Tuesday, October 14, 2008

Feby Indirani Menunggu September

Ketika ditanya kapan menikah, Feby menjawab: ”Maunya sih September.” Ketika lebih jauh diminta penjelasannya, mengapa September, dengan sedikit berseloroh ia beralasan: ”Mungkin karena aku menggemari lagu ’September Ceria’-nya Vina Panduwinata.” Ah, itu lagu lama, yang ternyata masih menjadi favoritnya.

Demikianlah, Feby Indirani, yang lahir di Jakarta, 15 Februari (sehari setelah Valentine’s Day) 1979, pribadi yang santai dan mengalir mengikuti irama hidup. Sebagai alumnus Jurusan Jurnalistik di Universitas Padjadjaran Bandung, digelutinya bidang pekerjaan yang sesuai dengan hobi dan pendidikannya.

Ia pernah bergabung di Koran Tempo, sebelum kini bekerja di Majalah Business Week edisi Indonesia. Job title-nya seolah-olah ’sangar’, menurutnya. Senior reporter. ”Itu karena kami tak punya junior reporter aja, haha.” Sebaiknya jangan dipercaya celoteh Feby itu. Ia memang andal dalam pekerjaannya sebagai jurnalis, jadi sudah sepantasnya mengemban tugas dan jabatan itu.

Sejak tahun 2006, Feby telah menerbitkan buku. Simfoni Bulan, novel debut pertamanya, dan laris penjualannya. Dalam novel itu, tokoh utamanya menjalani eksperimen sebagai pelacur demi sebuah riset karena ingin menulis tentang perjalanan hidup seorang ’kupu-kupu malam’. Namun akhirnya terjerat masalah cinta dan kepelikan persoalan lain yang membuat sang tokoh sempat mencari ketenangan di India.

Pada tahun yang sama, atas kepercayaan Gagas Media, Feby menulis novel adaptasi film Cewek Metropolis. Selanjutnya Lantai 13 (2007), Gerimis (2007). Dan yang terakhir terbit adalah buku Model Portfolio: Semua yang Perlu Kamu Tahu untuk Jadi Model (2008). ”Aku membantu Arzetty Biblina yang top model itu.” Feby menjelaskan.

            Jadi, apa lagi yang mau ditulis dalam waktu dekat? ”Saat ini sedang mau menyelesaikan daftar ‘yang ingin ditulis’ yang belum selesai-selesai. Jangan disebutin dulu ya, pamali takut makin gak jadi, hehehe.”

            Ketika ditanya kesan terindah sepanjang hidupnya sebagai wartawan, Feby tidak menemukan peristiwa yang tepat. Menurutnya, sebagai wartawan selalu bertemu dan kenalan dengan banyak orang. Itu yang menyenangkan. Karena dapat belajar banyak hal meski dari sedikit demi sedikit. “Satu hal, jadi wartawan mesti tebel muka, memberanikan diri mengajukan pertanyaan meskipun bakalan keliatan bodoh,” Feby mengaku.

            Nah, akhirnya Feby teringat sesuatu. “Kalau pengalaman yang bikin bingung dalam pekerjaan, kayaknya ada, yaitu habis wawancara malah dirayu narasumber. Diajak jalan huahaha… Bingung jawabnya, euy!”

            Itulah risiko menjadi dara imut, cantik, dan pintar sekaligus. Feby memang patut menjadi sahabat yang baik karena mudah bergaul. Modal utama wartawan, tentu saja. Ia mengaku, sebagai penulis, sangat senang bila ada yang mengirim email dari tempat-tempat jauh dan memberi respon positif.

 

Ada target pribadi? “Hmm, ingin bisa jadi Feby yang terbaik sesuai dengan kapasitas yang sudah Tuhan takdirkan buat Feby. Ingin sekolah lagi dan bisa poduktif berkarya.” Ketika ditanya tentang prestasi, ia menolak membeberkan, karena semua sudah jadi masa lalu. Feby juga tidak punya tokoh idola secara spesifik. Ia selalu dapat menemukan hal bagus yang bisa dipelajari dalam diri siapa saja. Mengenai buku yang berkesan baginya adalah Broken Verses karya Kamila Syamsie.

Komentar ringkasnya tentang politik Indonesia: ”Melelahkan! Bergelimang politik pencitraan dan minim kualitas! Sikapku sekarang: Abaikan para politisi, dukung para entrepreuner (ekonomi maupun sosial).”

            “Jadi masih menunggu September? Tahun ini sudah lewat lho…”

”Yah orang bilang segala sesuatu itu indah pada waktunya. Jadi biarlah waktunya itu tiba. Aku nggak tergesa-gesa dan nggak merasa kepepet umur juga, haha.”

 

(Kurnia Effendi)