Tuesday, August 12, 2008

Menggagas Calon Anggota Legislatif Ideal

Dalam sebuah survei kepemimpinan yang pernah dilakukan oleh lembaga John C Maxwell kepada 10.000 responden dari berbagai negara, menghasilkan tiga kriteria idaman untuk seorang yang patut mengemban aspirasi. Bisakah Anda menebak kira-kira apa saja? Tiga aspek atau sifat utama yang diharapkan sesuai urutan teratas adalah: jujur (integrity), berwawasan ke depan (vision), dan kompeten. Banyak syarat lain sebenarnya, seperti misalnya inovatif, smart, membangun semangat, penuh perhatian, bertanggung jawab, sabar, kharismatik, dan seterusnya. Namun demikian, kenyataannya, dari sampel seluruh dunia, sifat jujur menjadi puncak harapan setiap orang.

Pertanyaannya, masih adakah orang jujur di Indonesia? Mari kita tanyakan kepada diri sendiri dulu, apakah sudah cukup sikap integritas yang menghuni jiwa raga ini? Bila yakin secara moral, norma, maupun standar universal yang berlaku, bahwa diri ini jujur…apa salahnya maju mencalonkan sebagai anggota legislatif?

Mencari pribadi jujur saat ini barangkali serupa mencari sebatang jarum di antara tumpukan jerami. Sangat sulit. Namun harus tetap optimis, bahwa pada generasi chaos ini masih ada yang dapat diandalkan integritasnya. Sebetulnya cukup sederhana menerjemahkan integritas, yakni seseorang yang mengerjakan setiap yang diucapkannya. Work the talk! Artinya, segala yang disampaikan sebagai janji akan dilakukannya untuk bukti. Bukan untuk diingkari.

Indonesia memiliki 240 juta jiwa penduduk. Dikurangi golongan usia lanjut dan anak-anak, masih cukup banyak manusia produktif yang dapat dipertimbangkan. Dikurangi sejumlah besar pejabat lama maupun baru yang mungkin menjadi pelaku tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme, bahkan yang terkontaminasi sebagai “jamaah”nya. Rasanya tak mudah untuk menyaring sampai benar-benar bertemu dengan manusia pilihan, karena kita tahu, sampai pada usia mahasiswa, tak seluruhnya menggunakan kejujuran sebagai alas perilaku sehari-hari. Dapatkah kita menyandarkan harapan kepada kaum muda yang menyia-nyiakan waktu belajarnya untuk kabur dari kelas, tersuruk pada narkoba, dan menghanyutkan diri dalam seks bebas di tempat kos?

Kaum muda seperti itu sulit untuk jujur, karena yang pertama mereka lakukan adalah “menipu” orangtuanya. Kalau semudah itu mereka menghabiskan biaya untuk melakukan tindakan sia-sia, terlampau riskan meletakkan sebuah hari depan bangsa di atas pundaknya. Bisa jadi mereka cerdas, kreatif, tetapi dikhawatirkan tujuan amanahnya tak tercapai.

Baiklah, mungkin kejujuran memang sesuatu yang terletak di ujung menara gading. Tiada satu manusia pun sempurna. Boleh saja itu menjadi bagian masa lalu yang terobati oleh keinsafan seiring usia dan nalar yang mereka peroleh untuk menggapai cita-cita pribadi yang sempat terbengkalai. Sejarah muram sepanjang itu lantaran kemiskinan, ketakberdayaan, tampak lebih mulia ketimbang ketersesatan yang justru dibentuk oleh gelimang kekayaan. Apalagi tanpa diimbangi pendidikan moral yang bersifat teladan dari orang tuanya. Bolehlah kita menengok syarat kedua.

Memiliki wawasan ke depan, menjadi basis berikutnya dari seorang pemimpin atau wakil rakyat. Seseorang yang tak punya visi, akan mendapatkan dua hambatan sekaligus. Pertama: tidak fokus, pikirannya bercecabang, semua tampak penting atau sebaliknya tak ada yang penting. Kedua: dalam meraih tujuan yang samar-samar, tidak disertai akselerasi yang kuat. Jika kita telah menetapkan end in mind sebagai target alias cita-cita yang hendak diraih, tentu serta-merta semesta mendukung (mestakung). Kita harus belajar mengawali segala sesuatu dengan “tujuan akhir”. Rencana menjadi penting, bukan sekadar diucapkan di atas panggung kampanye, tetapi dijadikan blue print untuk dapat dilaksanakan secara bahu-membahu dengan segenap masyarakat. Bila seluruh planning disampaikan secara transparan, sehingga diketahui manfaatnya bagi rakyat banyak, semua pihak (birokrat maupun profesional) tak akan segan-segan membantu untuk merealisasikan. Dengan demikian akselerasi pun terjadi. Percepatan, pertumbuhan, progres, deret ukur, atau apa pun istilahnya, semua akan bergerak ke depan.

Berikutnya, syarat kompeten. Ini merupakan gabungan antara kemampuan, tanggung jawab, sekaligus konsentrasi terhadap kinerja yang menjadi tugasnya. Dalam sebuah wilayah yang sebagian besar penduduknya menderita oleh virus penyakit—sebagai  contoh—tentu perlu seorang dokter atau jururawat. Di situ dituntut kompetensi seorang paramedis. Mereka harus merupakan tim yang akan bekerja siang-malam untuk menyelamatkan banyak jiwa dengan tetap mempertahankan daya tahan pribadi dan tidak pandang bulu siapa pun yang sedang dalam perhatiannya. Mereka akan bersaing dengan waktu, melakukan tugas dengan kualitas kerja terbaik, dan tidak mengukur imbalan yang akan diterimanya sebagai jasa.

Pertanyaan berikutnya, masih adakah dalam diri calon anggota legislatif sikap tanpa pamrih dalam bekerja? Ketika mewawancara Nova Riyanti Yusuf (dokter yang sedang menempuh spesialisasi psikiatri), tumbuh rasa lega, karena pernah dikatakannya bahwa partai politik bukan tempat untuk mencari uang. Kesadaran ini patut digarisbawahi, mengingat adanya citra negatif tentang parpol yang “diperalatuntuk menghimpun dana besar. Itikad baik untuk menyehatkan bangsa melalui kinerja parpol, mewakili sejumlah masyarakat yang menitipkan suara letihnya atas carut-marut ekonomi dan politik selama ini, harus tetap dijaga sampai ke Senayan. Kursi yang disediakan bagi wakil rakyat adalah kursi mulia yang semestinya bersih dari keinginan meraup kekayaan pribadi.

Terus terang rakyat sudah nyaris putus asa mencari calon yang memiliki tiga kriteria utama seorang pemimpin. Kelik Pelipur Lara, seorang komedian yang pernah meramaikan acara Republik Mimpi di salah satu stasiun televisi, sempat berseloroh: DPR sebagaiDewan Penggemar Rupiahdan DPD sebagaiDewan Penggemar Duit”. Ah, sama saja, bukan? Mudah-mudahan sentilan itu segera menghentikan semua praktik yang telah menghancurkan citra lembaga itu.

Dalam sebuah dialog, terdapat kecenderungan, bahwa kualitas calon anggota DPD “di atas kertaslebih baik ketimbang calon anggota DPR. Dari sisi pendidikan misalnya, DPD lebih banyak menghimpun alumni S2 dan S3. Barangkali yang sangat perlu diwaspadai adalah kebenaran legalitasnya. Kita ingat, wabah ijazah palsu pernah merambah para wakil rakyat itu, termasuk gubernur. Sungguh mengerikan bila hal itu terulang kembali, membuat nilai kepercayaan kaum yang diwakili menjadi runtuh kembali. Wawasan dan kebijakan dalam memandang persoalan bangsa, kadang-kadang tidak memerlukan seorang lulusan doktoral. Pengalaman dan kemampuan merangkum realita dengan solusi-solusi yang paling masuk akal dan mudah dilaksanakan, biasanya lahir dari orang-orang yang cerdas oleh kematangan dalam menghadapi berbagai perkara keseharian. Ia cerdas secara lingkungan dan lebih membumi.

 Mari, berpijak pada optimisme positif dan terkendali, untuk sekali lagi meneliti kualitas calon wakil rakyat. Sepatutnya ia menjadi teladan dalam masyarakat sekitar sejak skala terkecil. Mencari yang ideal tentu tak mudah. Tetapi sejak awal kita harus menggagas yang ideal agar tak terlampau jauh dari harapan. Dan jangan lupa, sesudah ia terpilih nanti, kita wajib menjaga kelurusannya. Karena amanah telah kita percayakan di atas kedua bahunya.

(Kurnia Effendi)