Wednesday, August 13, 2008

Menikmati Proyek Residensi "Landing Soon"

Penjelajahan kreativitas belum tentu menemukan sesuatu yang luar biasa dan menggegerkan dunia. Justru lebih sering membuat kita merenung karena yang muncul hal-hal sederhana tetapi unik untuk dinikmati. Bagi seorang seniman, yang memandang segala sesuatu, baik proses maupun hasil sebagai tak biasa, barang-barang yang telah dibuang karena sudah out of date, bisa menjadi tema. Itulah salah satu konsep yang ditampilkan oleh Angki Purbandono dalam”Landing Soon“ (#1 dan #2) di Erasmus Huis.

Angki tidak sendiri. Ia bersama dengan sejumlah seniman antara lain: Arya Pandjalu, Lieven Hendriks, dan Sara Nuytemans (Landing Soon #1). Dalam pameran bersama, mereka didampingi karya-karya Ingrid Mol, Quinten Smith, dan Handy Hermansyah (Landing Soon #2). Pameran ini merupakan kerjasama antara Indonesia dan Belanda, hanya menampilkan para pekerja seni dari kedua negara.

Dulu, sepanjang 350 tahun Indonesia dijajah Belanda, sepanjang itu pula akulturasi terjadi. Penjajahan memang mengandung penindasan. Feodalisme yang terekam dalam sejarah panjang hubungan antara kaum juragan dengan buruh, kaum ningrat dan jelata, atau para Belanda dan pribumi, masih mewarnai karya seni kita.

Namun tidak selamanya itu menjadi jejak yang dipertahankan. Banyak kaum muda yang kemudian memberontak dari kondisi itu. Modernisme yang masuk belakangan punya pengaruh cukup kuat pada perkembangan seni di Indonesia. Terutama karena akses karya lukis Eropa dalam aliran-aliran baru masuk begitu deras ke Asia. Bahkan Van Gogh, salah satu penganut ekspresionisme Belanda, karyanya pernah memberi warna pada perkembangan seni lukis modern Indonesia. Setidaknya Affandi mengambil nafas yang sama.

Aliran Romantisme juga pernah mendera di zaman Orde Baru, ketika para pelukis begitu asyik memindahkan wajah tokoh dalam karakter yang agung ke atas kanvas. Basuki Abdullah salah satu pembawa genre itu. Namun demikian gaya anak muda kini, sebagaimana yang terjadi pada tradisi musik, sudah mulai terpecah belah menjadi banyak aliran. Segala macam spirit diserap kemudian dituangkan kembali dengan kebebasan berkreasi, baik dari media maupun materi yang digunakannya. Mungkin dari ”perkawinan” antara seni lukis, patung, fotografi, dan teknik konstruksi, telah melahirkan seni instalasi (sebuah aliran yang datang seiring dengan puisi bebas dalam ranah sastra).

”Landing Soon”, tema yang digelar oleh Erasmus Huis mengusung sejumlah cara melukis. Sekali lagi, bukan sebuah revolusi bentuk dan teknik, tetapi hanya keragaman yang memperkaya khazanah seni rupa. Ingrid Mol menggunakan langgam komik, dengan gaya mirip Tintin (Herge) yang diberi warna datar (flat), polos, dan masif. Teknik pewarnaan seperti ini bisda dilakukan dengan komputer atau percetakan, mudah diubah sesuai selera. Tidak terlihat dimensi, karena tidak menggunakan nuansa untuk menghidangkan kedalaman. Gaya seperti ini sebetulnya merupakan kekayaan spiritual Timur (seperti yang berkembang di Bali).

Dalam esai pendeknya, Farah Wardani, menggarisbawahi karya Ingrid Mol dengan 4 aspek: narasi, gambar, objek, setting (latar). Jelas sudah, bahwa kita sedang memasuki dunia storyboard, karena sejatinya Ingrid memang senang bercerita dalam bentuk gambar.

Lieven Hendriks mengambil stilasi dari hasil penglihatannya. Ia cenderung menyederhanakan bentuk. Mengambil nafasnya saja untuk dipajang sebagai sebuah inti persoalan. Menurut Frank Koolen, ”Mata ini seakan-akan melihat sesuatu yang baru, tapi sebenarnya sesuatu yang sudah tua setua penglihatan itu sendiri. Tangan kiri mampu menulis lebih bagus daripada tangan kanan yang tua dan bagus. Telinga mampu mendengarkan suara-suara yang berbeda, namun kurang jelas apakah yang terdengar bukan hanya sekadar gema. Ya, ini adalah hari yang aneh. Aroma kopi terasa sangat buruk namun rasanya sangat luar biasa nikmat. Dan ketika ia meliongok keluar jendela, awan tampak terbalik...”

Absurditas? Mungkin, tetapi bukan berarti absolut absurd. Ia merekam gema, ia mencuri ruhnya saja. Sekelompok perupa dari Bali dan Yogya yang pernah berpameran bersama dalam tajuk ”Menanam Padi di Langit” juga sesungguhnya melakukan dekonstruksi bentuk, bahkan peristiwa.

Handy Hermansyah bermain-main dengan buah. Eksperimantasi seperti ini juga bukan hal baru, mengingat dunia advertising telah melakukannya dengan lebih kaya. Bermain, mungkin tersenyum sendiri, membayangkan hal-hal yang tak senonoh, menjadi bagian dari proses kreatif yang bukan sekadar berhenti diruang bermainatau khayalnya saja. Ia asyik di dapur atau di kebun sayur. Cukup kepadanya diberikan terong, sawi, pisang, melon, kacang panjang, timun, rambutan, kentang, salak, semangka, papaya, ikan mujairjadilah ia kanak-kanak abadi yang tekun. Di balik bingkai, setelah simbol-simbol itu dibuat dari sebuah perikehidupan, kita memandangnya dengan tertawa. Ia mengabadikan dengan semangat bermain. Warna-warna itu tampil natural, bahkan cemerlang, dalam foto yang tajam.

“Handy menggali konsep artistik yang secara spesifik berhubungan dengan lokasibarusebagai tempat ia tinggal dan bekerja: Yogyakarta,” kata Agung Hujatnikajennong, seorang perupa generasi muda, yang mengetahui Handy sebelumnya bermukin di hawa sejuk Bandung. Sudah sejak awal Handy berencana menggunakan fotografi sebagai medium untuk proyek residensi ini.”

Jadi, proyek residensi “Landing Soon” ini telah dua kali diselenggarakan dengan dua tim seniman terpilih. Sebagai proyek tentu saja tidak melulu hasil akhir yang diperbincangkan, melainkan sejak berupa konsep. Proses pun menjadi luar biasa penting, lantaran di sanalah perbenturan pemikiran pro dan kontra baik dalam dirinya sendiri maupun dengan pihak-pihak luar terjadi. Sering kali, gagasan awal yang telah bermukim lama di rongga kepala akan serta-merta berubah, mengalami revolusi, dan menunjukkan hasil yang berbeda. Oleh karena itu friksi yang tajam justru diperlukan untuk mendapatkan letupan-letupan baru.

Dalam proyek ini Sara Nuytemans menggarap banyak peristiwa ekstrem. Misalnya ia menemukan sebuah toko yang nyaris roboh hanya disangga dengan beberapa batang bambu. Tampak di situ ada keajaiban yang hendak diperlihatkan dari sebuah kesederhanaan pola pikir masyarakat yang tidak merujuk pada perasaan cemas. Sara juga mencampuradukkan antara produk industri dengan hasil kerja tradisi. Ia mencoba menangkap ekspresi manusia dari yang mengusik pikirannya.

Bagaimanapun, eksplorasi semacam itu mengasyikkan.

(Kurnia Effendi)