terbaik, berapa iuran menjadi anggota sebuah klub golf, berapa biaya bertandang main ke mancanegara. Mengapa kita seperti orang yang tidak rasional ketika menghadapi kenyataan yang tak perlu disangsikan ini? Apakah tidak etis bila menanyakan asal-usul seluruh biaya entertainment dalam penyidikan perkara bagi tersangka penyeleweng uang negara? Bukankah hitung-hitungannya sangat sederhana?

Dari yang sederhana dibuat pelik, dari yang jelas dibuat kabur, dari yang mudah dibuat sulit; hal itu terjadi berulang-ulang dan tak tuntas; telah membuat rakyat kian tidak percaya. Keruntuhan kepercayaan itu mula-mula kecil saja, namun lambat-laun serupa bola salju karena keadilan yang ditunggu-tunggu tak kunjung sampai. Justru kenyataan akhir-akhir ini membuktikan bahwa para penegak hukum, wakil Tuhan di Bumi dalam urusan sebagai penegak keadilan, juga bermain uang.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah pimpinan Antasari Azhar patut diacungi jempol karena maju terus pantang mundur. Ujian yang dihadapi kali ini menyangkut penyidikan terhadap Aulia Pohan yang dicurigai mengatur aliran dana dari BI ke DPR. Mudah-mudahan langkahnya tidak tersandung di situ. Jika KPK akhirnya gagal menjalankan misi sucinya, rakyat akan kehilangan pegangan.

Mari kembali kepada penyebab meningkatnya jumlah golput. Maraknya partai politik (secara resmi telah diumumkan 34 partai politik yang akan bersaing dalam pemilu 2009) tidak hanya memecah-belah suara yang semula solid, namun juga membingungkan rakyat. Aspirasi mereka tidak lagi bulat ditampung oleh satu partai politik, melainkan tercabik di sana-sini. Hal ini terjadi karena sejarah pembentukan partai merupakan akibat terpecahnya suara internal, ketidakcocokan pendapat para pendiri atau pelaksana puncak organisasi politik.

Apabila tokoh panutan keluar dan membentuk partai baru, pengikutnya pun akan berubah haluan. Kalau kemudian partai baru ini ingin unjuk diri dengan perbedaan visi (separuh dari visi semula), para pengikutnya mungkin mulai dihinggapi perasaan bingung. Finalnya, andaikata ketahuan bahwa yang dicita-citakan adalah pundi-pundi uang saat meraih kursi wakil rakyat, lunturlah sudah simpati dan kepercayaan pendukung terhadap konstituennya.

Akhirnya, rakyat seperti sedang belajar hal-hal buruk dari para tokoh yang awalnya dikagumi. Bagi yang ingin mengambil bagian dari pesta dekadensi moral (menurut istilah Bung Karno dulu), tentu mengikuti arus politik tanpa peduli hendak dibawa ke mana negara ini. Berbeda dengan sekelompok besar orang yang bersikap tidak ingin hanyut segera mengambil posisi sebagai golput.

Golput bagi mereka yang meyakininya mungkin sebuah jalan tengah. Barangkali juga cara untuk protes terhadap “ayah kandungnya”, sistem politik yang sedang berjalan. Persoalannya, protes yang tidak memberikan pencerahan kepada rakyat akan menambah jumlah masalah dalam roda pemerintahan. Sebab, biasanya, akan ada pihak yang mengambil keuntungan dengan manipulasi suara. Golput akan mengaburkan jumlah penghitungan suara dalam pemilu legislatif. Jadi, untuk menjadi golput pun perlu pertimbangan matang.

(Kurnia Effendi)      

 

 

 

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home